Keterbukaan informasi pasien positif COVID-19 masih menjadi pro dan kontra. Informasi tersebut semula dianggap menganggu privasi pasien dan berpotensi menimbulkan diskriminasi pada pasien. Namun seiring melonjaknya jumlah  pasien positif, informasi tersebut dirasa perlu sebagai upaya pemutusan mata rantai penularan virus.

Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, serta U-Inspire melakukan survei Persepsi Publik terhadap Keterbukaan Informasi Pasien Positif COVID-19.

Survei dalam penelitian tersebut melibatkan 15.101 responden dari seluruh Indonesia dengan sebaran 78,2% dari Jawa, 21,8% tersebar  dari berbagai daerah di Indonesia. Profil responden berusia 21-30 tahun (33,1%) dan 31-40 tahun (34,5%), berjenis kelamin perempuan 65,4% dan laki-laki 34,6%, memiliki aktivitas keseharian di  luar rumah sebanyak 65% responden, dan 86% berpendidikan tinggi.

Hasil survei tersebut dipublikasikan pada Jumat (27/3) lalu di Jakarta. Hasil survei menunjukkan 97% responden setuju membuka riwayat perjalanan pasien . Sejumlah 56,2% responden di Pulau Jawa dan 52,2% responden di luar Pulau Jawa setuju riwayat perjalanan 14 hari penting untuk mengetahui pertemuan dengan kasus positif COVID-19, pertemuan dengan orang yang menunjukkan gejala terinfeksi COVID-19, dan informasi perjalanan ke luar negeri.

Dalam hal persepsi tentang keterbukaan tempat tinggal pasien positif COVID-19 , 65.8% responden setuju alamat RT/RW pasien positif COVID-19 dibuka, 64% responden setuju alamat kecamatan pasien positif COVID-19, dan 61,2% s responden setuju nama pasien dibuka.

Sedangkan untuk sarana penyebaran informasi,  80,71% responden memilih aplikasi pesan instan (WhatsApp, Line), 70,04% responden memilih website, 25,66% responden memilih SMS, dan 2 78% responden memilih akun media sosial pemerintah.

Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Rusli Cahyadi menyatakan bahwa membuka informasi dan data pasien positif COVID-19 telah berhasil menekan angka penambahan pasien positif di Korea Selatan. “Dengan mengetahui data serta informasi, seperti riwayat perjalanan pasien positif COVID-19, masyarakat menjadi terlibat dalam langkah antisipasi penyebaran,” ujar Rusli.

Rusli menambahkan bahwa keterbukaan informasi pasien positif COVID-19 yang dilakukan Korea Selatan dapat melibatkan masyarakat mempelajari sendiri riwayat kontak dan resiko paparan dengan pasien positif COVID-19. “Informasi ini dibuka secara transparan melalui lembaga resmi pemerintah untuk menghindari kesimpang siuran informasi,” jelas Rusli.

Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Universitas Indonesia, Dicky Peluppesy mengatakan keterbukaan informasi pasien positif COVID-19 dapat berguna untuk meningkatkan kewaspadaan. “Keterbukaan informasi mendorong pemahaman persepsi bahwa COVID-19 ini adalah masalah serius,” ujar Dicky.

Namun, membuka informasi pasien positif COVID-19 memiliki konsekuensi tersendiri. “Masih ada orang-orang yang berada dalam kasus pemantauan ataupun positif COVID-19 yang diperlakukan buruk dan didiskriminasi di lingkungannya,” ujar Dicky. Dirinya menyatakan, penyebaran informasi pasien positif COVID-19 ini harus dilakukan dengan baik dan benar agar tidak menimbulkan masalah sosial lain.

Hasil studi tersebut merekomendasikan bahwa keterbukaan informasi pasien positif COVID-19 perlu dilakukan. Namun informasi yang dapat dibuka sebatas pada riwayat perjalanan 14 hari pasien positif. (sr/ed: fz)
Sumber : Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI
Sivitas Terkait : Rusli Cahyadi M.Si