Gerakan Radikal
Gerakan RadikalFenomena global gerakan radikal dan teroris di Indonesia semakin menggurita dan menjadi ancaman bersama. Dimulai dengan peristiwa Bom Bali tahun 2002, disusul bom di Kedubes Australia, Bom Bali II dan lain-lain. Terkini adalah peristiwa bom Thamrin pada 14 Januari 2016 di Jakarta.Untuk mengupas fenomena gerakan radikal dan terorisme di Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akan mengadakan Diskusi Publik, Kamis, 18 Februari 2016 di kampus LIPI Jakarta.
 

Jakarta, 17 Februari 2016. Serangkaian aksi teror yang terjadi menunjukkan bahwa ancaman radikalisme dan terorisme di Indonesia sangat nyata. Medio 2002-2009, kelompok Jamaah Islamiyah yang berafiliasi dengan kelompok teroris internasional Al Qaida, dipandang sebagai kelompok yang menjadi otak dari serangkaian aksi teror di Indonesia.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A. mengatakan bahwa hasil riset LIPI telah menemukan pola-pola gerakan radikal di Indonesia. Salah satunya melalui penyusupan pada organisasi-organisasi kemahasiswaan tingkat kampus yang sebagian besar terdapat di perguruan tinggi non-keagamaan, ujar Tri Nuke.

Menurut Tri Nuke, kelompok radikal di Indonesia, Jamaah Anshar Khilafah (JAK) yang berafiliasi dengan kelompok teroris internasional Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dipandang bertanggungjawab atas peristiwa bom Thamrin. Peristiwa bom Thamrin tersebut menunjukkan bahwa ISIS juga merupakan ancaman nyata di Indonesia, ungkap Tri Nuke. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mencatat ada 8 organisasi masyarakat yang dipengaruhi ISIS (http://www.tempo.co/read/fokus/2015/03/23/3133/8-Ormas-di-Indonesia-Dipengaruhi-ISIS).

Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, M. Hamdan Basyar, menjelaskan bahwa penyebaran gerakan radikal sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kecenderungan pemberitaan media. Alih-alih melakukan literasi kepada masyarakat untuk menangkal radikalisme, media cenderung memberi ruang lebih pada kekerasan dalam narasi pemberitaan mengenai radikalisme dan terorisme, imbuh Hamdan.

Hamdan menegaskan, pemberitaan media telah dipergunakan oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota atau simpatisan. Selain itu, media internet juga dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk menyebarkan ilmu kekerasan, seperti pembuatan bom dan hal sejenis lainnya. Namun, Hamdan menggarisbawahi bahwa dengan menggunakan media sosial, kampanye kedamaian dan anti-kekerasan juga bisa disebarluaskan. Jurnalisme damai dapat digunakan untuk melawan atau paling tidak mengurangi adanya kekerasan, imbuh Hamdan.

Beranjak dari hal tersebut, LIPI mencoba membedah pola-pola gerakan radikal di Indonesia melalui pisau analisis ilmiah. Hasil kajian akan disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia yang digelar pada Kamis, 18 Februari 2016 di kampus LIPI Jakarta. Seminar ini akan menghadirkan narasumber peneliti LIPI, serta mantan pelaku terorisme, yang akan mengupas lebih dalam pola-pola perekrutan kelompok radikal di Indonesia.

Keterangan Lebih Lanjut:
– Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A. (Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI)
– Nur Tri Aries, M.A. (Kepala Biro Humas, Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI)

Note/Undangan:
Siaran Pers ini sekaligus UNDANGAN bagi rekan media untuk menghadiriSeminar Hasil Penelitian Membedah Pola Gerakan Radikal di Indonesia yang diselenggarakan pada Kamis, 18 Februari 2016 di Media Center LIPI, Gd. Sasana Widya Sarwono lt.1, Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta, pukul 09.00 WIB.

Penulis: puslit politik, dnh, msa
Editor: yos,isr

Siaran Pers ini dibuat oleh Humas LIPI


Sumber : Pusat Penelitian Politik LIPI

Sivitas Terkait : Dr. Tri Nuke Pudjiastuti M.A.