Sepuluh tahun lalu, Arif Budiman (33), ahli penelitian kata (leksikografi) dari Universitas Indonesia, masih menjumpai beberapa penduduk keturunan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara, berkomunikasi dalam bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu. Saat kembali pada 2014, tak ada seorang pun yang bisa berbicara dalam bahasa itu. Kreol Portugis pun dikategorikan sebagai dead language atau bahasa punah.

Pengajar bahasa Portugis dan Perancis di Fakultas Ilmu Budaya UI itu meneliti Kreol Portugis bersama ahli bahasa dan budaya Belanda UI, Lilie Suratminto. Salah satu narasumber penelitian adalah Fernando Quiko, putra Jacobus Quiko, tokoh di Kampung Tugu yang pernah mendokumentasikan kosakata bahasa Kreol Portugis (1976). Pada 2005, Fernando tutup usia. Anak dan cucu-cucu Fernando tidak ada yang bisa berbicara dalam bahasa Kreol Portugis.

Guido Quiko (46), salah satu keturunan keluarga Quiko, misalnya, hanya mengenal sejumlah ungkapan Kreol Portugis, seperti “kumi-kumi” yang berarti “makan-makan”. “Selebihnya saya tidak tahu karena tidak pernah menggunakan bahasa itu dalam percakapan sehari-hari,” katanya. Rabu (21/10).

Orang terakhir yang mengerti Kreol Portugis adalah Oma Mimi Abrahams, keturunan keluarga Abrahams. Dia meninggal pada 2012 dalam usia 80 tahun. “Setelah Oma Mimi meninggal, tak ada orang lain yang bisa menggunakan Kreol Portugis,” tutur Arif.

Kreol Portugis

Istilah kreol berasal dari bahasa Prancis Creole atau dari bahasa Portugis crioulo yang berarti membentuk bawaan dari luar. Bahasa Kreol Portugis merupakan percampuran antara bahasa etnis Melayu di Melaku, Malaysia, dan bahasa Portugis sejak jatuhnya Melaka ke tangan Portugis pada 151L

Terbentuknya bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu sejak tahun 1648 ketika Belanda merebut Malaka dari Portugis. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang. Mereka dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC Sejumlah pekerja yang dibebaskan dari perbudakan (disebut Mardijkers) dipaksa memeluk agama Kristen Protestan. Mereka lalu diasingkan ke tenggara Batavia yang waktu itu sangat terpencil dan jauh dari keramaian kota.

Di Kampung Tugu, orang-orang keturunan Portugis (mestizo) hidup dan berkembang. Mereka mempertahankan bahasa Kreol Portugis. Selama hampir tiga setengah abad bahasa itu bertahan sebagai bahasa vernacular atau sarana komunikasi antarwarga masyarakat di Kampung Tugu. Sistem masyarakat yang tertutup membuat bahasa ini tidak mudah dipengaruhi bahasa lain di luar Kampung Tugu.

Pada akhir abad ke-20. masih ada puluhan generasi tua yang fasih berbahasa Kreol Portugis. Menginjak abad ke-21 jumlah mereka berkurang, bahkan habis sama sekali, karena proses alamiah. Generasi tua yang mula-mula menguasai bahasa Kreol Portugis secara pasif selanjutnya tidak mampu lagi menurunkan bahasa itu kepada generasi penerus.

Arif menjelaskan, bahasa Kreol Tugu pada zamannya merupakan bahasa yang lebih sering digunakan kaum pria untuk berkomunikasi dengan sesama pria. Kreol Tugu berfungsi sebagai bahasa sandi atau bahasa rahasia di lingkungan orang Turu. “Karena perempuan tidak lancar berbahasa Kreol Portugis, mereka tidak menurunkan bahasa itu kepada anak-anaknya,” kata lulusan Universidade Nova de Lisboa (Portugal) itu.

Bahasa Kreol Tugu memasuki periode kritis pada masa kemerdekaan. Anak-anak keturunan Portugis masuk sekolah negeri dengan pengantar bahasa Indonesia Selain itu, seiring dibukanya Jalan Raya Cakung-Cilincing. Kampung Tugu yang awalnya homogen sekarang heterogen dan multikultur. Yang tersisa dari Kreol Portugis adalah kata sapaan kekerabatan, seperti tata (kakek), tata grandi (kakek buyut), nina (anak perempuan), sinyo (anak laki-laki), Bas (engkau), serta lagu-lagu berlirik bahasa Portugis, seperti “Nina Bobo”, “Kafrinho”, dan “Yan Kagaleti”.

Antropolog sekaligus Koordinator Tim Peneliti Bahasa Daerah LIPI, Abdul Rachman Patji, mengatakan, kepunahan bahasa berarti hilangnya identitas negara sebagai bangsa yang majemuk. “Bahasa adalah kekayaan bangsa yang harusnya diperhatikan negara. Kalau tidak diperhatikan, satu per satu bahasa akan hilang,” kata dia.

Meski Kreol Portugis punah sebagai alat komunikasi, bahasa itu tetap berfungsi untuk mempertahankan budaya dan identitas masyarakatnya. Salah satu kebudayaan yang masih bertahan adalah tradisi Rabu-rabu (perayaan Natal) sebagai ciri identitas mereka. Sebelum masuk ke dalam rumah, tamu akan mengucapkan salam “binti singku!”. Binti singku berasal dari Bahasa Portugis yang artinya 25.

Untuk mempertahankan identitas, masyarakat Kampung Tugu juga berusaha melestarikan peninggalan Portugis melalui kesenian Keroncong Tugu dan lagu-lagu berbahasa Portugis. (DENTY PIAWAI NASTITIE)

 

Sumber : Kompas, edisi 29 Oktober 2015. Hal: 11