Radikal2
Radikal2Jakarta, Humas LIPI. Masyarakat Indonesia tentu saja terhentak dengan kejadian pemboman oleh sejumlah teroris di Thamrin pada 14 Januari 2016 lalu. Sejatinya, ulah para teroris tersebut adalah hanya sebagian kecil saja dari suatu kelompok radikal.
 
Ada bahaya yang lebih mengancam lagi ketimbang tindakan tersebut. “Paham radikalisme sebenarnya lebih berbahaya dan telah menyebar ke seluruh segmen masyarakat. Artinya, pemerintah dan juga kita harus waspada. Dan mari memerangi paham radikalisme tersebut,” kata Endang Turmudi, peneliti senior Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam kegiatan Diskusi Publik “Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia” pada Kamis (18/2), di Gedung Widya Graha LIPI Jakarta.
 
Menurutnya, radikalisme itu sendiri dalam bentuknya memang terasa lunak karena tidak memakai kekerasan dan menimbulkan masalah. “Sehingga, pihak keamanan dan bangsa Indonesia pada umumnya tidak memberikan perhatian khusus atau bahkan lengah mengamati perkembangannya,” jelas Endang.
 
Dikatakannya, situasi lengah masyarakat tadi telah menyebabkan paham radikal berkembang sedemikian rupa dalam masyarakat terutama Islam Indonesia. Berbagai pembinaan akhirnya dilakukan oleh berbagai kelompok radikal yang ada, utamanya melalui pendidikan dan dakwah.
 
“Mereka menyusupi dunia pendidikan dan dakwah yang akhirnya menimbulkan radikal terorisme yang mengancam serius keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” tukasnya. Paham radikalisme ini memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan agama, sambungnya.
 
Endang menyebutkan radikalisme, lebih-lebih terorisme disebarkan melalui sembunyi-sembunyi. Dalam rekrutmen dan pengaderannya, mereka (para radikalis, red) menggunakan pendekatan individual. “Pengaderan oleh kelompok radikal juga dilakukan secara rahasia melalui kelompok-kelompok kecil (Liqo atau Usroh),” tambahnya.
 
Secara umum, lanjutnya, penyebaran utama paham radikalisme melalui partner (suami atau isteri), keluarga, dan jalur pertemanan.
 
Deradikalisasi
 
Endang menyarankan, paham radikalisme di Indonesia saat ini perlu secara gencar dicegah melalui deredikalisasi. Deredikalisasi bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti memperluas public awareness, dekonstruksi ideologi, delegitimasi, dan membangun simpati masyarakat.
 
Misalnya, dia mencontohkan memperluas public awareness dengan memberikan informasi kepada masyarakat tentang sudah meluasnya radikalisme. Kemudian mendekonstruksi ideologi dengan para ulama yang harus meluruskan pemahaman ideologis radikal yang berkembang.
 
“Para ulama juga harus tegas melegitimasi bahwa terorisme bertentangan dengan Islam. Dan, ketika ada teroris sudah taubat, maka langkah terakhir adalah membangun simpati masyarakat untuk mau menerima mantan teroris yang bertobat sebagai bagian dari mereka,” paparnya.
 
Objektif
 
Sementara itu Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti menambahkan paham radikalisme yang berkembang saat ini harus dilihat lagi secara objektif dan terbuka. “Artinya, radikalisme bukan hanya terjadi dari agama tertentu (misalnya Islam), tapi bisa dari berbagai macam agama dan etnis,” tegasnya.
 
Di sini, kata dia, peran ilmu pengetahuan yang mampu melihat secara objektif atas perkembangan pola-pola radikalisme di Indonesia seharusnya ditempatkan. “Radikalisme harus dilihat dari berbagai perspektif sosial budaya, politik, dan keamanan,” imbuhnya.
 
Pada sisi lain, tatkala radikalisme disandingkan dengan terorisme, dikatakan Nuke bahwa gerakan-gerakan sosial dan keyakinan tertentu terjadi dan menafikan tatanan sosial yang ada sehingga radikalisme pun terwujud melalui tindakan terorisme. “Di sini, kita setidaknya bisa melihat peristiwa bom Bali tahun 2002 hingga peristiwa bom Thamrin pada 14 Januari 2016 lalu,” ungkapnya. Oleh karena itu, akar persoalan terorisme berupa radikalisme harus mulai dicegah sedini mungkin, tutupnya. (pwd/ed: isr)

Sumber : Humas LIPI

Sivitas Terkait : Prof. (r) Dr. Endang Turmudi