1474464469 ika

1474464469 ikaKEMAJUAN teknologi telah memudahkan informasi mengalir dengan cepat ke berbagai penjuru. Informasi tentang orang, tentang benda, tentang sesuatu apa pun sampai dengan sangat cepat kepada masyarakat. Tidaklah mengherankan bila kini masyarakat mengalami kebanjiran informasi. Persepsi, opini masyarakat, bahkan juga stigma sering kali terbangun dari kondisi banjir informasi seperti ini. Stigma merupakan sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Kini bila suatu stigma dilontarkan ke publik melalui teknologi informasi tentang seseorang atau sekelompok orang, dengan cepat akan segera terjadi proses stigmatization. Pada kasus pembunuhan Wayan Mirna yang kini menyedot perhatian publik, stigma awal yang dilontarkan ialah ‘Jessica pembunuh Wayan Mirna dengan cara meracuni memakai sianida’. Bahkan ketika pengadilan pun belum dimulai, publik sepakat bahwa betul Jessica-lah pembunuhnya. Alasan utamanya dialah satu-satunya orang yang menguasai segelas kopi Vietnam yang tersaji di meja. –

Lompat ke kesimpulan
Ketika sejumlah ahli dihadirkan dalam pengadilan, kita dikejutkan dengan kesimpulan-kesimpulan yang begitu cepat dibuat dengan tidak mengindahkan tahapan-tahapan ilmiah (scientific phases). Begitu cepat dan mudahnya orang menyimpulkan dan merekomendasikan bahwa Jessica-lah pasti pembunuhnya (jump to conclusion). Prinsip preassumption of innoscence yang seharusnya dipatuhi dan dipegang teguh dalam proses pengadilan terlihat tidak digubris sama sekali. Orang menganggap sudah suatu fakta bahwa Jessica-lah pembunuhnya dengan menggunakan racun sianida. Orang pun melihat penasihat hukum terdakwa licin dan pandai bermain kata; dia dianggap berkilah mengulur-ulur waktu agar berlangsung lama proses pengadilan. Dia dianggap tokoh antagonis kedua selain Jessica. Ringkasnya, dia membela mati-matian yang bayar! Pengadilan ini barangkali salah satu pengadilan yang paling menyedot perhatian publik di era reformasi ini. Tiadanya bukti yang meyakinkan bahwa Mirna dibunuh, bahwa sianida-lah penyebab kematiannya, dan bahwa Jessica-lah pelakunya, telah menjadikan kasus ini sebagai misteri yang dinaungi awan gelap. Pertarungan para ahlilah yang diharapkan bisa mengungkapkan kebenaran di balik misteri tersebut. Sayangnya pada ahli saya duga sudah ‘mabok informasi’ (heavy prejudice) dengan proses stigmatisasi terhadap Jessica sehingga lalai terhadap kesempurnaan kaidah ilmiah. 

Kaidah ilmiah

Kaidah utama yang harus dipegang ketika kita diminta bantuan sebagai saksi ahli ialah seyogianya mengedepankan precautionary approach (Zaelany, 2007), pendekatan kehati-hatian, apalagi terhadap kasus yang memungkinkan berujung pada vonis hukuman mati. Harus ada dua rapport setidaknya yang kita persiapkan (Singarimbun dan Effendi, 1985). Pertama, kita menghindari prasangka (prejudice) dan berupaya bersikap netral agar bisa objektif. Prejudice (prasangka) berasal dari kata substantif bahasa Latin praejudicium, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai keputusan tanpa dasar dan sangat emosional sifatnya (J Garang, 1990). Kedua, bersikap positif dan tidak menuduh (accuse) dalam memaparkan pandangannya. Pemikiran ilmiahnya dipaparkan dengan mengikuti prinsip-prinsip kerja ilmiah.

Prinsip kerja ilmiah dilakukan dengan analisis holistik, yaitu dengan mencermati semua aspek yang terkait dengan kasus tersebut. Dalam menganalisis setiap aspek tersebut dipersyaratkan metodologi yang sesuai sehingga umumnya penggunaan multimetode menjadi cara kerjanya. Penyusunan variabel dan indikator haruslah dilakukan dengan sangat ketat untuk mendukung analisis holistik tersebut. Pengumpulan data yang valid dan ketersediaan dokumen yang diperlukan sangat menentukan bagi para saksi ahli dalam menyusun rekomendasi yang akan menjadi pertimbangan hakim dan jaksa. Akan lebih baik bila ada kesempatan untuk observasi dan atau wawancara terhadap aktor pelakunya. Hal tersebut akan sangat bermanfaat untuk melengkapi rekomendasinya. Kesimpulan dan eksekusinya bukanlah menjadi wewenangnya. Tentu precautionary approach yang paling hilir ialah membebaskan terdakwa sama sekali jika tidak ada bukti yang mendukung. Apabila di kemudian hari ada bukti-bukti yang menunjukkan kesalahan atau kejahatan terdakwa, terdakwa akan dipanggil kembali untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Nah! 

Sumber: http://mediaindonesia.com/news/read/68046/precautionary-approach-pengadilan-jessica-1/2016-09-22