pinjaman

pinjamanJakarta – Terbuka kemungkinan pemerintah akan menerima tawaran utang baru US$11 miliar dari Bank Dunia, mengingat Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini masih dianggap cukup aman. Namun pemerintah harus berani menanggung konsekuensi atas kesepakatan baru dengan lembaga keuangan internasional tersebut.

NERACA

Sinyal pemerintah Indonesia akan memanfaatkan tawaran utang baru dari Bank Dunia tersebut, terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, bahwa pemerintah tidak akan memotong anggaran bila target penerimaan pada tahun ini tidak tercapai. Pemerintah akan menjaga defisita nggaran maksimal 2,2 persen terhadap PDB, dari target dalam APBN-P 2015 sebesar 1,9 persen.

“Tambah utang pasti, tapi nggak ke market, melainkan dari multilateral dan bilateral,” ujar Bambang kepada pers di Jakarta, belum lama ini.

Ibarat gayung bersambut, Bank Dunia pekan ini menawarkan utang baru sebesar US$11 miliar kepada Pemerintah Indonesia Hal ini terungkap saat Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Rabu (20/5).

Menurut pengamat ekonomi LIPI Latief Adam, keputusan untuk menolak atau menerima utang akan mengakibatkan konsekuensi yang berbeda. “Kalau menerima tawaran utang itu, pemerintah harus tunduk pada kesepakatan. Namun, jika menolak, pemerintah juga harus siap mencari sumber pendanaan untuk menutup defisit anggaran karena target penerimaan pajak tidak tercapai,” ujarnya, kemarin.

Pemerintah bisa saja menerima tawaran utang itu jika dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur atau proyek-proyek lain yang bersifat menambah kapasitas produksi. Penggunaan utang dengan model seperti ini akan langsung berdampak pada perekonomian nasional yang saat ini sedang lesu, ditandai dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang sudah mencapai 4,71 persen.

“Bank Dunia adalah lembaga yang berfungsi sebagai koordinator. Biasanya, dengan menerima tawaran utang dari lembaga donor, pemerintah harus tunduk pada sejumlah ketentuan, misalnya harus membeli balian baku dari negara-negara tertentu. Kalau pemerintah bisa meningkatkan nilai tawar, utang dari Bank Dunia bisa dipertimbangkan,” ujarnya.

Pertumbuhan ULN

Sebelumnya Direktur Eksekutif Departemen BI, Tirta Segara, mengungkapkan, posisi utang luar negeri (ULN) hingga akhir triwulan 1- 2015 tercatat USS 298,1 miliar yang terdiri dari ULN sektor publik USS 132.8 miliar (-14,5 persen) dan ULN sektor swasta US$165,3 miliar (55,5 persen).

Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ULN terjadi baik pada ULN sektor publik maupun sektor swasta.Pertumbuhan ULN sektor publik melambat dari 5,0 persen (yoy) pada triwulan IV-2014 menjadi 1,7 persen (yoy), sementara ULN sektor swasta melambat dari M,6 persen (yoy) men jadi 12,7 persen (yoy) pada triwulan 12015.

“Rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) dan debt service ratio (DSR) mengalami peningkatan masing-masing dari 33 persen dan 51,6 persen pada triwulan IV-2014 menjadi 33,5 persen dan 56,l persen pada triwulan I 2015,” ujarnya di Jakarta.

Di lihat dari jangka waktu asal, lanjut Tina, posisi ULN Indonesia didominasi oleh ULN berjangka panjang (85,3 persen dari total ULN). ULN berjangka panjang pada triwulan 1 2015 tumbuh 8,9 persen (yoy), lebih lambat dari pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,4 persen (yoy).

“Untuk ULN berjangka pendek mengalami pertumbuhan 0,3 persen (yoy), yang juga lebih lambat bila dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 9,0 persen (yoy),” ujarnya.Sedangkan hingga akhir triwulan 1-2015, posisi ULN berjangka panjang mencapai US$ 254,4 miliar ULN, terdiri dari ULN sektor publik US$ 129,7 miliar (97,7 persen) dan ULN sektor swasta US$ 124,7 miliar (75,4 persen dari total ULN swasta).

Lalu pada sektor swasta, posisi ULN akhir triwulan 1-2015 terpusat pada sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, dan listrik, gas air bersih. Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta masing-masing sebesar 29,5 persen, 19,9 persen, 16 persen, dan 11,7 persen.

Dia mengungkapkan, pada triwulan 12015, pertumbuhan tahunan ULN sektor keuangan dan industri pengolahan tercatat melambat dibandingkan dengan per-tumbuhan triwulan sebelumnya, sementara pertumbuhan ULN sektor pertambangan dah sektor listrik, gas air bersih mengalami peningkatan.

Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada triwulan 1-2015 sejalan dengan pertumbuhan perekonomian domestik yang melambat. Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan ULN, khususnya ULN sektor swasta.

Tirta juga meyakini, pasar masih akan memaklumi jika defisit transaksi berjalan meningkat antara 2,5 persen-3 persen pada akhir tahun karena impor yang meningkat.

Peningkatan defisit dinilai positif lantaran didominasi oleh impor barang modal dan bahan baku untuk pembangunan infrastruktur. Ini lebih baik dibandingkan pemerintahan sebelumnya yang mayoritas digunakan untuk impor barang konsumsi.

Ekonom bank asing Eric Alexander Sugandi mengatakan, sejauh ini utang pemerintah masih aman dibandingkan utang milik swasta. Utang pemerintah per Maret 2015 tercatat sebesar USS 127,8 miliar atau setara Rp 1.680 triliun menurut kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate Utang pemerintah ini lebih kecil dibandingkan utang korporasi swasta yang mencapai USS 165 miliar.

“Kemungkinan pemerintah akan mengambil utang, tetapi tidak sebesar yang ditawarkan Bank Dunia. Pemerintah sudah punya utang sekitar USS 5 miliar ke Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, lepang, dan Australia,” ujarnya.

Tawaran utang dari Bank Dunia itu, menurut dia, bisa dipertimbangkan oleh pemerintah karena berbagai faktor. Bunga utang dari lembaga donor seperti Bank Dunia biasanya lebih rendah dibandingkan bunga di pasar uang internasional. Selain itu, lembaga donor juga biasanya akan memantau penggunaan utang dan mendistribusikan secara bertahap. mohu/turi/au

» Sumber : Harian Ekonomi Neraca, edisi 22 Mei 2015. Hal: 1» Kontak : Latif Adam