Lilis Mulyani

Lilis MulyaniMenjadi ilmuwan adalah sebuah perjalanan panjang meraih cita yang tak pernah berakhir. Mengawali karir sebagai peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2KK-LIPI) pada tahun 2000, Lilis Mulyani, begitu peneliti perempuan ini kerap disapa, tidak memiliki bayangan tentang pekerjaannya. Tak patah arang, ia pun menyelami dunia penelitian. “Pengalaman penelitian pertama sangat mendalam. Saya berkesempatan ke Lahat dan melihat pedalaman,” katanya. Belajar dari Dedi S. Adhuri, peneliti senior di puslitnya yang juga mendampinginya ke Lahat, ia pun selalu meneliti dengan Melihat dan Mempelajari (Watch and Learn!), Mendengarkan (Listen!), dan Mencatat (Make Notes!)”. “Itu adalah tiga kunci meneliti yang saya ingat hingga kini,” urainya saat ditemui pekan lalu (15/07/2016).

 

Menemukan cita dalam penelitian adalah sebuah proses. Bersama rekan-rekannya di kelompok peneliti hukum, pada tahun 2002 ia melakukan penelitian tentang Konflik Pertanahan di Era Reformasi: Hukum Negara, Hukum Adat, dan Tuntutan Rakyat. “Penelitian itu membuka mata saya. Konflik tanah, termasuk yang saya amati di Cilawu-Garut, selalu berdampak pada masyarakat. Ketiadaan maupun keterbatasan akses membuat masyarakat menderita. Sebagian dari mereka terpaksa makan batang pisang. Sebagian yang lain, bahkan, mati,” jelasnya. Untuk mendalami penelitian tentang hukum dan tanah, Lilis, kemudian melanjutkan studi Master di bidang Hukum Publik dan Internasional, the University of Melbourne, Australia dan lulus pada tahun 2004.

 

Hampir satu dekade kemudian, barulah Lilis, menekuni penelitian hukum agraria. Semua berawal dari empatinya untuk membela masyarakat miskin yang tak lagi memiliki lahan untuk hidup. Setelah “terdiam” selama Orde Baru, menurut Lilis, masyarakat miskin desa di era Reformasi mulai menuntut kembali haknya atas tanah. Di berbagai daerah, seperti Cilawu, Tapos, dan Cimacan, penuntutan kembali hak atas tanah (land reclaiming) hampir selalu diiringi kekerasan yang menimbulkan korban luka hingga dipenjara. “Padahal, seperti dikemukakan Gus Dur (2002), tanah itu tanah rakyat,” jelasnya. Tanah, menurut Lilis, oleh karena itu, harus diredistribusi.

 

Ia kemudian memimpin sebuah penelitian bertajuk Strategi Reforma Agraria untuk Mengentaskan Kemiskinan: Analisis Hukum dan Institusional. Penelitian tersebut termasuk dalam Riset Unggulan LIPI yang diselenggarakan pada tahun 2011-2014. Ia meneliti sejauhmana kebijakan pertanahan pemerintah dapat menyelesaikan konflik dan menyejahterakan masyarakat. Menurutnya, Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dijalankan oleh Presiden SBY ternyata tidak merata dan hanya memberi penguatan hukum. “PPAN itu sporadis, ada di Cilacap, Blitar, Lampung, dan Surakata. Pemerintah hanya membagi-bagikan sertifikat. Padahal, tanah-tanah itu sudah dituntut dan dimiliki kembali oleh masyarakat,” jelasnya. Peneliti perempuan yang juga alumni Leadership Development Program (LDP)-LIPI tahun 2013 ini, menggarisbawahi bahwa PPAN bukan reforma agraria sejati. PPAN, menurutnya, masih memperlihatkan ketimpangan penguasaan tanah, khususnya antara investor besar dan rakyat.

 

Lilis pun mengajukan setidaknya empat rekomendasi untuk menyelesaikan persoalan agraria di Indonesia. Pertama adalah penataan penguasaan, baik negara, perusahaan, maupun rakyat. Untuk memberikan jaminan keamanan, ia mengusulkan adanya legalisasi penguasaan. Berikutnya, ia menyarankan adanya pemberdayaan. “Masyarakat Blitar, misalnya, banyak bekerja sebagai buruh perkebunan. Mereka kehilangan keterampilan bertani. Mereka cenderung berpikir praktis. Mereka menanam tebu karena tidak memerlukan usaha keras. Padahal, tanaman itu sangat tidak cocok dengan kondisi tanah di sana. Artinya, kapasitas mereka harus ditingkatkan lagi,” urainya. Terakhir, ia kembali menekankan pentingnya peran pemerintah dalam Kebijakan Pasar Lokal, sehingga kebijakan impor tidak menggilas pasar lokal.

 

Tidak berhenti di situ, Lilis pun memperjuangkan kepentingan masyarakat miskin dengan menerjemahkan rekomendasi kebijakannya. “Rekomendasi, ternyata tidak semudah itu bisa dipahami oleh birokrasi,” katanya. Bersama dengan Prof. Dewi Fortuna Anwar, peneliti LIPI yang kini bertugas di Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Republik Indonesia, ia mencoba untuk menerjemahkan hasil risetnya agar dapat “dibaca” oleh para birokrat. Bagaimana rekomendasinya diterjemahkan? Rekomendasi penataan penguasaan misalnya, ia menjelaskan bagaimana Kementerian Kehutanan sebaiknya memberikan akses lahan hutan melalui Hutan Kemasyarakatan (HKM). Contoh lain, pemberdayaan, Kementerian Pertanian bisa memberikan informasi tentang komoditas tanaman pangan yang sesuai untuk lahan hutan, demikian jelas Lilis.

 

Selain itu, peraih beasiswa Australian Aid (AUSAID) 2002 ini, juga aktif berpartisipasi dalam Aransemen Baru Reforma Agraria yang menjadi visi misi Presiden Jokowi. Bersama dengan rekan-rekan di Kantor Staf Presiden (KSP), ia ikut mengadvokasi rekomendasi-rekomendasi penyelesaian persoalan agraria di Indonesia. “Kami mengaransemen, seperti layaknya konduktor musik. Maksudnya, kami mencoba untuk membantu presiden agar kementerian/lembaganya (K/L) “tidak lagi bernyanyi sumbang” dan bisa bersama-sama menjalankan rekomendasi yang sudah diejawantahkan dalam program-program,” jelasnya. Dalam aransemen tersebut, empat K/L yang dituntut bekerja sama dalam menjalankan Reforma Agraria di Indonesia adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

 

Kini, Lilis, menjalani persiapan keberangkatan (PK) 70 Tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di Cimanggis-Depok. Peneliti yang akan segera melanjutkan studi doktoral di University of Melabourne ini berpesan agar LIPI, khususnya Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), memperhatikan kebutuhan peneliti-peneliti mudanya. “Peneliti-peneliti muda butuh dihargai, bukan hanya sekedar intensif uang,” tegasnya di akhir wawancara. (AH)

 

LILIS MULYANI

 

Tempat dan Tanggal Lahir:

Bandung, 1 September 1976

 

Pendidikan:

2011 – Kursus Pendek, Transisi Agraria di Abad XXI, the Institute for Social Sciences (ISS) Erasmus University, the Netherlands

2004 – LL.M. Public and International Law, School of Law, University of Melbourne, Australia

1998 – S.H., Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung-Indonesia

 

Karier:

Peneliti Hukum Agraria di P2KK-LIPI, Jakarta (2000 – sekarang)

Anggota Dewan Redaksi LIPI Press (2012 – sekarang)

Anggota Dewan Redaksi Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI (2006-2012)

Peneliti The Habibie Centre, Jakarta (2006-2010)

 

Organisasi Profesional:

Asian Initiatives on Legal Pluralism (AILP), Belgium

World Interdisciplinary Network for Institutional Research (WINIR)