BOGOR- Pada hari Rabu, 11 Februari 2015 diadakan seminar intern di P2KK-LIPI. Seminar yang dipaparkan oleh Wahyudi Akmaliah ini mengangkat judul ‘Ketika Ulama Mendukung Seorang Penyanyi Pop: Fatin Shidqia Dan Diskursus Mengenai Budaya Islam Popular Setelah Masa Rezim Suharto’. Tema ini diangkat untuk mengetahui perspektif baru mengenai sosok muslimah Indonesia.
Munculnya realitas di dunia pertelevisian, video musik, film, dan band-band pop yang merupakan bagian budaya populer global kerap dianggap produk dari barat. Hal ini sering dilihat sebagai ancaman bagi negara, daerah, budaya dan identitas kelompok keagamaan. Namun, dalam perkembangan terbaru, Cholil Ridwan sebagai representasi MUI(Majelis Ulama Indonesia) menyampaikan dukungan dengan surat terbuka untuk Fatin dalam kontes menyanyi dari IXF(Indonesia X Factor) tahun 2013. Dalam pandangan pemakalah, hal ini menunjukkan bahwa mereka mulai lebih moderat dan inklusif.
Pilihan untuk mendukung seorang muslimah berkerudung yang menyanyi di kontes yang kerap dianggap sebagai representasi budaya Barat itu bukan pilihan biasa. Lebih jauh, sosok Fatin bahkan berhubungan dengan kekayaan, ikon modernitas, dan gaya hidup urban. Jika kita melihat masa lalu, sampai pertengahan 1980-an, Muslim Indonesia tidak dikaitkan dengan citra yang direpresentasikan Fatin tersebut. Muslim ketika itu, lebih dipersepsikan sebagai entitas yang memelihara nilai konservatif.
Alasan yang membuat Cholil mendukung Fatin, adalah karena Fatin dipandang sebagai sosok yang dapat menjadi panutan bagi anak muda Muslim lainnya. Fatin memperlihatkan bahwa mengenakan jilbab tidak menjadi penghalang bagi pencapaian karirnya dalam kontes menyanyi. Oleh karena itu, pemuda lain juga diharapkan dapat menggapai apapun cita-cita mereka tanpa meninggalkan identitas Islam mereka. Dari dukungan tersebut, pemakalah menunjukkan bahwa perspektif Cholil Ridwan sebagai salah satu representasi MUI telah menjadi moderat. Asumsi pemakalah tersebut, diperkuat dengan wawancara Cholil Ridwan mengenai dukungannya.Seminar ini berjalan dengan lancar, beberapa penanya mengajukan pertanyaan yang memancing diskusi. Salah satu penanya, mengajukan pertanyaan mengenai fenomena perempuan berkerudung namun tidak menerapkan ajaran Islam sepenuhnya. Dalam perspektif pemakalah, fenomena tersebut menunjukkan bahwa pada tataran norma yang ideal kerudung seharusnya berkaitan dengan keimanan. Namun, karena kerudung juga merupakan simbol agama yang berkaitan dengan simbol sosial maka muncullah fenomena tersebut.
Fenomena Fatin menunjukkan bahwa dunia Islam bukanlah satu entitats tunggal. Di satu sisi kita dapat menemukan bahwa ada kelompok Islam yang menunjukkan wajah kekerasan. Namun, di sisi lain Islam muncul lewat buku-buku, film, adibusana yang ada pada budaya populer. Dalam konteks ini, kehadiran Fatin merupakan simbol Muslim muda Indonesia yang terhubung dengan identitas global. Kehadiran kelompok seperti ini juga ditandai adanya konsumsi yang menjadikan mereka menjadi warga Muslim sekaligus warga global. (Maulida Illiyani)