Pengungsi (refugees) dan pencari suaka (asylum seekers) (yang selanjutnya disebut pengungsi) pada masa pandemi COVID-19 di Indonesia maupun belahan dunia lainnya tidak menjadi kelompok yang cukup mendapatkan penanganan. Hal ini mengingat fakta bahwa warga dari suatu negara saja seringkali tidak tertangani dengan baik. Tulisan ini menganalisis kerentanan para pengungsi di Indonesia dengan membandingkan kondisi pengungsi yang ada di negara lain.

Pada masa pandemi COVID-19, pengungsi menjadi salah satu kelompok yang paling rentan mengingat banyak faktor yang memengaruhinya. Dari segi jumlah, pengungsi di Indonesia sebenarnya hanya sekitar 14 ribu, dibanding total global yang mencapai 70,8 juta (UNHCR, 25 April 2020). Jumlah tersebut terdiri dari 41,3 juta internally displaced peoples (IDPs) atau pengungsi internal negara; 25,9 juta pengungsi (antarnegara); 3,5 juta pencari suaka; dan termasuk di dalamnya 3,9 juta pengungsi tanpa warga negara. Untuk kondisi di Indonesia sendiri, hanya sekitar 9 ribu pengungsi berada dalam rumah penampungan yang dikelola oleh International Organization for Migration (IOM), sedangkan sekitar 5 ribu pengungsi tidak berada dalam penampungan dan tidak mendapatkan fasilitas apapun. Besarnya angka pengungsi mandiri terjadi karena sejak 15 Maret 2018 IOM menghentikan bantuan kepada pengungsi dan pencari suaka yang tidak masuk dalam penampungan resmi. Penghentian bantuan itu juga ditujukan ke rumah-rumah detensi Imigrasi sejak 1 Juli 2018, yang selama ini dibantu IOM untuk menampung pengungsi. Mereka yang menjadi pengungsi mandiri hidupnya sangat tergantung pada belas kasihan banyak orang dan pada kenyataannya, tidak diterima di masyarakat kota besar seperti Jakarta. Mereka harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidup dan melindungi diri dari penyakit COVID-19 yang menular. Mereka juga hidup dalam komunitas yang padat dan tidak mendapatkan akses bantuan sosial dan ekonomi.

Kondisi pengungsi ini luput dari pemberitaan media di Indonesia. Padahal menurut United Nations High Commissioner on Refugees (UNHCR) Indonesia, di wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) ada lebih dari 7 ribu pengungsi dari 45 negara (DetikNews, 2020). Berbagai pemberitaan tentang COVID-19 terkonsentrasi pada hal-hal yang utama atau yang sifatnya hiburan pada masa isolasi mandiri. Dalam hal isu pengungsi, hanya ada 3 tulisan di dua media daring. Itu pun baru muncul pada tanggal 7 dan 12 April 2020, yang salah satunya mengutip dari media asing dan yang lainnya dari UNHCR. Para pengungsi memang tidak bisa secara formal bekerja di Indonesia, tetapi selama ini masih ada yang bisa melakukan aktivitas informal, seperti menjadi guru bagi anak-anak pengungsi ataupun penerjemah bagi sesama bangsanya yang belum fasih berbahasa Indonesia. Akan tetapi, ketika ada kebijakan larangan ke luar rumah juga belajar di rumah, sekolah-sekolah yang menjadi tempat mereka bekerja secara informal tutup, sehingga mereka menjadi tidak berpenghasilan. Kondisi tersebut masih jauh lebih baik dibandingkan dengan pengungsi yang tinggal secara nomaden di jalan-jalan. Mereka pasrah tidak mempunyai akses atas bantuan sosial atau makanan maupun kesehatan karena syarat untuk mendapatkan bantuan tersebut adalah kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Berbeda halnya dengan pemberitaan mengenai berbagai upaya penanganan COVID-19 pada kelompok pengungsi di berbagai wilayah di belahan dunia lainnya yang telah diliput sejak beberapa bulan lalu. Penanganan pengungsi di Indonesia memang tidak dapat dibandingkan dengan di negara lain. Namun setidaknya, penggambaran dan informasi seperti ini dapat membantu pencarian jalan untuk mengurangi kerentanan mereka. Seperti yang terjadi di Jerman, para pengungsi yang mempunyai kualifikasi sebagai tenaga medis dilibatkan membantu melakukan perawatan kepada penderita penyakit COVID-19 (MacGregor, 26 Maret 2020).

Meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951, komitmen pemerintah Indonesia terhadap pengungsi dapat dilihat dari perspektif bencana kemanusiaan. Hal itu ditunjukkan dengan Peraturan Presiden No. 125/Tahun 2016 yang menunjukkan bentuk negosiasi politik Indonesia soal penanganan pengungsi. Jelas sekali, secara politik Indonesia memang bukan negara anggota konvensi pengungsi, tapi kepedulian Indonesia terhadap mereka dilakukan sebagai negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Bukti lain ditunjukkan dengan adanya kisah sukses yang diukir pemerintah  dan masyarakat Indonesia ketika peristiwa krisis Laut Andaman, Indonesia secara sigap dan sistemis memberikan bantuan kepada migran paksa dari Bangladesh dan Rohingya, yang kemudian diketahui, diliput, dan mendapat apresiasi di tingkat internasional.

Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memberikan dukungan dan komitmennya atas Deklarasi New York tentang pengungsi dan migran. Artinya, dukungan Indonesia juga diberikan kepada kesepakatan WHO tentang Promoting the Health of Refugees and Migrants tahun 2019 yang salah satunya mendorong organisasi internasional dan lembaga non-pemerintah melakukan pengawalan atas kesehatan pengungsi (WHO, 2019). UNHCR memang telah mengklaim bahwa pengungsi yang ada dalam penampungan mendapat pendampingan yang dilakukan melalui kolaborasi dengan pihak berwenang di tingkat lokal dan dengan mitra UNHCR, seperti Church World Service (CWS), Catholic Relief Services (CRS), Dompet Dhuafa, IOM, Jesuit Refugee Service (JRS), Pos Keadilan Peduli Ummat-Human Initiative (PKPU-HI), dan Selasih (Suryono, 2020). Namun demikian, hal ini tidak dapat dirasakan oleh hampir sepertiga dari total pengungsi yang ada di Indonesia karena mereka tidak masuk dalam rumah penampungan.

Pada awal April 2020, Indonesia mendapat pujian dari IMF atas kebijakan penanganan COVID-19. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, mengapresiasi kebijakan pemerintah Indonesia untuk menangani dampak ekonomi dan sosial akibat COVID-19. Bahkan secara khusus, IMF memuji koordinasi baik antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dalam menangani pandemi serta pemberian perlindungan oleh pemerintah kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Hal itu luar biasa di tengah kegagapan penanganan yang dilakukan di tingkat pusat maupun daerah serta dalam hal penyediaan sarana prasarana kesehatan. Sayangnya dalam kasus pengungsi, komitmen sebagai negara yang berperikemanusiaan dan tata kelola pendanaan yang ada tidak menyentuh pengungsi, yang memang bukan penduduk Indonesia.

Bila berkaca dari komitmen dan kesepakatan global, meskipun tidak menjadi tanggung jawab langsung pemerintah Indonesia, sebaiknya pemerintah juga tetap menerapkan kebijakan kemanusiaannya kepada pengungsi, khususnya yang tidak dalam rumah penampungan. Sudah seharusnya semua pengungsi mendapatkan hak perlindungan kesehatan yang sama. Tidak dapat dibayangkan, bila mereka ternyata carrier atas penyakit COVID-19, kebijakan isolasi mandiri akan menjadi sia-sia karena di jalan-jalan terjadi penyebaran secara luas. Di samping itu, Indonesia perlu tegas menagih UNHCR dan IOM yang mendapat mandat dari PBB dalam New York Declaration for Refugees and Migrants yang kemudian dicapai kesepakatan dan dituangkan dalam A Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration untuk menjalankan kewajibannya tanpa membeda-bedakan terkait perlindungan kesehatan kepada pengungsi yang ada di Indonesia. (Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti – Peneliti P2P-LIPI Bidang Migrasi Internasional)

 

Referensi:

UNHCR.  “Figure at Glance.” 19 Juni 2019. https://www.unhcr.org/figures-at-a-glance.html. Diakses 25 April 2020.

Rahel, “UNHCR Ungkap 13 Ribu Pengungsi dari 45 Negara di RI, Mayoritas di Jabodetabek.” 28 Janurai 2020. https://news.detik.com/berita/d-4876218/unhcr-ungkap-13-ribu-pengungsi-dari-45-negara-di-ri-mayoritas-di-jabodetabek/2. Diakses 25 April 2020.

Nguyen, Sen. “’Slow-motion genocide’: coronavirus fears grow among refugees in Indonesia, Bangladesh and Thailand.” South China Morning Post. 5 April 2020. https://www.scmp.com/week-asia/health-environment/article/3078480/slow-motion-genocide-coronavirus-fears-grow-among. Diakses 20 April 2020.

MacGregor, Marion. “Germany: Migrants and Refuges May Fill Labor Gaps.” Info Migrants. 26 Maret 2020.  https://www.infomigrants.net/en/post/23690/germany-migrants-and-refugees-may-fill-labor-gaps. Diakses 23 April 2020.

World Health Organization. Promoting the health of refugees and migrants: Draft global action plan 2019–2023. Seventh-Second World Health Assembly: A72/25. 25 April 2019. https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA72/A72_25-en.pdf. Diakses 23 April 2020.

Suryono, Mitra. “Bersama Pemerintah Indonesia, Mitra Kerja/ Organisasi dan Badan PBB Lainnya, UNHCR Pastikan Pengungsi Tidak Tertingal Dalam Respon COVID-19.” 4 April 2020. https://www.unhcr.org/id/12357-bersama-pemerintah-indonesia-mitra-kerja-organisasi-dan-badan-pbb-lainnya-unhcr-pastikan-pengungsi-tidak-tertingal-dalam-respon-covid-19.html. Diakses 23 April 2020.

 

Sumber web: http://politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/1384-kerentanan-pengungsi-pada-masa-pandemi-covid-19-di-indonesia