Kamis, 5 Oktober 2017 Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI bekerjasama dengan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) menggelar seminar bertajuk Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dan Konteks Kekinian yang merupakan salah satu refleksi peringatan Hari Kesaktian Pancasila.
Hadir dalam diskusi ini tiga narasumber yaitu Dr. Anthony Budiawan (Kwik Kian Gie School of Businees), Dr. Yudi Latif (Kepala UKP PIP), Daniel Dhakidae (Prisma), dan Refly Harun, SH, MH, LL.M (Pakar Hukum Tata Negara). Jalannya diskusi dipandu oleh Peneliti LIPI yang juga saat ini menjabat sebagai Deputi UKP PIP Bidang Pengkajian dan Materi, Dr. Anas Saidi.
Kegiatan ini dibuka oleh Deputi IPSK LIPI Dr. Tri Nuke Pudjiastuti. Ia menyatakan bahwa membicarakan Pancasila sama juga dengan membicarakan Indonesia. Menurutnya, jangan sampai Pancasila hanya dianggap sebagai ritual semata. Nuke melanjutkan bahwa LIPI menyambut baik kerjasama dengan UKP PIP sebab ini menjadi bagian penting dari merawat fondasi dasar negara dan semoga Indonesia menjadi rumah besar yang mengayomi setiap warganya. Ia pun berharap agar hasil diskusi pagi ini tidak hanya menjadi wacana semata dan juga agar kerjasama antara LIPI dengan UKP PIP dapat terus dilaksanakan.
Prof. Dr. Hariyono, Deputi Bidang Advokasi menjelaskan bahwa saktinya Pancasila adalah pada nilai-nilainya yang masih relevan sampai saat ini. Pancasila adalah miliki kita semua bukan monopoli sekelompok orang lanjutnya.
Mengutip Kuntowijaya, Anas menjelaskan bahwa radikalisasi Pancasila perlu dilakukan, sebab saat ini Pancasila surplus kata-kata minus tindakan. Refly menyebut kalau bangsa ini mau melihat tafsir Pancasila ada pada Undang-Undang Dasar 1945, sebab Pancasila adalah dasar negara dan diimplementasikan pada UUD 1945. Menurutnya juga dalam melihat Pancasila tidak boleh dilakukan secara tertutup, karena Pancasila itu senantiasa dinamis tafsirnya.
Dhakidae menyebut bahwa ketika bicara Pancasila yang harus dilakukan adalah mencari konteks yang hilang. Maka Pancasila tidak bisa hanya satu tafsir. Juga harus ditelaah Pancasila dari ideologi menjadi paradigma pengetahuan, contohnya negara kesejahteraan versi Pancasila seperti apa, dan itu harus didukung oleh teori-teori.
Latif mengajak agar kita berhenti mewarisi kekerasan masa lalu yang terus menjadikannya sumber pertentangan dan pertarungan politik. Kita harus mengamati masa lalu untuk membangun banyak hal baru.
Diliput oleh Anggi Afriansyah (Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI)