1432529227

1432529227Pembangunan desa tidak hanya berfokus pada membangun desa maju, tetapi juga pada alam yang lestari dan berkelanjutan.

Peneliti agraria dan lingkungan dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gutomo Bayu Aji mengatakan bahwa perencanaan pembangunan desa juga perlu menyelaraskan dengan pelestarian lingkungan.

Untuk itu, koinvestasi atau investasi bersama jasa lingkungan menjadi salah satu upaya yang dapat dikembangkan dalam mewujudkan lingkungan lestari dan tetap mendorong kesejahteraan masyarakat.

Jasa lingkungan merupakan manfaat yang diberikan oleh alam untuk manusia, tidak dapat diukur dengan nilai uang.

“Konsep koinvestasi jasa lingkungan memiliki potensi untuk diintegrasikan dengan pembangunan desa. Dalam hal ini lingkungan yang lestari menjadi indikator penting dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan,” katanya dalam lokakarya bertema Ko-Investasi Jasa Lingkungan untuk Mendukung Pembangunan Desa yang Berkelanjutan di Gedung Widya Graha, LIPI, Jakarta, awal bulan Mei 2015.

Menurut Gutomo, potensi integrasi antara koinvestasi dan perencanaan pembangunan desa sangat bergantung pada pemahaman dan pengetahuan masyarakat desa akan isu lingkungan karena nantinya masyarakat desa sendiri yang akan menentukan isu prioritas pembangunan di desa.

Untuk itu, lanjut dia, peningkatan kapasitas masyarakat desa akan sangat krusial untuk menentukan arah koinvestasi atau investasi bersama jasa lingkungan di wilayah mereka.

Keterlibatan masyarakat, menurut dia, menjadi penting karena arah pembangunan desa berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan penyelamatan lingkungan dari degradasi dan kerusakan lainnya.

“Partisipasi dari masa ke masa bersifat elitis atau tokoh kurang menyentuh ‘akar rumput’,” ujarnya.

Betha Lusiana, Koordinator Indonesia Smart Tree-Invest dari World Agroforestry Center (ICRAF) suatu pusat penelitian internasional yang bekerja di bidang agroforestri, menegaskan pentingnya pemerintah mendorong koinvestasi dalam pembangunan desa berkelanjutan karena sempitnya lahan untuk konservasi.

Kemudian, karena lahan pertanian yang saat ini sebagian besar merupakan lahan pribadi sehingga perlu adanya sistem insentif.

“Insentif biasanya sangat kecil jika hanya dihitung secara finansial,” katanya.

Selain itu, pemberian insentif yang hanya berupa uang semata perlu ditinjau kembali karena dikhawatirkan dapat menurunkan motivasi masyarakat dalam melakukan kegiatan konservasi dan memonetisasi jasa lingkungan yang merupakan barang publik.

Jasa lingkungan di lahan pertanian, terutama berbasis pohon, jarang diperhitungkan dalam valuasi jasa lingkungan, padahal masyarakat secara nyata dapat mempertahankan kondisi lingkungan yang lestari melalui pertanian berkelanjutan.

Salah satu ciri koinvestasi jasa lingkungan adalah kontraknya bersifat fleksibel, tidak selalu mengikuti mekanisme pasar dan didasari kepercayaan dan niat baik antara pemanfaat dan penyedia.

Untuk itu, pemerintah harus mendorong terciptanya koinvestasi atau investasi bersama untuk meningkatkan jasa lingkungan tersedia dengan berdasarkan asas kerja sama dan saling percaya dalam mengelola alam serta asas kondisionalitas berbasis pelaksanaan kegiatan.

Menurut Koordinator Regional Proyek Smart Tree-Invest dari ICRAF Beria Leimona, skema jasa lingkungan harus diarahkan menjadi koinvestasi atau investasi bersama bukan sekadar pembayaran jasa lingkungan.

“Dalam koinvestasi jasa lingkungan, para pemanfaat maupun penyedia, secara sadar dan sukarela berkontribusi untuk meningkatkan jasa lingkungan yang memberikan manfaat bersama hingga pada akhirnya meningkatkan kualitas penghidupan mereka,” katanya.

Beria Leimona mengatakan bahwa pembayaran jasa lingkungan tidak harus selalu berupa insentif finansial, tetapi juga nonfinansial seperti pengakuan atas hak lahan dan akses ke pasar bagi penyedia jasa lingkungan.

Selama ini, kata dia, imbal jasa lingkungan sering kali diinterpretasikan sebagai pembayaran jasa lingkungan semata. Kemudian, skema pembayaran jasa lingkungan itu dilaksanakan melalui kontrak antara pemanfaat jasa lingkungan dan penyedia jasa lingkungan yang mana pemanfaat akan memberikan pembayaran bagi penyedia untuk menjaga dan meningkatkan jasa lingkungan secara sukarela berdasarkan persyaratan atau kondisionalitas yang disepakati.

“Istilah pembayaran masih dimaknai secara sempit sebagai transaksi menggunakan mekanisme pasar melalui kompensasi finansial atau pembayaran uang tunai semata,” ujarnya.

Akibatnya, kata dia, pembayaran jasa lingkungan dianggap membutuhkan sumber daya finansial yang besar untuk kompensasi, dan merupakan skema transaksional yang membutuhkan keterlibatan dari pemanfaat langsung maupun penyedia jasa lingkungan.

Pembayaran jasa lingkungan merupakan skema keterlibatan masyarakat hulu melalui kegiatan konservasi sebagai penyedia jasa lingkungan dan pihak eksternal, seperti pengguna air sebagai pemanfaat jasa lingkungan.

Dengan skema pembayaran jasa lingkungan, masyarakat hanya bergantung pada pembayaran yang diberikan pemanfaat untuk melestarikan alam bukan karena tanggung jawab sosial. Padahal, tidak selamanya pemanfaat jasa lingkungan akan ada di setiap desa atau wilayah yang terdegradasi untuk berkontribusi melakukan pembayaran jasa lingkungan.

Ia menandaskan pentingnya skema jasa lingkungan dipandang sebagai investasi bersama. Dalam hal ini masyarakat secara sukarela menjaga kelestarian lingkungan sekaligus memperoleh penghidupan dengan memberdayakan sumber daya alam.

Lebih lanjut Beria mengatakan bahwa kegiatan penyediaan jasa lingkungan tidak bisa oleh aktor tunggal, tetapi harus melalui kolaborasi antarpemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat, maupun pihak swasta.

“Pada kondisi tidak banyak atau tidak ada pemanfaat jasa lingkungan di satu daerah yang memiliki potensi degradasi lingkungan maka mekanisme pembayaran jasa lingkungan akan sulit berjalan,” katanya.

Untuk itu, diperlukan keinginan dari para pihak yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan, baik sektor publik, swasta, maupun masyarakat, untuk berkontribusi bersama dalam menjaga dan meningkatkan jasa lingkungan dengan skema koinvestasi atau investasi bersama jasa lingkungan.

Sejak 2002, ICRAF memfasilitasi pengembangan skema Imbal Jasa Lingkungan melalui penguatan agroforestri di berbagai daerah di Indonesia, antara lain Daerah Aliran Sungai Way Besai, Sumberjaya, Lampung.

Di Lampung, ICRAF memfasilitasi pemberian insentif pembangunan pembangkit listrik mikrohidro dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk petani kopi yang melakukan kegiatan konservasi sungai.

Proyek Climate-Smart, Tree-Based, Agriculture in Adaptation, and Mitigation in Asia (Smart Tree-Invest) dari ICRAF berlangsung selama Maret 2014–Maret 2017 dengan penyumbang dana dari International Fund for Agriculture Development.

Kegiatan Smart Tree-Invest itu dilakukan di tiga negara, yakni Indonesia, Filipina, dan Vietnam.

Di Indonesia, ICRAF melakukan identifikasi kerentanan dan ketahanan petani terhadap perubahan iklim maupun sosio-ekonomi yang memengaruhi penghidupan petani di Indonesia. Proyek Smart Tree-Invest itu dilakukan di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah.

Dana yang disalurkan untuk proyek itu sebesar 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Khusus Indonesia, mendapatkan sepertiga bagian dari dana itu atau sebesar 500 ribu dolar AS.

Koordinator Regional Proyek Smart Treest dari ICRAF Beria Leimona mengatakan bahwa dana tersebut untuk tiga tahap, yakni tahap penilaian dan identifikasi kondisi dan isu lingkungan di Kabupaten Buol.

Kemudian, tahap kedua adalah rencana aksi koinvestasi jasa lingkungan dan tahap ketiga adalah pengarusutamaan konsep koinvestasi jasa lingkungan ke dalam kebijakan atau panduan pelaksanaan kegiatan.

Terkait dengan proyek Smart Tree-Invest itu, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Buol Ibrahim Rasyid mengatakan pemerintah dan masyarakat setempat mempunyai komitmen untuk pelestarian lingkungan dan menyambut baik pelaksanaan koinvestasi jasa lingkungan di daerah itu.

“Konsep (ko-investasi jasa lingkungan) ini selain melihat aspek lingkungan juga aspek kemandirian bagaiamana masyarakat mandiri secara ekonomi dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan,” katanya.

Ia berharap hasil identifikasi awal mengenai kondisi dan isu lingkungan Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, itu dapat segera menjadi landasan dalam menentukan langkah selanjutnya dalam mendorong pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Koinvestasi dengan Agroforestri World Agroforestry Center (ICRAF) mengatakan bahwa agroforestri dapat meningkatkan jasa lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, terutama petani, melalui pemberdayaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.

“Agroforestri meningkatkan jasa lingkungan serta mengurangi kerentanan dan meningkatkan ketahanan petani terhadap perubahan iklim dan sosial ekonomi,” kata Koordinator Indonesia Smart Tree-Invest Betha Lusiana.

Ia mengatakan bahwa agroforestri merupakan salah satu kegiatan pengembangan pertanian berkelanjutan yang membantu masyarakat, terutama petani, memperoleh penghidupan dari penanaman pohon yang bernilai ekonomi, bukan sekadar tanaman semusim yang rentan dengan perubahan iklim.

“Ada sinergi antara mitigasi dan adaptasi yang dilakukan melalui pertanian basis pohon pada akhirnya akan membawa penghidupan yang berkelanjutan,” tuturnya.

Pertanian berkelanjutan baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan mampu meningkatkan kapasitas petani untuk beradaptasi terhadap guncangan sekaligus menghasilkan jasa lingkungan yang dapat meredam dampak dari perubahan iklim.

“Kegiatan pertanian berbasis pohon atau agroforestri memiliki fungsi untuk meningkatkan penghidupan sekaligus mempertahankan kemampuan lanskap dalam menyediakan berbagai jasa lingkungan berupa sandang, pangan dan papan, habitat bagi keanekaragaman hayati, konservasi air dan tanah, dan penyerapan karbon,” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan bahwa di berbagai negara berkembang, petani skala kecil cenderung rentan terhadap berbagai guncangan dan perubahan eksternal, antara lain dari aspek lingkungan, seperti perubahan iklim dan bencana alam yang memengaruhi pola pertanian.

Kemudian, guncangan pada kondisi sosial-ekonomi seperti dinamika harga komoditas pertanian.

“Petani skala kecil umumnya memiliki keterbatasan kapasitas kemampuan maupun sumber daya yang diperlukan untuk beradaptasi terhadap berbagai guncangan,” katanya.

Berbagai penelitian, kata dia, menunjukkan potensi agroforestri untuk meningkatkan ketahanan petani dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim dan guncangan sosial ekonomi.

“Melalui kegiatan agroforestri yang berkelanjutan, petani dapat terlibat dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan jasa lingkungan,” ujarnya.

Dengan kegiatan agroforestri, lanjut dia, akan memberikan ruang tarik-ulur antara intensifikasi pertanian dan penyedian jasa lingkungan.

Salah satu contoh kegiatan agroforestri adalah menggabungkan antara pengembangan tanaman komersial, misalnya kopi, kayu, dan karet dengan tanaman kayu dan buah-buahan di dalam satu bentang alam.

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu, pengombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama maupun bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total yang optimal dan berkesinambungan.

Riset Pembangunan Desa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong berbagai riset untuk kepentingan masyarakat dan kebijakan pemerintah sehingga dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui hasil penelitian.

“LIPI sebagai lembaga penelitian pemerintah selain memiliki ‘science for science’ atau ilmu untuk ilmu, juga ‘science for society’, ilmu untuk masyarakat. Hasil-hasil riset ini diolah untuk kepentingan kebijakan pemerintah yang juga berorientasi pada kepentingan rakyat,” kata Kepala Bidang Diseminasi dan Pengelolaan Hasil Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara, Jakarta.

Dalam lokakarya bertema Ko-Investasi Jasa Lingkungan untuk Mendukung Pembangunan Desa yang Berkelanjutan di Gedung Widya Graha, LIPI, Jakarta, Herry mengatakan bahwa pada tahun 2015–2019 Pusat Penelitian Kependudukan LIPI memfokuskan penelitian pada ketahanan masyarakat dan pengurangan risiko bencana, termasuk penelitian kerja sama, terkait dengan hutan kemasyarakatan dan hutan desa.

Sebelumnya, pada tahun 2009–2014, LIPI fokus pada penelitian dampak perubahan iklim terhadap penduduk perdesaan dan perkotaan.

Salah satu kerja sama yang saat ini dilakukan LIPI adalah bersama ICRAF untuk pengembangan koinvestasi jasa lingkungan.

“Kerja sama dengan ICRAF ini tentang kesejahteraan pada masyarakat desa, bagaimana menanam pohon kemudian dari menanam pohon itu bernilai ekonomi bagi kehidupan masyarakat,” katanya.

LIPI dan ICRAF menyelenggarakan lokakarya itu untuk menciptakan ide dan inovasi untuk mengembangkan investasi bersama jasa lingkungan yang sinergis dengan pembangunan di daerah dalam konteks peningkatan kapasitas adaptasi petani kecil terhadap guncangan.

Guncangan yang dihadapi petani, antara lain aspek sosial dan ekonomi dengan ketidakpastian harga input untuk produksi pertanian dan perubahan iklim atau bencana alam.

“Kerja sama ini selain kami berbicara jasa lingkungan, kami juga membahas tentang pembangunan desa,” ujarnya.

Strategi Kolaborasi Pakar Sosiologi Perdesaan Institut Pertanian Bogor Ivanovich Agusta mengatakan bahwa pembangunan desa yang berkelanjutan dengan koinvestasi atau investasi bersama jasa lingkungan perlu didukung strategi kolaborasi antarpemangku kepentingan.

“Pemerintah dan masyarakat harus memperkuat rasa solidaritas untuk pembangunan desa yang berkelanjutan,” katanya.

Ia mengatakan bahwa masyarakat juga harus mendorong dan menyakini program pembangunan desa yang menjadi fokus kegiatan pemerintahan.

“Kita harus yakin pemerintah dan warga bisa melakukan koinvestasi,” ujarnya.

Selain strategi kolaborasi pembangunan desa, hal penting lainnya yang harus dipahami adalah etika pembangunan desa. Cara pandang masyarakat harus positif terhadap program pembangunan yang dibuat pemerintah.

Kemudian, etika pembangunan desa pada pemerintahan desa diwujudkan dalam pemikiran yang melandasi semua program kerja pemerintahan dengan memperhatikan prinsip lingkungan lestari.

“Semua program tujuannya nanti lingkungan, koinvestasi untuk ‘sustainability’ (pelestarian) lingkungan,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa investasi bersama jasa lingkungan harus dilihat sebagai kepentingan bersama, bukan hanya masyarakat di perdesaan dengan kawasan hutan, melainkan juga masyarakat perkotaan karena lingkungan berkaitan pada permasalahan ekologi yang juga akan memengaruhi bentang alam Indonesia.

Investasi bersama jasa lingkungan, kata dia, harus dipahami sebagai proyek jangka panjang sehingga dilakukan terus-menerus untuk meningkatkan daya tahan masyarakat, terutama petani dari dampak perubahan iklim.

“Kalau ada komoditas pertanian hilang di atas 16 persen karena kekeringan, kebakaran, iklim, atau hama, berarti semestinya koinvestasi jasa lingkungan penting,” katanya.

Untuk mewujudkan pembangunan desa berkelanjutan, dia memandang perlu adanya penguatan kelembagaan pendukung pengembangan desa, seperti badan usaha milik desa dan koperasi.

Penguatan itu diperuntukkan bagi kelembagaan ekonomi pendukung komoditas pangan, komoditas perkebunan, dan pendukung hutan desa.

ICRAF merupakan pusat penelitian agroforestri internasional yang bernaung di bawah Konsorsium CGIAR dengan kantor regional Asia Tenggara terletak di Bogor, Indonesia. [tar]

» Sumber : Inilah.com, 24 Mei 2015» Kontak : P2 Kependudukan