Oleh Inayah Hidayati

Kerentanan terhadap bencana merupakan salah satu fokus dari kajian bencana dengan menggunakan perspektif gender. Konsep gender pada dasarnya berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki ini menjadi semakin rumit apabila sudah dihubungkan dengan status perkawinan, etnisitas, agama, status sebagai pengungsi, dan sebagainya. 

Studi mengenai gender dan bencana memandang gender sebagai konstruksi sosial yang menekankan perbedaan kuasa diantara perempuan dan laki-laki, serta merefleksikan pendekatan kerentanan sosial dalam mengkaji bencana (Enarson dan Meyreles, nd). Kerentanan merupakan potensi untuk mengalami kerusakan atau kerugian, yang berkaitan dengan kapasitas untuk mengantisipasi, mengatasi dan mencegah bahaya, serta memulihkan diri dari dampak bahaya. Kondisi ini ditentukan baik oleh faktor fisik, lingkungan, sosial, politik dan juga budaya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Oxfam (2006), sebagian besar korban (60 sampai 70 persen) adalah perempuan, anak-anak dan lanjut usia (lansia). Gambaran ini terjadi terjadi pada bencana alam dan bencana sosial. Dengan kondisi yang demikian maka penanganan bencana perlu dilakukan secara holistik dan tidak mengesampingkan perbedaan gender pada semua tahapan penanganan bencana dari tahap tanggap darurat hingga tahap rekonstruksi paca bencana. Penanganan bencana saat ini cenderung didasarkan dari sudut pandang laki-laki dan suara perempuan dianggap sudah terwakili oleh suara laki-laki.

Kerentanan perempuan dalam situasi bencana dapat dikelompokkan dalam dua tahapan, yaitu pada saat terjadi  bencana dan setelah terjadi bencana atau masa recovery (www.lptp.or.id).Pada saat terjadi bencana, kondisi perempuan tidak diuntungkan karena posisinya sebagai perempuan. Bencana tsunami di Aceh tahun 2004, misalnya, sebagian besar korban tewas perempuan tidak terpisahkan dengan korban anak-anak yang masih kecil atau dalam posisi masih mendekap anak-anaknya. Sejumlah saksi mengatakan bahwa, banyak perempuan yang menjadi korban disertai oleh anak-anak. Perempuan tidak bisa berlari cepat meninggalkan rumah tanpa kepastian apakah anak-anaknya sudah selamat atau belum. Perempuan tidak hanya memikirkan bagaimana dia selamat, tetapi juga bagaimana dia harus menyelamatkan anak-anak dan keluarganya. Perempuan tidak kuasa untuk berlari secara cepat karena dia harus menggendong anaknya atau menggandeng anaknya, sementara kecepatan gelombang tsunami melebihi kecepatan seorang ibu berlari.

Kerentanan perempuan pada masa recovery berkaitan erat dengan karena tidak terpenuhinya hak-hak perempuan. Pemenuhan kebutuhan paska bencana cenderung menyamaratakan antara kebutuhan perempuan dan laki-laki. Banyak kebutuhan, khususnya perempuan yang terlewatkan, karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak.

Secara teoritik perhatian terhadap sosok perempuan dalam situasi bencana alam, banyak memunculkan opini yang memiliki perbedaan perspektif. Beberapa penulis seperti  Enarson, Shrader, Delaney, Byrne dan Baden sudah membawa muatan gender dalam menganalisa tanggapan dan mitigasi bencana, dimana beberapa diantaranya menemukan hasil yang sangat menarik, terutama tentang kerentanan seorang perempuan.

Enarson (2000) menyatakan bahwa gender membentuk dunia sosial di dalamnya, dimana berbagai peristiwa alam terjadi. Perempuan dibuat menjadi lebih rentan terhadap bencana melalui peran sosial yang mereka bangun. Perempuan memiliki lebih sedikit akses terhadap sumberdaya, seperti jaringan sosial, transportasi, informasi, keterampilan, kontrol sumberdaya alam dan ekonomi, mobilitas individu, jaminan tempat tinggal dan pekerjaan, bebas dari kekerasan,dan memegang kendali atas pengambilan keputusan. Padahal itu semua penting dalam kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, mitigasi,dan rehabilitasi paska bencana.

Kebutuhan untuk mengintegrasikan gender dalam pengelolaan bencana adalah untuk memastikan bahwa skema kesiapsiagaan dan antisipasi bencana, hingga kemampuan untuk pemulihan dari dampak bencana, bisa dimiliki secara merata antar jenis kelamin dan umur. Dengan terpenuhinya hak semua orang maka akan mengantisipasi munculnya bencana baru yang akan menambah beban dan dampak yang dirasakan terutama oleh kelompok rentan seperti perempuan.