KEBENCIAN semakin begitu mudah dipertontonkan. Kita menyaksikan beragam kebencian berseliweran di media sosial menyerang siapa saja pihak yang berseberangan. Sasarannya bisa personal, kelompok, agama, atau pemerintah. Beragam informasi yang belum tentu teruji kebenarannya begitu cepat disebarluaskan.

Pertarungan politik misalnya, begitu mudah dibawa ke beragam dimensi kehidupan. Sekolah, rumah, dan mimbar keagamaan tak luput menjadi arena pertarungan. Anak-anak usia sekolah menjadi lebih melek politik karena orang-orang dewasa di sekitar mereka menggebu-gebu bicara politik. Sayangnya, hal itu

bukan menjadi medium pendidikan politik, tetapi seringkali justru menjadi ajang kebencian terhadap kelompok yang berbeda disemaikan.

Informasi-informasi itu menjadi medium penghantar kebencian. Apalagi di era post truth, yang menurut Oxford Dictionaries, fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik jika dibanding sesuatu yang bersifat emosional dan pribadi.

Karena itu, kepercayaan terhadap beragam hal tidak lagi didasarkan pada fakta yang disajikan, tapi lebih pada preferensi pribadi, suka atau tidak suka. Jika sudah benci pada kelompok tertentu, niscaya apa pun yang muncul dianggap informasi bohong belaka. Tidak ada niatan bersikap kritis terhadap beragam hal yang disajikan. Informasi hoaks ialah corong yang memperkuat rasa benci. Selubung kebohongan yang dikuatkan dengan narasi dan argumentasi yang menarik orang lain untuk memercayai apa yang telah disebarkan.

Mengapa kita harus saling membenci dan tak mau menyayangi? Bukankah saling membenci itu hanya melelahkan jiwa dan raga? Terus saling curiga dan benci tidak konstruktif bagi bangsa ini. Perdebatan yang ada pun hanya menyajikan caci maki, bukan adu argumentasi untuk mencari solusi penyelesaian persoalan bangsa.

Gegap gempita perdebatan di sosial media memang begitu luar biasa. Di era melimpahnya informasi, tentu saja kondisi itu merupakan keniscayaan. Siapa pun bisa memeroleh informasi dan menyebarkannya. Namun, yang perlu dijaga apakah informasi yang sudah kita sebarkan itu sudah valid? Apakah posting-an kita itu bermanfaat atau justru mengakibatkan kebencian semakin besar?  Apakah tanpa sadar kita justru menjadi agen peternak kebencian?

Terungkapnya kasus Saracen, kelompok yang sedang diselidiki oleh kepolisian karena dituduhkan memproduksi berita bohong, menjadi salah satu bukti betapa kebencian bisa dikapitalisasi. Sebab itu, kita harus semakin berhati-hati mengonsumsi dan mendistribusi setiap konten yang masuk ke gawai. Jangan sampai yang kita sebar luaskan ialah konten yang penuh ujaran kebencian yang berisi fitnah dan bohong belaka.

Pendidikan kritis

Kita membutuhkan anak bangsa yang kritis dalam melihat realitas yang terjadi saat ini. Mampu memilah informasi yang begitu banyak di internet secara arif dan bijak sehingga berita hoaks yang nihil kebermanfaatan tidak akan mudah tersebar. Sesungguhnya jika dioptimalkan dengan baik, internet merupakan samudera luas yang menyimpan beragam konten positif.

Karena itu, selektif memilih informasi menjadi penting. Kemampuan menyeleksi informasi tidak saja didasarkan pada tinggi rendahnya status pendidikan, tetapi kemampuan mengkritisi setiap informasi yang masuk. Sudah terbukti mereka yang berpendidikan tinggi pun seringkali abai memerhatikan secara saksama apakah informasi yang di-posting di akun pribadinya informasi valid atau hoaks.

Kondisi itu bisa saja terjadi karena pola pendidikan yang selama ini mengikuti pendidikan gaya bank seperti yang dikemukakan oleh Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed (1972). Dalam prosesnya, pendidikan gaya bank mendikotomikan posisi guru-siswa. Guru mengajar, sedangkan siswa diajar, guru mengetahui dan siswa mengetahui apa-apa, guru bercerita dan murid patuh mendengarkan, guru subjek dan murid objek. Siswa ialah celengan yang siap diisi pengetahuan dari guru.

Laku Bung Karno yang sempat menjadi guru dapat menjadi teladan bagi guru. Ia bercerita dalam biografi nya, “Aku tidak ingin memperlakukan murid-muridku sebagai anak-anak yang hanya mengingat fakta, jadi aku memberikan latar belakang falsafah. Kuajari mereka mengapa ini dan itu terjadi. Aku mendramatisasikan peristiwa-peristiwa sejarah dengan adegan-adegan mirip sandiwara. Aku tidak memasukkan pengetahuan yang beku dan kronologis (Adams, 1965).

Ibarat sebuah panggung, guru berperan sebagai aktor dan aktris. Mereka membawa isu-isu sosial yang saat ini sedang aktual ke panggung kelas. Dialog harus terjadi antara guru dan murid. Dalam bahasa Freire, pendidikan hadap masalah harus diutamakan. Dengan demikian, guru melatih anak agar selalu berpikir kritis dan konstruktif. Menstimulus mereka dengan pertanyaan filosofis dan praksis. Dengan demikian, proses pendidikan lebih menyenangkan dan menggugah, tak lagi menjadi pendidikan gaya bank.

Sebab, pola pendidikan gaya bank ini membuat kemampuan mempertanyakan terkubur dalam proses pendidikan. Narasi pola pendidikan gaya bank begitu kuat dalam pendidikan bangsa kita. Bisa jadi kondisi itu menjadi jawaban mengapa teks, gambar, dan video yang belum tentu kebenarannya begitu mudah disebarluaskan dan dianggap kebenaran. Sebagian dari kita akhirnya, tanpa sadar asyik membantu pihak-pihak yang memproduksi dan menernak kebencian di media sosial. Mereka untung dan kaya, bangsa ini tercerai-berai.

Pola pendidikan gaya bank ini sudah semakin dikritisi. Apalagi, pengetahuan bukan lagi komoditas mahal dan elitis yang hanya bisa diakses pihak tertentu. Pengetahuan bisa diakses siapa pun. Kita dapat memanfaatkan internet untuk meningkatkan kapasitas diri. Ada demokratisasi pengetahuan dengan begitu mudahnya kita mengakses informasi di internet.

Kita sudah pasti dapat mempertanyakan apa saja yang mampir di gawai. Dengan kemudahan mencari informasi, apa pun yang menghampiri  genggaman kita bisa langsung memvalidasinya pada sumber-sumber tepercaya di internet. “Jangan sia-siakan waktumu untuk membenci,” demikian pesan Raisa dan Isyana dalam lagunya yang populer. Maka, jangan sia-siakan waktu kita untuk beternak kebencian.

*) Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Dimuat di Harian Media Indonesia, Kamis, 14 September 2017

http://mediaindonesia.com/news/read/122293/berhenti-beternak-kebencian/2017-09-14