Jurnal Penelitian Politik Vol. 8 No. 1 Tahun 2011

Jurnal Penelitian Politik Vol. 8 No. 1 Tahun 2011Title: Jurnal Penelitian Politik Vol. 8 No. 1 Tahun 2011 
Type: Book
Author: Syamsuddin Haris, Al Muzzammil Yusuf, A.Bakir Ihsan, Eva K. Sundari, Luky Sandra Amalia, Sarah Nuraini Siregar, Yogie Setya Permana, Pandu Yuhsina Adaba, Wawan Ichwanuddin, Sri Yanuarti, Ganewati Wuryandari
Publisher: LIPI Press
Year: 2011

Catatan Redaksi 

Tengoklah wajah parlemen kita, dari hari ke hari kita disuguhi maraknya kasus korupsi di sana yang melibatkan para anggota Dewan. Kita menyaksikan pula, mengemukanya atau hilangnya kasus-kasus besar seperti kasus Century bukan didasarkan atas pertimbangan keadilan atau penegakan hukum, melainkan lebih dilatarbelakangi pertimbangan bargaining politik dan kepentingan jangka pendek kalangan elite politik. Di depan mata kita para politisi senantiasa sibuk berfikir tentang suksesi kepemimpinan. Seakan-akan, politik hanya menjadi ajang untuk memperkaya diri dan saling menjatuhkan. Jauh dari etika dan moral politik yang sehat. Nyata sudah bahwa energi politik kita dewasa ini nyatanya dihabiskan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Di sisi lain pelbagai persoalan bangsa –mulai dari perampokan kekayaan negara oleh asing, meluasnya korupsi dari pusat hingga ke daerah, masalah  kemiskinan, krisis pangan, dan lain-lain– menjadi terabaikan, padahal segenap itulah yang mestinya menjadi fokus perhatian yang harus diselesaikan. 

Berbagai kasus yang menambah sisi gelap parlemen kita di level pusat maupun daerah seakan-akan hendak menggugurkan tesis Max Weber bahwa politikus harus menyadari bahwa politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup. Memang para anggota legislatif tentu bukanlah nabi atau malaekat yang luput dari dosa dan tidak punya hawa nafsu untuk mendapatkan keuntungan dari setiap tugas yang dilaksanakan. Tetapi, para politikus sebagai anggota dewan harus mampu menjaga kehormatan dirinya lewat pelaksanaan tugas yang menjadikan etika dan moralitas baik sebagai pijakan maupun sebagai tujuan. 

Etik-moral politik parlemen tak pelak menghadapi dilemma. Parlemen, secara ideal, laksana Academy-nya Plato, yaitu lembaga politik tempat persemaian dan pertukaran pemikiran-pemikiran brilian. Mereka juga  idealnya adalah kumpulan negarawan yang dengan kebajikannya mampu melahirkan gagasan-gagasan yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Sementara sebagai legal drafter, para politisi di Senayan idealnya dituntut membuat undang-undang yang dapat menjamin keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan keteraturan hidup bermasyarakat. Dan sebagai legislator, mereka harus menjadi  tempat rakyat mengartikulasikan aspirasi kepentingan. Karena itu, menjadi aneh jika dalam pelaksanaan tugas-tugas, mereka justru mengabaikan etika dan moralitas politik. 

Parlemen sebagi medan transaksi nyata dalam kasus koalisi. Hiruk-pikuk politik di antara partai-partai politik anggota koalisi kembali mengemuka yakni tatkala dua partai politik anggota koalisi, yakni Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mendukung usulan hak angket pajak. Usulan hak angket pajak itu dibatalkan Partai Demokrat yang dibantu empat partai politik lainnya, pada rapat paripurna DPR RI, 22 Februari 2011. Setelah pembatalan usulan hak angket pajak tersebut muncul desakan agar  Partai Golkar dan PKS keluar dari koalisi, selain itu agar Presiden SBY melakukan reshuffle (perombakan) kabinet dengan mencopot menteri-menteri dari partai-partai yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah, maupun usulan untuk dilakukannya perbaikan kontrak politik. 

Pembentukan Sekretariat Gabungan Partai Koalisi (Setgab) sedari awal memang menimbulkan polemik. Setgab dibentuk menyusul sepanjang tahun 2010 dijalani oleh pemerintahan SBY dengan penuh tantangan akibat mengemukanya berbagai permasalahan bangsa, mulai dari soal kemiskinan dan pengangguran hingga bencana alam yang datang silih-berganti. Perang terbuka kemudian pecah tatkala Partai Golkar mengangkat isu Century, namun belakangan kasus itu mereda setelah SBY mencopot Menteri Keuangan Sri Muryani. Ketika lamat-lamat masih terdengar desakan dari berbagai elemen masyarakat agar DPR terus mengusut isu tersebut, lahirlah Setgab sebagai deal politik di antara partai-partai koalisi pendukung pemerintah yakni Demokrat, PKB, PAN, PPP, PKS dan Golkar. 

Belakangan terbukti Setgab tidak solid. Muncul hiruk-pikuk di antara anggota koalisi, lantaran sedari awal koalisi tidak menentukan agenda-agenda utama yang akan diperjuangkan. Secara teknis, setgab juga belum mengatur mengenai bagaimana cara pengambilan keputusan dalam koalisi, bagaimana bila terjadi perbedaan/perselisihan di antara sesama anggota koalisi. Para anggota koalisi memang belum sepakat mengenai banyak hal. Mereka antara lain memperdebatkan bahwa koalisi apakah ada di pemerintahan dan juga di parlemen ataukah hanya di pemerintahan saja. Alhasil, memang sulit mewujudkan harmonisasi koalisiparpol pendukung pemerintah. Ini karena partai-partai politik anggota koalisi memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda-beda, setiap partai memiliki pelbagai kepentingan, khususnya kepentingan jangka pendek. 

Mengingat pentingnya permasalahan di atas maka Jurnal Penelitian Politik kali ini hadir dengan mengangkat tema tentang “Menggugat Politik Parlemen”. Kami menyajikan sejumlah tulisan yang terkait dengan tema tersebut. 

Syamsuddin Haris dalam tulisannya “Koalisi dalam Sistem Demokrasi Presidensial Indonesia” menegaskan bahwa untuk membentuk “pemerintah yang bisa memerintah” dalam skema presidensial berbasis multipartai seperti berlaku di Indonesia, diperlukan koalisi berbasis kesamaan ideologi dan haluan (platform) politik di antara parpol yang berkoalisi. Melalui basis koalisi semacam ini diharapkan bahwa dukungan ataupun penolakan terhadap suatu kebijakan lebih berorientasi kepentingan kolektif bangsa kita, bukan semata-mata kepentingan jangka pendek para politisi parpol di DPR. Koalisi berbasis ideologi dan haluan politik yang sama juga diperlukan agar relasi Presiden-DPR tidak semata-mata menjadi arena transaksi politik antar-petinggi pemerintah dan politisi parpol di Senayan. 

Bagi A. Bakir Ihsan, dalam artikelnya berjudul “Rekonstruksi dan Revitalisasi Koalisi dalam Sistem Quasi-Presidensial, melihat bahwa koalisi memang bukan sekadar power sharing. Koalisi mensyaratkan komitmen bersama untuk menjalankan konsesus secara konsistn dalam roda pemerintahan melalui soliditas partai politik di parlemen. Karena itu, koalisis sejatinya menjadi jalan lapang (stabilitas) bagi pemerintahan dalam menjalankan kebijakan yang telah disepakati bersama, sekaligus menjadi kekuatan penyeimbang yang konsisten mengontrol pemerintah.

Dalam artikel berjudul “Aspirasi Rakyat dan Reformasi Parlemen”, Al Muzzammil Yusuf mengatakan bahwa permasalahan koalisi saat ini karena belum adanya kesamaan pandangan soal konsep, aturan, dan agenda utama koalisi. Bahkan yang tampak oleh publik adalah perebutan kekuasaan antar-anggota koalisi seraya saling menegasikan peran anggota koalisi satu sama lain. Padahal koalisi harus bekerja sama untuk mewujudkan clean governance dan good governance. Ia selanjutnya menulis bahwa amandemen Undang-undang Dasar 1945 telah memposisikan Dewan Perwakilan rakyat sebagai lembaga negara yang strategis dalam pembentukan perundang-undangan, pelaksanaan pengawasan terhadap eksekutif, dan penetapan anggaran sehingga membawa konsekuensi pada meningkatnya beban tanggung jawab parlemen dan semakin tingginya harapan masyarakat terhadap kinerja DPR. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia tidak puas dengan kinerja DPR. Kondisi demikian disebut sebagai defisit demokrasi di dalam demokrasi perwakilan, di mana tidak ada korelasi positif antara aspirasi rakyat dalam proses penentuan kebijakan dengan hasil yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan.

Dalam perspektif gender, kami menampilkan artikel “Perempuan di Parlemen Berjuang di Tengah Keraguan”, yang ditulis oleh Eva K. Sundari. Di sana dikemukakan bahwa perjuangan perempuan untuk di lembaga legislatif dan membuat transformasi sosial masih panjang dan berliku. Wakil perempuanpun belum tentu bisa dan mampu memperjuangkan perempuan dan kelompok marjinal dengan baik. Untuk itu, perlu terus upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kapasitas dari politisi perempuan.

Bagaimana sosok parlemen dapat dinilai pula dalam peran lembaga tersebut di dalam mengawal reformasi di tubuh Polri. Sarah Nuraini Siregar, dalam artikel berjudul “DPR dan Reformasi Polri: Kajian Evaluatif Fungsi DPR terhadap Pelaksanaan Reformasi Polri” memperlihatkan bahwa implementasi dari reformasi Polri ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu faktor ialah bagaimana fungsi dan peranan dari parlemen, karena parlemen sesungguhnya memiliki peran yang penting dalam menjaga implementasi dari reformasi Polri melalui fungsi-fungsi parlemen. Bahwa ketidakefektivan fungsi DPR dalam melakukan monitoring terhadap pelaksanaan Reformasi Polri sebenarnya dimulai dari fungsi legislasi DPR yang masih belum berjalan dengan maksimal.

Redaksi juga menampilkan artikel mengenai upaya pemakzulan kepala daerah oleh DPRD. Dalam tulisan berjudul “Politik Pengawasan DPRD dalam Upaya Pemakzulan Kepala Daerah: Studi Kasus Walikota Surabaya”, Luky Sandra Amalia menulis bahwa proses pemakzulan Walikota Surabaya oleh DPRD Kota Surabaya merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan menurut undang-undang sebab undang-undang tidak mengatur impeachment (pemakzulan) terhadap kepala daerah oleh DPRD meskipun undang-undang menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi pengawasan, disamping fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Selain itu, undang-undang juga menyebutkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan kata lain, sebenarnya DPRD tidak memiliki fungsi pengawasan sebagaimana yang dimiliki oleh DPR RI. Sebab, DPRD merupakan bagian dari pemerintahan daerah.

Tentu saja kinerja dari DPR dapat dimaksimalkan bila terdapat sistem yang mendukung, di antaranya adanya tenaga ahli. Namun, Yogi Setya Permana dan Pandu Yuhsina Adaba dalam tulisan mereka “Menelisik Peran Tenaga Ahli Anggota Legislatif” memperlihatkan kenyataan bahwa peran tenaga ahli belumlah optimal. Kondisi ini akibat ketiadaan aturan yang jelas mengenai peran peran dan fungsi tenaga ahli di parlemen, yang selanjutnya memunculkan distorsi dalam pelaksanaan. Ketidakjelasan aturan operasional tenaga ahli anggota ini memicu penafsiran dan pemaknaan yang beragam baik dari anggota dewan maupun partai politik, seperti mengangkat sanak saudara sebagai tenaga ahli anggota, sementara honornya ditanggung oleh negara. Aturan tentang tenaga ahli anggota legislatif yang banyak memiliki celah ini bisa menimbulkan konsekuensi negatif bagi pembelajaran keparlemenan di Indonesia.

Redaksi berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik ini bisa disambut baik oleh para pembaca Akhir kata kami ucapkan selamat membaca. REDAKSI