Akhir tahun 2013, Wijaya Herlambang meluncurkan buku yang berjudul Kekerasan Budaya Paska 1965. Buku tersebut ternyata mengundang polemikyang cukup serius. Buku ini diawali dari pertanyaan Herlambang mengenai sebab bercokolnya kekerasan pada komunisme di Indonesia. Dalam buku tersebut, Herlambang memberikan argumennya bahwa kelompok Manifes Kebudayaan memiliki andil besar dalam terjadinya kekerasan pada komunisme. Pengaruh humanisme universal juga dianggap oleh Herlambang mempunyai pengaruh besar dalam politik, ekonomi, dan kebudayaan paska 1965 sehingga membuat kekerasan masih terjadi hingga hari ini di Indonesia.
Pro-kontra mengenai keberadaan buku ini, menarik untuk dikaji kembali. Termasuk diantaranya oleh Ibnu Nadzir Daraini, peneliti dari PMB LIPI yang memberikan analisis tinjauan buku Herlambang dan menyajikannya dalam seminar intern tanggal 21 Mei 2014. Dalam seminar intern yang dimoderatori oleh Soewarsono, MA,Ibnu memberikan argumennya bahwa,”Kelompok Manifes Kebudayaan dan ideologi humanisme universal tidak pernah memiliki peran signifikan di Indonesia.”
Dalam analisis tinjauan buku, Ibnu menggarisbawahi beberapa argumen penting yang diajukan oleh Herlambang. Pertama, tindak kekerasan terhadap kelompok komunis hanya dapat terjadi karena adanya legitimasi dari kekerasan budaya. Kedua, dalam konteks kekerasan terhadap kelompok komunis, ideologi humanisme universal dan narasi rezim Orde Baru adalah dua unsur terpenting yang melakukan produksi wacana kekerasan tersebut. Ketiga, paska pemberangusan kelompok komunis, humanisme universal menjadi inti dari ideologi pembangunan kebudayaan di Indonesia. Implikasinya humanisme universal mempunyai pengaruh kuat dalam ranah politik, ekonomi dan kebudayaan. Keempat, wacana kekerasan terhadap komunisme yang masih berlaku sampai hari ini.
Lebih lanjut, Ibnu memberikan penjelasan detail dari beberapa argumen yang diutarakan oleh Herlambang tersebut dibangun dari asumsi bahwa peristiwa penghancuran PKI dan kemunculan Orde Baru menandai kebangkitan ideologi humanisme universal. Namun, sesungguhnya apa yang dimaksud dengan humanisme universal? dan bagaimana hal tersebut dapat berpengaruh pada politik, ekonomi dan kebudayaan?Dalam bukunya, Herlambang menyebutkan bahwa humanisme universal adalah istilah Indonesia untuk menyebut liberalisme. Kedua ideologi tersebut mempunyai kesamaan, khususnya dalam kebebasan.Dalam buku ini liberalisme didefinisikan dalam tiga aspek yaitu politik, ekonomi dan kebudayaan.
Tiga aspek tersebut yang dibahas oleh Ibnu untuk menggambarkan relevansi implementasi liberalisme pada masa Orde Baru. Dalam definisi liberalisme politik yang terjadi di Orde Baru, menurut Ibnu sangat bermasalah. Definisi tersebut mereduksi liberalisme hanya sebagai paham politik yang muncul untuk melawan komunisme. Reduksi ini mempunyai implikasi pada pembacaan yang tidak tepat atas kerangka politik Orde Baru. Menurut Ibnu, “Herlambang terjebak untuk mengatakan bahwa Orde Baru adalah rezim yang mengedepankan liberalisme karena sikap orde tersebut yang anti komunis”. Padahal kebijakan politik Orde Baru jauh dari nilai-nilai kebebasan yang didorong oleh liberalisme. Penerapan liberalisme dalam ranah politik memberi syarat adanya jaminan terhadap kebebasan individu seluas-luasnya. Prinsip tersebut jelas tidak ditemukan pada masa Orde Baru. Dengan demikian, menurut Ibnu penggunaan ideologi liberalisme dalam ranah politik tidak tepat, justru yang tepat adalah ideologi fasisme.
Sedangkan apakah humanisme universal merupakan pembuka jalan bagi liberalisme Indonesia ekonomi di Indonesia?Ternyata, hal yang sama juga ditemukan dalam ranah ekonomi yang melihat tidak adanya liberalisme ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru. Dalam ranah kebudayaan, Ibnu melihat bahwa kenyataan memang menunjukkan jika Orde Baru anti-komunis, namun sama seperti sebelumnyabahwa bukan berarti Orde Baru berkembang dengan merujuk humanisme universal sebagai inti pembangunan kebudayaan.
Sehingga, secara keseluruhan dari tiga aspek yang dikemukakan oleh Herlambang, dalam hal ini Ibnu berpendapat bahwa, “Humanisme universal bukanlah ideologi utama yang menjadi rujukan Orde Baru baik dalam ranah politik, ekonomi maupun kebudayaan.Orde Baru lebih tepat dilihat sebagai rezim fasis yang menghendaki ketertiban dan keajegan”. Demikian pula dalam konteks produksi wacana kekerasan, kelompok Manifes Kebudayaan tidak lebih dari perpanjangan tangan Orde Baru. Diakui oleh Ibnu, analisa-analisa yang dikemukakan oleh Herlambang kurang tepat dan penulis buku gagal menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan, liberalisme, dan negara Orde Baru.
Meskipun demikian, diakhir paparannya Ibnu memberikan apresiasi terhadap penulis dan menganggap bahwa buku ini tetap mempunyai nilai penting sebagai salah satu kajian yang berupaya menelusuri relasi ideologi dan politik internasional dalam formasi kebudayaan Indonesia paska 1965. Topik tersebut membuka peluang adanya kemungkinan kajian lanjutan yang membantu lebih baik pemahaman terhadap posisi kebudayaan pada Orde Baru. (Jane Kartika P)