(Jakarta, 19 April 2013 – Humas LIPI). Tahun 2013 ini menandai 10 tahun berlakunya Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. UU ini secara formal melegalkan praktik outsourcing tenaga kerja di Indonesia. Sementara itu, pembatasan outsourcingyang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 12/2012 belum cukup efektif pula mengurangi diskriminasi yang dialami para pekerja.
“Dari sisi peraturan perundangan, UU Ketenagakerjaan telah diberlakukan sekitar 10 tahun, namun sampai saat ini masih menuai kontroversi bahkan telah beberapa kali dilakukan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa pasal sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45,” ungkap Prof. Dr. Aswatini, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam acara Seminar Nasional ‘Investasi Global, Pasar Kerja Fleksibel dan Kesempatan Kerja di Indonesia’, Kamis (18/4), di Hotel Bidakara Jakarta.
(Jakarta, 19 April 2013 – Humas LIPI). Tahun 2013 ini menandai 10 tahun berlakunya Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. UU ini secara formal melegalkan praktik outsourcing tenaga kerja di Indonesia. Sementara itu, pembatasan outsourcingyang dilakukan pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 12/2012 belum cukup efektif pula mengurangi diskriminasi yang dialami para pekerja.
“Dari sisi peraturan perundangan, UU Ketenagakerjaan telah diberlakukan sekitar 10 tahun, namun sampai saat ini masih menuai kontroversi bahkan telah beberapa kali dilakukan uji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa pasal sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45,” ungkap Prof. Dr. Aswatini, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam acara Seminar Nasional ‘Investasi Global, Pasar Kerja Fleksibel dan Kesempatan Kerja di Indonesia’, Kamis (18/4), di Hotel Bidakara Jakarta.
Meskipun demikian, kata dia, revisi UU tersebut hingga saat ini belum terealisir walaupun sudah ditargetkan oleh pemerintah harus selesai akhir tahun 2011. “Hal ini tentu menghambat penciptaan iklim investasi yang kondusif karena tidak adanya kepastian hukum,” tandasnya.
Indrasari Tjandraningsih, peneliti AKATIGA – Pusat Analisis Sosial mengungkapkan bahwa sistem outsourcing yang ada sekarang masih sangat dilematis. “Di tengah tingginya tingkat pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir, outsourcingmenjadi salah satu jalan keluar bagi pekerja yang tidak bisa masuk ke pasar kerja formal,” ujarnya.
Menurutnya, praktik outsourcingmenimbulkan tiga bentuk diskriminasi yang diterima oleh pekerja yakni perbedaan upah, status pernikahan yang membatasi akses mendapat pekerjaan, serta hak berorganisasi. “Rata-rata upah buruh outsourcing 26 persen lebih rendah daripada upah buruh tetap,” tekannya.
Ia menyoroti kondisi itu pulalah yang mendorong aksi-aksi serikat pekerja yang marak untuk menuntut penghapusan outsourcing dan menolak upah murah. “Aksi terakhir yang dilakukan adalah pada 10 April 2013 lalu,” kata Indrasari.
Penuh Kontroversi
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Nawawi Asmat mengatakan, UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan merupakan produk hukum yang penuh kontroversi. “Produk reformasi, tetapi menjadi sumber konflik antar pihak terkait,” tutur dia.
Ia melihat ada beberapa pasal yang dianggap kurang memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh serta memberi ruang gerak untuk pelanggaran. “Di sisi lain, terdapat beberapa ketentuan yang rigid dan detil sehingga malah menyulitkan ruang gerak pengusaha,” ungkap Nawawi.
Dikatakannya, beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan juga sudah tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini berdasarkan hasil enam kali uji materiil MK.
“Secara umum, peraturan perundangan tersebyt menimbulkan banyak pro dan kontra hingga pelanggaran terhadap aturan pun tanpa sanksi yang tegas,” pungkasnya. (pwd/pwd)
Sumber : Humas LIPI