JAKARTA (Suara Karya): Indonesia dinilai masih belum memenuhi kriteria negara demokrasi meski akan memasuki usia kemerdekaan ke-68.
“Untuk menjadi negara demokrasi harus meningkatkan tiga aspek, yakni mulai dari sektor pendidikan, ekonomi, hingga budaya. Kita belum sukses untuk menjadi negara demokrasi. Belum ada perubahan yang signifikan dan mendasar dari tahun ke tahun kemerdekaan,” kata peneliti pusat penelitian politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti, di Jakarta, Senin (12/8).
Dia menyampaikan hal tersebut ketika ditanya tentang makna peringatan Hari Ulang Tahun ke-68 Republik Indonesia (HUT RI).
Menurut dia, Indonesia harus meningkatkan kualitas pendidikan, ekonomi dan budaya, untuk mencapai negara demokrasi. Ikrar menambahkan, aspek ekonomi berhubungan dengan pembentukan negara demokrasi. Jika rakyat memiliki ekonomi yang baik, mereka akan memiliki sifat independen. Karena tidak terpengaruh politik uang atau kasus suap dari partai tertentu saat pemilihan umum.
“Rakyat dari negara demokrasi harus independen. Maka dari itu aspek ekonomi penting, untuk melihat perekonomian Indonesia tidak bisa hanya dilihat dari pendapatan per kapita, tapi juga harus melihat dari jumlah orang miskin di Indonesia. Untuk saat ini, uang masih berbicara di dunia politik,” katanya.
Ikrar juga mengatakan aspek pendidikan diperlukan agar masyarakat dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan. Arti dari negara demokrasi adalah negara dengan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat, yang berarti masyarakat berpendidikan diperlukan untuk masa depan negara ini. “Rata-rata lamanya anak Indonesia mendapat pendidikan itu 7,8 tahun, yang artinya sampai kelas 2 SMP. Pendidikan Indonesia kurang ditunjang,” kata ikrar.
Untuk aspek budaya, menurut Ikrar, kebiasaan berdemokrasi di Indonesia masih rendah karena istilah democratic bargaining atau keadaan dimana dalam berdemokrasi dapat menang atau kalah belum dianut seluruh rakyat Indonesia. “Masih ada kelompok yang jika tidak menang mereka rusuh atau menghancurkan sesuatu. Rakyat juga masih ada yang belum menerima orang dari etnik lain atau agama lain untuk menjadi pemimpin. Intinya masih ada cap-cap untuk etnik tertentu,” katanya.
Padahal menurut Ikrar, semua orang Indonesia dari etnik dan agama apa pun memiliki kesempatan yang sama dalam politik. “Demokrasi itu semuanya bisa diselesaikan dengan kata bukan senjata. Diplomasi, negosiasi, voting, itukan dengan kata, artinya dapat diselesaikan secara demokrasi,” ujar Ikrar.
Nasionalisme Pemimpin
Sementara itu, soal pemimpin Indonesia, dia mengingatkan, seharusnya meningkatkan rasa nasionalismenya dengan memberi kesempatan lebih besar kepada pengusaha lokal untuk mengembangkan bisnisnya, sehingga menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tidak sekadar menjadi pengimpor.
“Indonesia terbuai dengan pandangan bahwa kita akan menjadi negara dengan ekonomi peringkat 10 besar dunia, tetapi siapa yang akan menjadi tuan rumah di Indonesia?,” ujar Ikrar Nusa Bhakti.
Ikrar mengatakan, dengan rasa nasionalisme yang dimiliki oleh para pemimpin, maka upaya pengusaha yang melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri akan didukung oleh pemerintah. Dukungan juga dapat berasal dari bank-bank nasional yang memberi dana pinjaman bagi para pengusaha.
“Walau orang-orang mengatakan bahwa yang melakukan ekspansi bisnis adalah para pengusaha keturunan Tionghoa, mereka tetap orang Indonesia. Kita harus mendukung mereka sebagai orang Indonesia bukan sebagai orang keturunan karena mereka juga ikut memajukan negara kita,” kata Ikrar.
Kesenjangan golongan Ikrar mengatakan di negara dengan beragam budaya dan ras seperti Indonesia tidak boleh ada golongan tertentu yang merasa lebih dominan dibandingkan dengan golongan lain. Hal ini terasa di dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia dimana ada streotipe pemimpin harus bersuku Jawa dan beragama Islam.
Faktor agama masih menjadi isu penting bagi pemilih saat memilih pemimpin. Hasil survei LIPI menyebutkan faktor etnik bukan lagi menjadi pertimbangan utama pemilih tetapi faktor agama masih berpengaruh.
Di Amerika Serikat, menurut Ikrar, misalnya perlu waktu lama untuk adanya perubahan seperti hak perempuan untuk menjadi pemilih dan bagi warga keturunan Jepang di Amerika untuk tidak dicurigai sebagai mata-mata. (Feber S/Ant)
» Sumber : Suara Karya Online, 13 Agustus 2013
» Kontak : Ikrar Nusa Bhakti |