Pada 27-29 Mei 2018, Pimpinan Pusat Muhamadiyah mengadakan Pengajian Ramadhan 1439 H yang mengangkat tema mengenai “Keadaban Digital : Dakwah Pencerahan Zaman Milenial di dua kota, Yogyakarta dan Jakarta. Dalam pengajian tersebut, saya mengisi satu panel dengan judul Islam Virtual: Corak Keberagamaan dan Litartur Keislaman Masyarakat Milenial bersama dengan Dr. Irfan Abu Bakar dan Profesor Dr Jamhari Makruf dari UIN Syarif Hidayatullah. Tema besar pengajian itu bukan saja kontekstual, melainkan juga penanda perubahan zaman hadirnya platform digital dengan tumbuhnya media sosial dan pelbagai macam start up. Dengan mengangkat tema tersebut, Muhammadiyah beradaptasi di tengah gelombang perubahan tersebut, khususnya mengenai syiar Islam. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Dr. Haedar Nashir saya membuka pengajian tersebut, “Pada keadaan yang serba cepat ini kita harus bisa menghadirkan dakwah, tabligh dan pesan – pesan Islam lewat media – media baru yang ada dengan lebih masif dari pada orang lain” (www.muhammadiyah.or.id, 25 Mei 2018).

Dalam diskusi panel tersebut, saya mencatat, ada 10 orang dengan 10 pertanyaan dari anggota pengajian tersebut. Dari keseluruhan pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga hal yang bisa saya rangkum. Pertama, kegelisahan. Kemunculan platform digital tersebut mengakibatkan kegelisahan terkait dengan dampak ikutan yang dimunculkan; mulai dari kepemilikan media sosial yang milik asing dan dikuasai oleh orang Yahudi, pornografi yang bisa merusak anak hingga kedangkalan yang diciptakan di tengah pragmatisme informasi, hingga posisi TVMu yang belum lama berdiri kini harus ditinggalkan oleh penontonnya. Kedua, sikap. Meskipun ada pertanyaan yang menunjukkan sikap resistensi, tidak sedikit yang justru dari peserta tersebut mengajukan pertanyaan mengenai kesiapan, baik persoalan mental, sumberdaya, hingga proses adaptasi dalam media baru tersebut.  Ketiga, strategi. Pertanyaan ini lebih bersifat teknis, baik mengenai konten yang harus diisi, proses kreativitas yang dibuat hingga cara untuk melakukan penyaringan atas kemungkinan dampak buruk adanya media baru tersebut dengan membuat semacam kurikulum dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Dari tiga faktor gugatan tersebut, dalam artikel ini, saya menawarkan tiga hal yang saling terkait bagaimana Muhamadiyah mesti bersikap sehingga upaya dakwah dalam media baru ini menemukan titik artikulasinya. Pertama, penerimaan dan konsekuensinya. Kehadiran internet dan plaftorm digital merupakan konsekuensi perubahan yang tidak bisa kita hindari. Satu sisi, kehadiran platform digital seiring dengan tumbuhnya para pengguna internet di Indonesia yang semakin pesat, memudahkan kita untuk melakukan pelbagai aktivitas dengan mudah. Misalnya, kehadiran start up ojek online dan pasar online, memudahkan kita mencari barang yang kita inginkan secara lebih efektif. Tanpa perlu keluar rumah, cukup dengan memainkan perangkat telepon genggam pintar, kita bisa melakukan hal itu dengan cepat dan hadir pada jam itu juga. Begitu juga dengan pesan dan informasi. Tanpa perlu mengetahui lebih jauh atas berita apa saja yang sedang hangat terjadi di tanah air, baik dalam dan luar negeri, hal itu bisa tiba-tiba muncul di lini masa sosial media kita.

Dengan sifatnya yang egaliter, dimensi hirarkis dan birokrasi tergantikan, di mana pengguna media baru, bisa menjadi produsen sekaligus konsumen secara bersamaan atas informasi yang dimiliki. Dampaknya, struktur semacam ini, informasi tidak hanya sekedar pengetahuan yang penting, tetapi juga menjadi sampah tsunami yang membuat kita bisa membedakan atas kebenaran sebuah infomasi. Sistem kepercayaan yang dibangun dalam transaksi bisnis online juga sama terjadi. Tanpa adanya tatap muka dan saling kenal sebelumnya, memungkinkan orang mencari celah untuk bertindak kriminal. Di sisi lain, dalam dunia dakwah Islam, setiap orang, apapun latarbelakang yang dimilikinya, mereka bisa membangun citra dirinya menjadi ustadz dan ustadzah. Tentu saja, proses kreativitas visual dengan nilai artistik yang enak dilihat serta konsistensi terus-menerus untuk mengunggah video tidak bisa dikesampingkan. Karena cara itulah yang bisa menarik sejumlah pengikut dan mendapatkan resepsi keterbacaan yang banyak. Kehadiran ustadz Hanan Attaki, Abdul Somad, Felix Siauw, dan Evie Effendi persis berada dalam konteks ini. Mereka inilah yang saya sebut sebagai Mikro-Ustadz Selebriti.  

Kedua, pelibatan anak-anak muda. Kehadiran platform digital ini tidak hanya mensyaratkan kebaruan untuk bersikap, melainkan juga lebih terkait keidentikkan atas kemunculan generasi Z (kelahiran tahun 1990-2000an), yang terlahir sebagai digital native, sehingga bisa beradaptasi cepat dengan telepon genggam pintar beserta turunannya. Untuk beradaptasi dalam dakwah Milenial, para petinggi Muhammadiyah, baik pada di level pusat, wilayah, daerah, cabang, ataupun ranting, di mana kebanyakan mereka adalah terdiri dari tiga generasi; Baby Boomers (lahir 1946-1964), Generasi X (lahir 1965-1976), dan Generasi Y (lahir 1977-1995), harus melibatkan generasi Z ini. Ini karena, melalui generasi anak-anak muda inilah yang memungkinkan percepatan adaptasi Muhammadiyah ke dalam era digital semacam ini. Di sini, sinergisitas antar generasi tersebut menjadi suatu hal yang perlu dikedepankan. Jika ini tidak dilakukan, Muhammadiyah sebagai organisasi memang akan tetap menjadi terbesar di Indonesia, tetapi ia akan ditinggalkan oleh anak-anak muda.

Ketiga, budaya pop sebagai medium. Selain sinergisitas dengan anak-anak muda, medium dakwah juga menjadi bagian terpenting. Di sini, Muhammadiyah melibatkan elemen-elemen budaya pop yang sedang tren dikalangan anak-anak muda yang fasionable. Mempelajari praktik-praktik subcultur anak-anak musik, underground, dan industri global semacam K-Pop adalah di antara cara bagaimana mengabungkan elemen budaya pop tersebut sebagai medium dakwah. Praktik budaya pop inilah yang sedang dipraktikkan oleh Hanan Attaki dan Felix Siauw, dan Evie Effendi. Meskipun mereka kecil secara jumlah dan tidak memiliki fasilitas dan infrastruktur seperti Muhammadiyah, gaung dakwah mereka sampai ke anak-anak muda. Di sisi lain, Muhammadiyah sendiri memiliki itu semua; baik anak-anak muda dengan kehadiran IPM, IMM, dan Nasyiatul Aisyiah, serta institusi pendidikan yang memiliki para ahli IT yang handal untuk melakukan proses editing visual dan isi dalam video dakwah Muhammadiyah.   

Penjelasan di atas bukan hanya berusaha memposisikan kontribusi Muhammadiyah, khususnya dalam syiar Islam menjadi lebih aktual dan artikulatif, melainkan juga sebagai upaya menjaga otoritas keagamaan sebagai ormas besar bersama Nahdatul Ulama di tengah kemunculan otoritas-otoritas keagamaan baru pasca rejim otoriter di Indonesia. Memang kehadiran, mereka merupakan bentuk demokratisasi akses beragama sehingga masyarakat Muslim Indonesia bisa memilih mana yang terbaik dan cocok untuk mereka. Namun, irisan globalisasi dan adanya ideologi trans-nasionalisme Islam membuat mereka mengubah titik haluan terkait dengan kehadiran Pancasila sebagai fondasi rumah bersama masyarakat. Sementara dalam Muktamar ke-47 di Makassar, di tengah situasi politik Islam trans-nasional semacam itu, Muhammadiyah memiliki sikap bahwa negara Pancasila merupakan  darul ‘ahdi (negara perjanjian) sekaligus darusy shahadah (negara kesaksian). (Wahyudi Akmaliah)