Plagiasi itu “penyakit berat” dunia akademis dan kerja-kerja kebudayaan, seperti aktivitas menulis puisi, cerpen, ataupun novel. Meskipun tergolong sebagai “penyakit berat”, banyak dari akademisi dan pegiat kebudayaan terkena penyakit berat tersebut. Apalagi dengan adanya dukungan teknologi komputer, internet, serta perangkat teknologi ikutan lainnya melalui perambah Google, setiap orang bisa melakukan salin dan tempel tulisan untuk kemudian diubah sedikit dengan mengatasnamakan dirinya sebagai pemilik karya. Kondisi ini, meminjam ungkapan Afrizal Malna (1997) dapat disebut sebagai “Vampir Kebudayaan.” Sebuah kondisi yang, “Ketika teknologi canggih tersebut dapat juga menjadi semacam penghisap darah kreativitas-sejati manusia dalam aktivitas pengembangan kebudayaan—tanpa harus menafikan segi positif teknologi tersebut—dan mengantarkan pada tindakan-tindakan tak bermoral”.

Dalam diskusi seminar intern, 4 Juli 2014 di ruang PMB-LIPI Bogor, Muhammad Bashori Imron menyoroti persoalan plagiasi dengan mengangkat tema, Plagiasi KTI Peneliti dan Masalahnya. Selain menganggap bahwa plagiasi merupakan isu serius, Bashori, sebagaimana ia sering disapa, mengangkat isu ini didasarkan dari pengalaman pribadinya. Pada tahun 2008, Bashori dikagetkan oleh usulan angka kredit Peneliti dalam bentuk buku yang diajukan oleh peneliti salah satu unit litbang A. Padahal, menurut Bashori, judul yang sama diterbitkan oleh PMB LIPI tahun 1993, ditulis oleh Masayu S Hanim dan dirinya. Dengan demikian, karya tersebut telah diterbitkan kembali oleh orang lain tanpa izin penulisnya setelah 21 tahun.

Melihat kondisi tersebut, bagi Bashori, tindakan plagiasi bukan hanya menciderai kerja-kerja akademik, melainkan juga sebagai pelanggaran pidana. Lebih keras, ia menganggap bahwa tindakan plagiasi adalah sebagai tindakan mencuri karya orang lain yang dianggap sebagai karangannya. Ungkapan Bashori ini senada dengan kebanyakan akademisi yang yang melihat plagiasi sebagai sebuah dosa. Setidaknya ada dua alasan yang menjadikan plagiasi layak dianggap sebagai masalah serius. Pertama, plagiasi merupakan bentuk perwujudan kesalahan interpretasi dari ide-ide/kata-kata orang lain. Kedua, mengabaikan adanya kutipan berarti mengabaikan hak pembaca untuk melakukan penelusuran kepada sumber asli terkait dengan karya yang dibaca.

Ada banyak bentuk plagiasi, namun yang terpenting adalah bagaimana plagiasi itu bisa dihilangkan. LIPI sebagai lembaga riset sudah memiliki aturan tersendiri mengenai plagiasi, yaitu “Peraturan Bersama Kepala LIPI dan Kepala BKN Nomor 412/D/2009 dan nomor 12 tahun 2009 pasal 19 ayat 1, menyatakan: peneliti yang terbukti secara sah melakukan plagian diberhentikan dari jabatan peneliti. Namun, selama belum ada Petunjuk Teknis, dapat digunakan Peraturan Pegawaian”. Sementara itu pada tahun 2011, LIPI menyusun pedoman kode etika penelitian, yang dua tahun kemudian menjadi Peraturan Kepala LIPI Nomor 06/E/2013, 14 Agustus 2013 tentang Kode Etik Peneliti dan Peraturan Kelapa LIPI Nomor 08/E/2013, 6 November 2013 tentang Pedoman Klirens Etik Penelitian dan Publikasi Ilmiah.

Menurut Bashori, aturan itu akan sekedar aturan apabila tidak ada proses evaluasi sejak awal. Untuk memutus mata rantai plagiasi, ia menawarkan adanya proses transparansi sejak awal perekrutan, adanya pembinaan karir peneliti, dan kejelasan sistem reward dan punishment yang dilakukan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, LIPI sudah melakukan proses tersebut dengan baik. Namun, bagi LITBANG (Penelitian dan Pengembangan)) di daerah-daerah yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan Kementerian justru hal tersebut yang menjadi kendala. Apalagi dengan adanya stigma kepanjangan akronim LITBANG sebagai sulit berkembang. Hal itu menambah susahnya membangun etos transparansi dan memutus mata rantai plagiasi. Terutama di tengah adanya tuntutan bagi peneliti memperoleh angka kredit melalui tulisan atau karya-karya akademik sebagai usaha untuk jenjang kenaikan pangkat. Proses ini kerap membuat sebagian peneliti mencari jalan pintas. Dalam konteks ini penegakan aturan jadi penting untuk dilakukan agar plagiasi sebagai penyakit berat akademis bisa benar-benar dihilangkan. (Wahyudi Akmaliah)