kaa1

kaa1Peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang ke-60 tahun ini memiliki makna simbolik yang kuat secara politik dan sejarah. Pada 1955, negara-negara Asia dan Afrika yang telah terbebas dari penjajahan, menjadi negara merdeka dan berdaulat, membentuk gerakan politik bersama dikenal dengan “kekuatan Selatan-Selatan”. Spirit KAA masih sangat relevan, meskipun dalam konteks yang berbeda saat ini. Perkembangan dan dinamika global antara lain didominasi oleh kepentingan ekonomi kapitalis dengan konsep pasar bebas, rivalitas kepentingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, dan persoalan keamanan regional di Asia Timur, baik karena konflik perbatasan secara bilateral maupun persoalan Semenanjung Korea terkait pengembangan kekuatan nuklir dan pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara yang cenderung kian ramai diperbincangkan.

Dengan dinamika global yang semakin kompleks, KAA kali ini memilih tema “Strengthening South-South Cooperation to Promote World Peace and Prosperity”, yang menyiratkan adanya dua persoalan besar di dunia, yakni ketegangan, perselisihan dan konflik, terutama konflik kekerasan, serta kesenjangan pembangunan dan kemiskinan struktural, bahkan kemiskinan absolut, baik di benua Asia maupun Afrika. Melalui kerjasama Selatan-Selatan yang semakin intens, muncul harapan bersama untuk mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan yang selayaknya dapat dioptimalkan di setiap negara KAA maupun di dalam kerjasama regional yang lebih luas.

Dalam globalisasi, pendekatan perdamaian dan kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dari analisa mengenai dominasi hubungan antarnegara yang memiliki karakter terkait persoalan daya saing ekonomi, hubungan lokal dan global, serta aspek keterhubungan secara infrastruktur, khususnya melalui informasi dan transportasi. Dengan demikian, kerjasama Selatan-Selantan tidak dapat melupakan dampak globalisasi ekonomi yang menciptakan terjadinya berbagai konflik kekerasan, kegagalan pembangunan, kemiskinan struktural dan persoalan sosial lainnya.

Selain berbagai program dan kegiatan yang telah dijadwalkan, peringatan KAA kali ini memiliki dua momentum penting bagi Indonesia. Pertama, mempromosikan konsep Poros Maritim Dunia, khususnya dalam rangka persiapan Indonesia menjadi ketua kerjasama kasasan Samudera Hindia atau Indian Ocean Rim Association (IORA) pada akhir 2015 sampai 2017. Sesuai dengan esensi konsep Poros Maritim Dunia, pada tataran operasional, Indonesia akan menjadi role model sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia. Kedua, kekuatan maritim Indonesia bukan hanya memberikan keuntungan bagi Indonesia, melainkan juga bagi negara ataupun kawasan lain. Kerjasama sektor maritim sangat potensial  dalam hal pengelolaan sumber daya dan hasil laut, termasuk pangan dan energi, pengembangan teknologi kelautan, pembangunan ekonomi maritim, dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Selain pembangunan sektor kelautan Indonesia, pertemuan KAA dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk membagikan pengalaman berdemokrasi dan mengajak negara-negara KAA untuk berupaya sungguh-sungguh dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi. Praktik-praktik demokrasi formal melalui pemilu baik nasional maupun lokal memperlihatkan keberhasilan membangun stabilitas politik sejak sekitar 10 tahun terakhir. Hal lainnya, seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan berpendapat, menjadi bukti bahwa Indonesia konsisten dalam mendorong demokratisasi di berbagai tingkat nasional dan lokal. Namun demikian, memang belum seluruh pilar-pilar demokrasi Indonesia ‘tegak’ secara optimal.

Berdasarkan pendekatan isu (issues based approach), selain isu demokrasi, hak asasi manusia (HAM) merupakan isu universal yang penting menjadi pertimbangan Indonesia untuk mengupayakan perbaikan HAM secara global. Tiga aspek utama HAM adalah promosi, perlindungan dan pemenuhan HAM. Namun, sampai sekarang masih berlangsung kasus-kasus kekerasan politik yang menjurus pada pelanggaran HAM di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Papua. Sementara itu, sebagai warga dunia, Indonesia tidak dapat menutup mata dengan terjadinya kekerasan politik dan pelanggaran HAM di kawasan Asia dan Afrika, termasuk kecenderungan terjadinya pelanggaran HAM di Korea Utara. Isu HAM Korea Utara memiliki karakter yang sangat berbeda dengan yang terjadi di Papua. Di Korea Utara, kecenderungan pelanggaran HAM dianggap bersumber dari basis ideologi sistem politik negara Korea Utara yang dikenal dengan “Juche”. Persoalan HAM di Korea Utara saat ini dapat dikatakan merupakan ‘warisan’ pasca Perang Korea yang menyebabkan terbelahnya negara Korea menjadi dua bagian yaitu Korea Utara dan Selatan, kemudian berkembang menjadi bagian dari persoalan Semenanjung Korea yang melibatkan kekuatan-kekuatan eksternal, baik di bagian Utara maupun Selatan.   

Politik dan keamanan global dipengaruhi oleh adanya distrust di antara negara-negara di kawasan ini menimbulkan kekhawatiran yang lebih luas, seperti konflik perbatasan antara Jepang dan Tiongkok, antara Jepang dan Korea Selatan, maupun isu Semenanjung Korea, baik “perang yang belum selesai” antara Korea Utara dan Korea Selatan maupun pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Persoalan distrust semakin sulit diatasi manakala melibatkan kepentingan eksternal di kawasan, misalnya Amerika Serikat (AS) dengan negara-negara sekutunya (Jepang dan Korea Selatan) “berhadapan” dengan Tiongkok.

Secara konstitusional, Indonesia memiliki kewajiban dan tanggung jawab dalam turut serta menciptakan perdamaian dunia. Dinamika lingkungan strategis di tingkat regional maupun global turut mempengaruhi perkembangan politik, keamanan dan ekonomi di negara-negara KAA. Dengan demikian,  penting bagi Indonesia untuk mempunyai pandangan strategi global yang mencakup prioritas isu dan negara atau kawasan yang berpengaruh secara langsung bagi kepentingan nasional dalam arti kemanfaatan bagi Indonesia maupun kontribusi Indonesia bagi penyelesaian isu serta bagi negara dan kawasan tertentu. Dalam konteks ini, analisa untung-rugi (cost and benefit analysis) perlu dilakukan dengan mengukur kemampuan Indonesia dalam rangka menjalankan kebijakan yang lebih terarah dengan indikator dan parameter yang terukur sesuai dengan prioritas dan kapabilitas Indonesia saat ini.

Sesuai dengan visi dan misi pemerintah Indonesia saat ini, kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia selayaknya dijalankan berdasarkan tiga elemen utama. Pertama, demokrasi dan HAM. Sejak sepuluh tahun terakhir, demokrasi Indonesia semakin maju, dimana kebebasan berekspresi semakin terbuka dan rakyat semakin dewasa dalam mengambil bagian dalam proses politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Meskipun hingga saat ini, masih ada berbagai persoalan di dalam kehidupan demokrasi Indonesia, seperti masalah reformasi birokrasi, terutama terkait dengan praktik korupsi di berbagai lini, kegagalan pembangunan dan kesenjangan antardaerah di Indonesia, termasuk persoalan kemiskinan dan pengangguran. Persoalan pembangunan menjadi penyebab munculnya ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, maupun menyebabkan munculnya masalah kriminal dan masalah sosial lainnya. Demokrasi di Indonesia juga masih diwarnai dengan pertarungan para elit politik antara legislatif dan eksekutif di tingkat nasional, padahal tugas dan tanggung jawab utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Elemen demokrasi dan HAM di dalam politik luar negeri dan diplomasi tergambar di dalam kiprah Indonesia dalam berperan sebagai mediator, fasilitator maupun pengamat, terkait perselisihan atau sengketa perbatasan antarnegara di dalam konteks Laut Cina Selatan, konflik bersenjata antara Pemerintah Filipina dengan Kelompok Islam Moro yang berakhir dengan kesepakatan perdamaian pada 1996, maupun kontribusi Indonesia dalam proses transisi politik di Myanmar, dan juga Mesir.

Kedua, pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Indonesia disebut sebagai “one of  the global swing states” dalam mengarahkan pergerakan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi nasional semakin memberikan harapan positif. Pembangunan ekonomi yang inklusif memerlukan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pemerataan hasil-hasil pembangunan secara nasional, sehingga bermanfaat bagi setiap warga negara. Kebijakan pembangunan nasional perlu diperbaiki bukan hanya menguntungkan bagi pasar dan pemodal besar melainkan juga bagi masyarakat, khususnya usaha kecil dan menengah yang menjadi bagian penting dalam rangkaian kegiatan ekonomi secara terpadu. Ekonomi global menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia dalam meningkatkan kerjasama yang saling menguntungkan serta dalam arti keberlanjutan. Globalisasi membuat jarak semakin dekat, hal ini berarti pula tanggung jawab dalam membangun dunia dalam jangka panjang dengan memperhitungkan pertumbuhan pendudukan dan ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi bagi kesejahteraan setiap warga negara maupun warga dunia.

Ketiga, penguatan riset dan pengembangan. Untuk membangun Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia, riset dan pengembangan sektor kelautan memerlukan kebijakan dan strategi yang terarah serta dukungan anggaran yang memadai, terutama untuk membangun teknologi kelauatan sesuai dengan posisi geografi, dan potensi serta kekayaan laut Indonesia. Dalam konteks ini, pembangunan kapasitas dalam konteks pengembangan SDM melalui pendidikan formal maupun pelatihan menjadi syarat utama dengan proyeksi sampai 2025 atau 2030.

Dalam konteks KAA, elemen demokrasi dan HAM perlu menjadi komitmen bersama seluruh negara KAA untuk secara optimal mengimplementasikannya di tingkat nasional, misalnya minimal dengan mendirikan institusi HAM. Secara konstitusional, Indonesia adalah negara yang sangat memperhatikan aspek HAM. Secara institusional, Indonesia memiliki Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak. Demikian pula dengan impelementasi demokrasi di setiap negara KAA bukan hanya pada demokrasi prosedural namun lebih berupaya memperbaiki substansi demokrasi.

Sesuai dengan tema KAA kali ini, penguatan kerjasama Selatan-Selatan dalam menciptakan perdamaian dunia dan kesejahteraan dapat dilakukan dengan pendekatan transformasi konflik dengan mengupayakan potensi perdamaian yang ada dan berdasarkan pengalaman berbagai negara di Asia dan Afrika. Kekerasan dan potensi kekerasan diubah menjadi kerjasama saling menguntungkan, sehingga perdamaian dapat dimaknai sebagai kondisi yang bebas dari kekerasan, namun tetap memberi ruang pada persaingan yang sehat. Sedangkan pembangunan dan pengurangan kemiskinan dapat dilakukan dengan memperbaiki dimensi struktural, kultural dan natural. Secara struktural, kebijakan dan program dapat ditentukan dengan memperhatikan kekhususan suatu daerah, negara atau kawasan dari segi geografi (natural), demografi, dan sumber daya ekonomi, serta dimensi kultural yang berperan di dalam mendukung kerjasama pembangunan yang influsif dan berkelanjutan.

Akhirnya, KAA penting diperingati secara seremonial, namun yang terpenting adalah Indonesia dapat mengulang, selain memimpin komitmen bersama untuk mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Asia dan Afrika melalui pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, serta dengan mengurangi konflik kekerasan menuju rekonsiliasi dan perdamaian dunia secara lebih nyata. Selanjutnya, kerjasama di antara negara-negara KAA perlu diarahkan untuk membangun indikator perdamaian dan kesejahteraan menurut pengalaman setiap negara, sehingga dapat dirumuskan rencana aksi untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan yang dimaksudkan dalam kerjasama ini.

(DR. Adriana Elisabeth, Kepala Puslit Politik LIPI)