JAKARTA – Pengembangan pertanian organik membutuhkan dukungan pemerintah, seperti halnya pertanian yang menggunakan bahan kimia sintetis (pupuk kimia/pabrik, pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan zat aditif lainnya). Padahal, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen produk pertanian dan beras organik, seiring dengan berkembangnya pasar hasil pangan organik, baik secara nasional maupun global.

Peneliti LIPI Lilis Mulyani menjelaskan, pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang mengandalka bahan-bahan alami da menghindari penggunaan bahan kimia sintetis, dengan tujuan untuk menyediakan produk pertanian yang aman bagi kesehatan dan menjaga keseimbangan lingkungan. Perkembangan pertanian ini dinilai cukup pesat pada akhir-akhir ini, terutama dari kalangan menengah dan pasar luar negeri, yang mulai memahami pentingnya pencegahan penyakit melalui pangan organik.

“Upaya keras untuk menjaga keala-mian produk tidak diimbangi dengan dukungan pemerintah, misalnya dengan adanya subsidi pupuk organik atau pembuatan pestisida alamiah yang dibuat secara masif. Akibatnya, petani harus mencari dan membuat sendiri semua kebutuhan untuk pupuk dan pembasmi hama alamiahnya,” ujar lilis di Jakarta, baru-baru ini.

Meskipun pertanian organik mulai berkembang sejak 2000-an, namunhingga kini hanya terdapat di sejumlah daerah, seperti Sumatera Barat, Jember Jawa Timur), Sleman (Yogyakarta), Boyolali (Jawa Tengah), dan Tasikmalaya Oawa Barat). Dari sejumlah daerah itu, pertanian berbasis padi organik seperti gabungan kelompok tani (Gapoktan) Simpatik di Tasikmalaya dan Aliansi Petani Padi Organik Boyolali (Appoli) di Boyolali dinilai bisa menjadi contoh yang cukup berhasil.

Gapoktan Simpatik, yang terbentuk pada 2008 oleh 28 kelompok tani, telah mendapat sertifikat organik nasional dan internasional dari Institute for Market Ecology (IME) pada 2009 dan nilai ekspor perdana beras organiknya ke Amerika Serikat (AS) sebesar 20 ton pada tahun yang sama. Sedangkan Appoli dibentuk pada 2007, beranggotakan 72 kelompok tani atau 2.965 orang dan mulai melakukan ekspor perdana ke Belgia dan Jerman pada 2013 lalu. “Simpatik dan Appoli telah melakukan penataan proses produksi melalui konsolidasi lahan produktif, dengan menerapkan kontrol internal, baik pada level produksi maupun penanganan pascapanen dan pemasaran. Kedua organisasi usaha ini telah mampu menembus pasar internasional, baik asia, seperti Malaysia, Singapura, Brunei, serta nagara-negara Eropa seperti Belanda, Belgia, dan Jerman,” tutur lilis.

Menurut Lilis, upaya kedua organisasi itu patut diapresiasi, karena tidak mudah mengubah kebiasaanpetani pada penggunaan bahan-bahan kimia. Selain itu, keterbatasan kapasitas penyerapan koperasi dan kelembagaan tersebut juga masih menjadi kendala, sehingga sebagian gabah yang dihasilkan harus disimpan sendiri di rumah, untuk dijual pada saat dibutuhkan.

Namun, kata dia, ketika petani menjual gabah atau beras organik mereka dipasar, para pedagang hanya menghargai sama dengan hargajual gabah atau beras biasa. Padahal, mengerjakan produk pertanian organik membutuhkan upaya setidaknya dua kali lebih keras dibandingkan produk pertanian biasa. “Harapan petani beras organik adalah kerja keras mereka untuk mempraktekan usaha tani yang alami dan berlekanjutan mendapat penghargaan. Setidaknya melalui harga pembelian yang dibedakan dengan beras kualitas biasa,” tukas dia.

Kasubdit Irigasi dan Sawah Direktorat Serealia Kementerian Pertanian Wasito Hadi mengatakan, pihaknya juga menaruh perhatian pada pengembangan pertanian organik, dengan menyiapkan ribuan hektare (ha) areal sawah yang cocok di berbagai daerah. Selain itu, Kementan juga terus mengadakan diskusi dengan para pemangku kepentingan dalam rangka mengembangkan pertanian organik dan produk-produknya. “Terkait beras organik, kami rencanakan ada 4000 ha lahan dengan biaya APBN dan kita akan adakan forum diskusi Selasa ini,” kata dia menandaskan, (wyu)

 

Sumber : Investor Daily Indonesia, edisi 4 November 2015. Hal: 7