Studi budaya populer dalam politik elektoral sedikit sekali dibahas oleh para sarjana, baik dalam dan luar negeri. Selama ini studi politik menekankan kepada survei untuk melihat elektabilitas sebuah calon terkait kemungkinan untuk menang. Studi itu juga kerapkali melihat politik identitas sebagai kecenderungan pemilih di tengah latarbelakang yang dimiliki. Artikulasi kekuatan oligarki, baik nasional maupun lokal juga memainkan peranan penting dalam memenangkan pasangan yang diusung dengan perspektif politik ekonomi sebagai kendali utama untuk mengatur dan mendominasi. Padahal, dalam menarik dukungan yang dilakukan oleh partai politik dan pendukungnya, mereka biasanya menciptakan keramaian, baik itu dengan melakukan apel akbar, pengajian, ataupun panggung musik. Hal itu yang disebut dengan kampanye. Tujuannya adalah agar pemilih tertarik dengan partai politik ataupun pasangan yang diusung. Upaya menciptakan keramaian juga dilakukan oleh lawan politiknya. Di sini, kontestasi aktivitas partisipasi populer menjadi tidak terhindarkan. Untuk menguatkan sentimen dukungan itu, praktik-praktik budaya dijadikan medium kampanye menjadi penting untuk dilihat. Dalam konteks itu, sebagaimana diungkapkan oleh Chua Beng Huat (2007), membaca politik elektoral dengan menganalis materi praktik-praktik budaya populer menjadi hal yang penting untuk dilakukan. 

Menciptakan keramaian dalam kampanye politik tidak hanya menjadi tradisi, melainkan juga bagian penting dalam budaya politik itu sendiri di Indonesia. Hal ini dilakukan setidaknya untuk dua hal. Pertama, menarik dukungan. Dengan mendatangkan para artis dan musisi, serta pidato politik yang dilakukan orang-orang yang dianggap penting dan calon pemimpin yang diadakan, partai politik mencoba menarik simpati publik. Upaya menarik simpati publik ini juga untuk mengukur sejauhmana kesetiaan konstituen yang dimiliki. Kedua, unjuk kekuatan. Dengan mengadakan perhelatan keramaian dengan beragam panggung, baik sosial, hiburan, ataupun keagamaan, partai politik dan koalisi yang dimiliki menunjukkan kekuataan massa yang dimilikinya. Unjuk kekuatan massa ini juga menjadi semacam sinyal peringatan bahwa mereka memiliki pengaruh dengan basis dukungan massa yang besar.  Pada titik ini, membesar-besarkan jumlah massa yang hadir menjadi politik rekognisi yang penting.   

Saat rejim Orde Baru berkuasa menggalang mobilisasi massa dalam kampanye terbuka juga dilakukan oleh tiga partai politik yang bersaing saat itu, PPP, PDI, dan Golkar. Di sini, mendatangkan musisi, baik pop maupun artis dangdut menjadi senjata ampuh untuk mendatangkan massa. Meskipun, dalam keramaian itu yang terpatri dalam benak masyarakat bukan pidato pimpinan partai politik melainkan menyaksikan musisi diidola mereka yang sedang manggung dengan gratis. Apalagi, sebelumnya, banyak dari anggota masyarakat melihat idola mereka hanya dari layar kaca televisi. Lebih jauh, dibandingkan genre musik yang lain, musik dangdut menjadi prasyarat utama agar kampanye terbuka itu menjadi ramai. Pasca rejim Orde Baru, perhelatan musik dangdut dengan menghadirkan artis-artis ibukota ini sampai sekarang masih digunakan untuk menarik dukungan massa. Meskipun demikian, perhelatan musik dalam kampanye terbuka mengalami pergeseran di tengah kehadiran media sosial dan teknologisasi musik yang memungkinkan orang memproduksi musik dengan biaya yang relatif terjangkau,  yang hasilnya kemudian berbentuk VCD dan MP3. Di sini, sensitivitas latarbelakang pemilih menjadi acuan mengapa partai politik, simpatisan, ataupun elit pendukungnya memproduksi musik tersebut.

Pergeseran secara jelas itu tercermin saat Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, pertarungan antara Joko Widodo-Ahok dan Fauzi Bowo-Nachrowi. Melalui kanal Youtube, kedua pendukung itu sama-sama membuat video lagu untuk mengekspresikan dukungannya. Pendukung Jokowi-Ahok dalam Pilkada tersebut, misalnya, membuat parodi yang diadaptasi dari lagunya One Direction, yaitu What Makes You Beautiful. Dalam lagu tersebut tidak hanya berisi dukungan kepada Jokowi-Ahok, melainkan juga kritik kepada Fauzi Bowo yang menjadi petahana dan sejumlah kebijakan yang telah dibuatnya. Sementara itu, dukungan atas Fauzi Bowo juga muncul dalam lagu Fokelah Kalau Begitu, yang mendukung sejumlah kebijakan Fauzi Bowo sebelumnya. Dalam Pilkada DKI Jakarta juga flashmob dengan melibatkan orang banyak di lapangan terbuka untuk mendukung pilihan politiknya menjadi kampanye terbuka yang kreatif. Rekaman Flashmob ini yang kemudian disebar ke pelbagai platform percakapan elektronik, baik whatsapp, line, ataupun blackberry mesengger.

Penggunaan praktik-praktik budaya populer ini semakin marak pada Pemilihan Presiden pada tahun 2014. Di tengah pertarungan yang hanya menggusung dua kandidat Presiden-Wakil Presiden, yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kalla. Dalam konteks ini, keterlibatan musisi dan inisiatif pilihannya secara terbuka mendukung salah satu pasangan calon menjadi preseden baru dalam konteks budaya pop dan politik di Indonesia. Dengan mengajak jebolan Indonesian Idol, Ahmad Dani mengajak Virzha, Husein, Nowela untuk membuat video musik yang kemudian diunggah di Youtube sebagai dukungan kepada Prabowo-Hatta. Judul lagu tersebut adalah Indonesia Bangkit, yang diadopsi dari lagu dan musik We Will Rock You. Sementara itu, Slank, dan Geng Potlot serta para musisi nasional dengan mengatasnamakan Komunitas Revolusi Harmoni, menyanyikan lagu ciptaan Slank dengan judul lagu Salam 2  Jari  sebagai bentuk dukungan kepada Jokowi. Secara terbuka, Kill the DJ dan Balance dari Jogja Hip Hop Foundation (JHF) membuat lagu khusus untuk mendukung Jokowi, Bersatu Pada Memilih No.2.  

Sebelum dihempas oleh Predator Politik dan Kelompok Konservatif Keagamaan melalui isu SARA, produk budaya populer sebagai bagian dari kampanye politik dan dukungan secara terbuka ini juga dilakukan pada kampanye Pilkada DKI Jakarta 2016 kemarin. Di sini, masing-masing tim pemenangan pasangan calon, dan pendukungnya, baik dibayar maupun sukarela telah membuat video lagu sendiri untuk menarik hati publik Jakarta. Pasangan Agus-Sylvi membuat setidaknya 11 lagu yang diunggah di Youtube. Mereka juga mengadakan lomba lipsync, “senangnya tuh di sini” gubahan dari Sakitnya Tuh Di sini-nya Cita Citata. Sementara Anies-Sandi di bawahnya, yaitu hanya memiliki 10 lagu di Youtube, di mana penyumbang terbanyak yang diciptakan sendiri datang dari relawannya yang bernama Kamaludin Rahmat dengan menyumbang 4 lagu gubahan. Tim pemenangan Ahok Sendiri dan juga simpatisannya membuat 5 lagu gubahan dan 7 lagu sendiri yang dinyanyikan oleh musisi nasional (Akmaliah, 2017).

Dalam Pilkada Serentak ini, praktik budaya populer juga mulai diusung tim pemenangan pasangan calon Saifullah Yusuf-Puti Guntur dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Di sini, Tim Pemenangan mereka berencana menggusung Via Vallen dan Nella Kharisma, dua penyanyi dangdut muda yang namanya sedang naik daun di level nasional. Melalui puisi hasil ciptaan Saifullah Yusuf dengan judul Kabeh Sedulur, Kabeh Makmur, tim pemenangannya sudah menciptakan lagu dari materi puisi tersebut yang diyanyikan oleh Via Vallen. Lagu ini yang saat ini mulai menggema di Youtube dan menyebar di platform media sosial seperti Twitter dan Instagram. Sementara itu Khofifah sendiri berencana mendatangkan lawak dan ludruk yang menjadi ciri kebudayaan Jawa Timur.

Pertanyaannya apakah produk-produk budaya pop tersebut cukup ampuh dalam menaikkan dukungan kepada pasangan calon? Kalau melihat dua konteks politik elektoral Pilkada DKI pada tahun 2012 dan Pilpres 2014 hal itu bisa terlihat dengan jelas. Meskipun dalam Pilkada DKI 2016 kemarin, kampanye kreatif tersebut dikalahkan isu SARA yang dimainkan dalam proses kampanye yang berdampak hingga sekarang. Namun, di tengah sulitnya memainkan isu SARA, konteks Pilkada Jawa Timur ini bisa menjadi cerminan untuk mengetahui sejauhmana praktik budaya pop bisa mempengaruhi pilihan masyarakat Jawa Timur. Sebagaimana diketahui, jumlah generasi milenial mencapai 14.506.800 atau 37,68 persen dari 38,85 juta total jumlah penduduk Jatim. Menggaet Via Vallen dan Nella Kharisma untuk menggaet dukungan kelompok milineal di Jawa Timur tampak menjadi kampanye realistis dan signifikan. Meskipun harus diakui, selain praktik budaya populer, mesin politik yang bergerak ke bawah, kekuatan jaringan, dan politik uang merupakan tiga pendulum yang menggerakan dan menjadi penentu terakhir saat di bilik suara. (Wahyudi Akmaliah)