Indonesia perlu banyak membenahi sektor-sektor tersebut agar tidak semakin tertinggal. Kesehatan, pendidikan dasar, pendidikan tinggi, dan pelatihan tenaga kerja merupakan aspek mendasar penciptaan SDM berkualitas.
Setiap tanggal 2 Mei diperingati Hari Pendidikan Nasional. Momentum tahunan yang seharusnya tidak hanya menjadi seremonial tanpa makna.
Momen yang idealnya menjadi sarana refleksi bersama meninjau kondisi pendidikan. Data Human Development Report (HDI) 2015 yang dirilis UNDP menempatkan Indonesia pada posisi Medium Human Development Index. Posisi Indonesia 110 dari 173 negara.
Ini tidak terlalu membahagiakan. Jika merujuk data Global Competitiveness Index (GCI) tahun 2015-2016 yang dirilis World Economic Forum (WEF) Indonesia berada di posisi 37 dari 140 negara. Ini menurun 3 peringkat dari tahun sebelumnya.
Capaian tersebut masih sangat jauh dibanding negara Asia Tenggara seperti Thailand (32), Malaysia (18), atau Singapura (2).
Secara spesifik untuk GCI, pada pilar kesehatan, pendidikan dasar dan tinggi serta pelatihan berada di posisi 80 dan 65. Pada pilar yang sama Thailand berada di posisi 67 dan 56. Malaysia berada di posisi 24 dan 36. Singapura berada di posisi 2 dan 1.
Ini berati Indonesia perlu banyak membenahi sektor-sektor tersebut agar tidak semakin tertinggal. Kesehatan, pendidikan dasar, pendidikan tinggi, dan pelatihan tenaga kerja merupakan aspek mendasar penciptaan SDM berkualitas.
Di sisi lain, data angkatan kerja Agustus 2015 yang dirilis BPS menunjukan masih didominasi berpendidikan rendah. Dari total 122,3 juta pekerja, yang SMP ke bawah berjumlah 74,3 juta (60,7%).
Sedangkan pekerja berpendidikan tinggi hanya sebesar 13,5 juta (11,1%). Ada 905.127 (11,9%) lulusan pendidikan tinggi (diploma dan universitas) dari 7,5 juta penduduk berusia 15 tahun ke atas. Ada kesenjangan antara lulusan pendidikan tinggi dan kebutuhan pasar kerja.
International Labour Organization (ILO) 2014-2015 merilis, perlunya kesesuaian keterampilan lulusan pendidikan tinggi dan dunia usaha agar daya saing perekonomian semakin meningkat.
Data HDI, GCI, dan BPS tersebut menunjukkan betapa pendidikan masih harus diperkuat. Calon tenaga kerja terdidik dan berketerampilan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja masih kurang.
Mempersiapkan
Konteks regional menjadi penting diperhatikan. Salah satu poin seperti dijelaskan pada A Blueprint for Growth ASEAN Economic Community 2015: Progress and Key Achievements (2015) adanya pasar tunggal dan basis produksi.
Yang berarti aliran tenaga kerja terampil di kawasan ASEAN. Ini menjadi peluang dan tantangan pemerintah untuk menyiapkan tenaga kerja berpendidikan dan berketerampilan. Indonesia tidak boleh gagap, khususnya dalam menyiapkan SDM unggul, berkualitas, dan berdaya saing.
Dunia kerja yang terus berkembang tentu membutuhkan pekerja berkualitas. Publikasi OECD/Asian Development Bank pada 2015 mengenai Education in Indonesia: Rising to the Challenge menjelaskan, prioritas utama saat ini meningkatkan hasil belajar dan memungkinkan peserta didik memahami kompetensi inti.
Kuncinya kesiapan guru dan kepemimpinan sekolah dalam mengelola proses pendidikan. Pada alinea empat Pembukaan UUD 1945 secara jelas tercantum mengenai salah satu tujuan Negara, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Rakyat cerdas dihasilkan melalui proses panjang pendidikan berkualitas dan memanusiakan. Peserta didik tidak hanya diberi pengetahuan, tetapi juga keterampilan dan sikap.
Siswa juga dilatih menyelesaikan permasalahan-permasalahan keseharian yang akan dihadapi di masa depan.
Pendidikan tentu saja tidak boleh hanya menjadi proses ritual dan seremonial, tanpa pemaknaan mendalam kepada peserta didik.
Tentu bukan zamannya, ketika proses pendidikan di sekolah sekadar mentransfer pengetahuan. Mekanisme pemberian pemahaman dan pelatihan harus berimbang, terutama untuk sekolah kejuruan.
Pendidikan pelatihan haraus aplikatif. Hubungan lembaga pendidikan dengan industri harus terjalin erat agar peserta didik setelah lulus tidak kebingungan untuk mendapatkan pekerjaan.
Sekolah harus secara jeli melihat peluang yang ada pada dunia usaha agar mampu menempatkan lulusannya pada sektor-sektor industri potensial.
Perlu diperkuat jejaring sekolah dengan dunia industri. Di level yang paling mikro, pembelajaran berbasis penyelesaian masalah (problem based learning) dan kontekstual (contextual teaching and learning) perlu terus diupayakan.
Para peserta didik harus selalu dihadapkan pada permasalahan-permasalahan faktual dan dituntut mencari solusi. Ini berarti pembelajaran harus mendekatkan mereka dengan realitas kehidupan.
Apalagi saat ini persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat. Industri sangat membutuhkan pekerja yang memiliki keterampilan dan etos kerja yang baik.
Kualifikasi akademik atau jenjang pendidikan memang persyaratan awal, tetapi setelah itu yang paling dilihat oleh perusahaan adalah keterampilan juga etos kerja yang dimiliki oleh calon pekerja.
Di era global selain dituntut memiliki keterampilan yang sesuai dengan bidang kerjanya (hard skill) saja, calon pekerja, juga harus memiliki kemampuan soft skill seperti kemampuan berkomunkasi, adaptif, inisiatif, dan tahan terhadap tekanan, sikap pembelajar, dapat bekerja sama dengan tim, disiplin, dan kriteria lainya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Agar mereka siap ketika memasuki dunia kerja. Kualitas yang ada di dalam individu juga perlu dibarengi oleh pengetahuan tentang hak-hak pekerja.
Ini penting agar mereka memiliki posisi tawar yang memadai. Agar calon pekerja mendapatkan hak-hak pekerja yang sesuai. Pendidikan yang mencerdaskan juga mencerahkan harus terus diperjuangkan. Proses pendidikan yang inklusif bagi semua kalangan.
Karena, seperti diingatkan oleh Nelson Mandela, education is the most powerful weapon which you can use to change the world. Pendidikan adalah senjata paling efektif untuk merubah wajah bangsa ini. Selamat hari pendidikan nasional. (Anggi Afriansyah)
Sumber berita: http://www.koran-jakarta.com/posisi-medium-indeks/