Era desentralisasi dan Otonomi Daerah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan  kualitas  pelayanan  publik,  khususnya  di bidang kesehatan. Sehubungan dengan kondisi yang terjadi saat ini, penyebaran COVID-19 di seluruh   wilayah Indonesia tentu membutuhkan respons cepat dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah.  Beberapa kepala daerah  telah  melakukan  inisiatif  lebih  dulu  untuk  mengantisipasi terjadinya persebaran virus yang semakin meluas, misalnya dengan penerapan kebijakan karantina wilayah (lockdown)   dan   pembatasan   sosial   berskala   besar   (social   distancing,   physical distancing).  Kebijakan ini membatasi pergerakan masyarakat dengan meliburkan sekolah, meminta karyawan  bekerja  dari  rumah  atau  dikenal  dengan  work  from  home  (WFH),  membatasi kegiatan    keagamaan    hingga    membatasi    penggunaan    transportasi    publik.    Namun dalam perkembangannya, kebijakan pemerintah daerah tersebut dinilai tidak  sejalan  dengan  kebijakan pemerintah  pusat.  Inisiatif yang dilakukan kepala daerah justru  dianulir  oleh  pemerintah pusat  karena dianggap telah melangkahi  kewenangan  pusat.  Padahal  menurut  UU  Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014), daerah-daerah memiliki tanggung jawab dalam memberikan pelayanan dasar, khususnya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah sangat jelas diatur dalam UU ini di mana  pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam enam urusan yaitu politik luar negeri; pertahanan;  keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Selain keenam urusan tersebut, tentu menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Merespons silang sengkarut relasi tersebut, Pusat Penelitian Politik di bawah Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI mengadakan Webinar bertajuk “Relasi Pusat dan Daerah dalam Mengatasi COVID-19” pada hari Rabu, 22 April 2020. Dengan menggunakan aplikasi Zoom, acara ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube P2P-LIPI. Ada tiga tujuan utama dari kegiatan webinar ini, yaitu untuk mendapatkan gambaran/respons yang jelas dari keragaman daerah dalam mengatasi COVID-19; mendapatkan masukan penting tentang praktik koordinasi, bimbingan dan pengawasan (korbinwas) antara eksekutif (pusat-daerah) dan legislatif (DPR dan DPD-RI) dalam mengatasi COVID-19; dan mendapatkan masukan tentang pola relasi yang ideal antara pusat dan daerah terkait dengan wewenang, kebijakan, etika, dan norma dalam mengatasi COVID-19.

Kegiatan Webinar ini menghadirkan delapan orang pembicara, yaitu Prof. Dr. R. Siti Zuhro (Profesor Riset Pusat Penelitian Politik LIPI); Drs. Akmal Malik, M.Si (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri); Anies Baswedan, Ph.D (Gubernur DKI Jakarta); Ir. H. Ruksamin, S.T., M.Si. (Bupati Konawe Utara, Sulawesi Tenggara); Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Ketua Komisi II DPR RI); Dr. Agustin Teras Narang (Ketua Komite I DPD RI); Prof. Dr. Eko Prasojo (Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI); dan Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Presiden Institut Otonomi Daerah/Guru Besar IPDN). Dimoderatori oleh Prof. Dr. Firman Noor (Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI), acara ini diikuti peserta dari berbagai profesi baik dari dalam negeri (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku) dan luar negeri (Rusia dan Amerika).

Prof. Dr. R. Siti Zuhro mengawali pemaparan dengan mengetengahkan topik terkait “Tarik-Menarik Kewenangan Pusat-Daerah dalam Mengatasi COVID-19”. Menurutnya, pemerintah pusat perlu meluruskan kembali desentralisasi dan Otonomi Daerah karena masing-masing sudah mempunyai tugas pokok dan fungsinya. Dalam hal ini, tidak hanya tingkatan pemerintahan saja yang perlu direformasi, tetapi juga pola korbinwasnya. Siti Zuhro mengingatkan bahwa praktik sistem multipartai tidak boleh berpengaruh negatif terhadap birokrasi pemerintahan karena birokrasi sulit netral secara politik sehingga birokrasi menjadi partisan. Lebih jauh Siti Zuhro menegaskan bahwa sifat birokrasi pada dasarnya hierarkis, mulai pusat sampai daerah, sehingga tidak perlu dibenturkan dengan realitas warna-warni partai yang memimpin birokrasi. Birokrasi harus terjaga dan tidak boleh dijadikan lahan tarik-menarik kepentingan. Apalagi dalam melawan COVID-19, siapapun yang memimpin birokrasi harus taat pada etika pemerintahan dan profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga konflik antartingkatan pemerintahan tidak perlu terjadi saat ini. Di akhir paparannya, Siti Zuhro mengajak bahwa sudah saatnya kita semua untuk menunjukkan wisdom baik bagi pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota yang bekerja secara kontinum untuk kepentingan nasional.

Pembicara kedua, Drs. Akmal Malik, M.Si membahas tentang “Wewenang  dan  Kebijakan  Pemerintah Pusat dalam Mengatasi COVID-19”. Menurutnya, terkait dengan penanganan COVID-19, pemerintah pusat telah menyiapkan pedoman manajemen dan dampaknya bagi pemerintah daerah. Dalam konteks korbinwas umum, langkah-langkah yang dilakukan oleh pusat telah diinfokan kepada pemerintah daerah melalui dokumen tertulis (pedoman). Tujuannya tentu agar pemerintah daerah mendapatkan pemahaman terkait COVID-19. Menurutnya. ini bukan pandemi biasa tetapi perang terhadap COVID-19. Oleh karena itu, Kemendagri telah menyiapkan lima strategi, yaitu (a) strategi pencegahan penyebaran COVID-19; (b) peningkatan sistem kekebalan tubuh; (c) peningkatan kapasitas kesehatan; (d) peningkatan ketahanan pangan dan industri alat kesehatan; dan (e) memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net). Untuk membangun pola hubungan pusat dan daerah, Kemendagri memiliki prinsip, yaitu (1) melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor resiko kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah (urusan konkuren); (2) penentuan pelaksana urusan berbasis kriteria eksternalitas (dampak yang dirasakan), efektivitas dan akuntabilitas; (3) kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah; dan (4) Presiden sebagai komandan tertinggi dari seluruh urusan eksekutif. Untuk itu, saat ini telah dibuat gugus tugas untuk menangani pandemi COVID-19.

Selanjutnya pembicara ketiga ialah Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Anies Baswedan, Ph.D. Dalam paparannya berjudul “Wewenang dan Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”, Anies menegaskan bahwa dalam menghadapi COVID-19 ini masalahnya bukanlah pada kewenangan pusat dan daerah mengingat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara struktur, tugas, dan wewenang sudah sesuai dengan peraturan yang ada. Tantangan utamanya justru terletak pada cara pandang terhadap masalahnya, apakah ini masalah pusat dan daerah ataukah masalah kita sebagai bangsa yang harus menangkal agar pandemi ini tidak muncul. Dalam hal kewenangan, ungkap Anies, Pemprov DKI Jakarta (dalam hal ini Dinas Kesehatan) telah melakukan komunikasi dengan Kementerian Kesehatan sejak Januari 2020. Tetapi, pada kenyataannya kasus ini terus berkembang dan tidak ada pemberitahuan dari pemerintah nasional kepada publik untuk hati-hati dan waspada terhadap COVID-19. Menyikapi hal tersebut, Pemprov DKI Jakarta pada akhir Februari-awal Maret menyampaikan kepada masyarakat untuk waspada terhadap COVID-19 ini. Pada 3 Maret 2020 muncul dua kasus pertama di DKI Jakarta, namun melonjak tajam pada 22 April 2020 menjadi 3.351 kasus positif dan 301 meninggal karena COVID-19. Mengingat hal ini juga bisa terjadi di tempat lain, Anies mengingatkan perlunya langkah-langkah kewaspadaan dan tanggung jawab bersama sebagaimana yang tercantum di pasal 4 UU No.6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dengan demikian, tegas Anies, yang seharusnya menjadi garda terdepan adalah kita bersama (negara, pemerintah, dan rakyat), bukan tenaga medis. Tenaga medis merupakan pertahanan terakhir untuk menyelamatkan.

Pembicara keempat ialah Bupati Konawe Utara, Ir. H. Ruksamin, ST, M.Si yang memaparkan tentang “Wewenang dan Kebijakan Pemerintah Daerah (Kabupaten) dalam Mengatasi COVID-19: Pengalaman Konawe Utara”. Menurutnya, COVID-19 merupakan ujian desentralisasi. Artinya, pusat mengeluarkan kebijakan tetapi intinya ada di daerah. Terkait penanganan pandemi ini, pada 16 Maret 2020 Pemkab Konawe Utara membentuk gugus tugas penanganan COVID-19. Kebijakan yang dilakukan ialah (a) menyediakan fasilitas kesehatan dan SOP penanganan pasien COVID-19; (b) menyelenggarakan edukasi bahaya COVID-19 kepada seluruh masyarakat; (c) memobilisasi seluruh stakeholders (Forkominda, swasta, ASN, karang taruna, aparat desa, LSM, dll) untuk berpartisipasi menghadapi COVID-19; (d) menyediakan jaring pengaman sosial; dan (e) menangani dampak ekonomi. Selain itu, pemkab juga menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kebijakan ini diakui Ruksamin memiliki dampak positif bagi Konawe Utara sehingga sejauh ini tidak ada masyarakatnya yang terdampak COVID-19.

Memasuki sesi kedua, hadir pembicara kelima, yaitu Dr. H. Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang memaparkan tentang “Pengawasan DPR-RI terhadap Kebijakan Mengatasi COVID-19”. Menurutnya, sepanjang sejarah ini merupakan pandemi terburuk yang membutuhkan penanganan cepat dari pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, DPR-RI telah membentuk gugus tugas untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Terhitung 13 Maret sampai dengan 13 April 2020, ada sembilan kebijakan (4 Keppres, 1 Inpres, 1 Perppu, 1 PP, dan 2 Perpres) yang diambil oleh pemerintah pusat untuk mengendalikan pandemi ini. Selain itu, DPR-RI juga membentuk Satgas Lawan COVID-19 di luar fungsi pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehubungan dengan pola relasi pusat dan daerah, Ahmad Doli mengingatkan bahwa ke depannya kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak boleh berhenti mengingat dinamisnya virus ini. Artinya, kebijakan-kebijakan ini harus terus dievaluasi untuk menemukan pola-pola baru, termasuk perlunya juga proses preventif dan represif. Oleh karena itu, menurutnya, hal berikut yang perlu dikoordinasikan antara pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana pemerintah pusat mempunyai pemetaan yang jelas sehingga setelah kebijakan PSBB dapat dirumuskan tindak lanjut apa yang perlu dilakukan oleh daerah-daerah yang belum menetapkan kebijakan ini. Di akhir paparan, Ahmad Doli mengingatkan bahwa pandemi ini bisa diatasi dan dikendalikan jika pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat bisa solid, serta penegakan hukum bagi yang melanggar. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah diharapkan melakukan pola hubungan yang semakin baik. Pemerintah pusat harus memberi keleluasaan bagi pemda untuk melakukan kebijakan taktis.

Pembicara keenam adalah Dr. Agustin Teras Narang yang memaparkan tentang “Keragaman Daerah dalam Merespons COVID-19”. Menurutnya, masih terdapat problem sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah dalam merespons pandemi COVID-19 ini. Selain itu, juga terjadi ketidakseragaman dalam merespons pandemik ini. Beragam peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah, masih belum direspons baik secara nasional, termasuk belum terlihat adanya manajemen krisis pelayanan publik yang terpadu antara pusat dan daerah. Padahal penting untuk melakukan optimalisasi anggaran bersama dalam mengatasi COVID-19 maupun mengelola sinergis modal sosial dengan melibatkan tokoh nasional, agama, adat, masyarakat setempat, untuk berpartisipasi aktif melakukan edukasi publik. Beberapa daerah termasuk kelompok masyarakat menggunakan modal sosial dan tradisi gotong royong untuk menghadapi pandemi. Prinsipnya, menurut Narang, saat ini kita harus bersikap business as not usual karena kita sedang menghadapi sesuatu yang extraordinary. Untuk itu, dibutuhkan sumber daya yang tinggi guna menyelesaikan pandemi ini.

Prof. Dr. Eko Prasojo sebagai pembicara ketujuh memaparkan tentang “Menyoal Koordinasi, Komunikasi, dan Sinergi antar-Kementerian/Lembaga dalam Mengatasi COVID-19”. Prof. Eko Prasojo mengakui adanya permasalahan terkait dengan kewenangan dalam penanganan COVID-19 ini. Terdapat lima isu pokok menurut Prof. Prasojo, yaitu (a) banyaknya sumber regulasi; (b) tidak ada kejelasan apakah penanganan wabah COVID-19 merupakan urusan bidang kesehatan sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 dan UU No. 6/2018, atau urusan bencana sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 dan UU No. 24/2007; (c) lemahnya koordinasi kelembagaan; dan (d) gugus tugas dalam penanganan wabah COVID-19 tanpa disertai kewenangan untuk membuat keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan. Hal ini terjadi karena penanganan wabah COVID-19 melibatkan banyak sekali urusan yang menjadi kewenangan Kementerian/Lembaga/Pemda. Keppres No. 7/2020, Keppres No. 9/2020, dan UU No. 24/2007 tidak cukup menjangkau tugas-tugas yang dibebankan. Selain itu, juga karena banyaknya norma hukum dan ketidakjelasan top of champion dalam penanganan wabah COVID-19 di tingkat pusat, serta berkaitan dengan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dari kelima isu tersebut, masalah Pemerintahan Umum masih belum digarap terkait dengan pandemi ini. Oleh karena itu, Prasojo menegaskan perlunya diperkuat Urusan Pemerintahan Umum sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, sinergi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan wabah dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu, perlu ada Perpres baru tentang manajemen penanganan kedaruratan kesehatan COVID-19 sebagai bencana nasional.

Pembicara terakhir, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan memaparkan tentang “Pola Hubungan Pusat-Daerah: Etika dan Norma dalam Mengatasi COVID-19”. Menurutnya, konsep relasi pusat-daerah dibagi dua tipe, yaitu untuk negara federal dan negara kesatuan. Dalam sistem negara federal, penanggulangan wabah di daerah dipegang oleh pemda masing-masing. Sedangkan pemerintah pusat (federal) lebih memberikan dukungan, misalnya dana korban terdampak, APD, dan tenaga medis. Ini menurutnya merupakan weak type. Sementara itu untuk negara kesatuan, relasi pusat-daerah merupakan strong type di mana pemerintah pusat memegang kendali manajemen penanggulangan bencana nasional wabah, misalnya pembuatan regulasi, pengorganisasian, dan penyediaan kebutuhan dasar korban. Pemda memberikan dukungan dalam bentuk, misalnya SDM, dana/pembiayaan, dan sumber daya lokal lainnya. Norma dalam menghadapi COVID-19 berdasarkan UU Pemda No. 23/2014 bahwa pemerintah pusat memberikan penyediaan kebutuhan dasar korban terdampak COVID-19 di Indonesia; membuat regulasi, pedoman dan petunjuk pelaksanaan; dan melakukan korbinwas. Pemerintah provinsi memberikan dukungan penyediaan kebutuhan dasar korban terdampak COVID-19 dengan Gubernur menjadi ketua satgas percepatan dan melakukan korbinwas. Sementara pemkab/pemkot memberikan dukungan penyediaan kebutuhan dasar korban terdampak COVID-19 dan Bupati/Walikota menjadi ketua satgas percepatan.

Terkait etika dalam menangani COVID-19, Prof. Djohermansyah mengingatkan bahwa tidaklah elok bagi pemerintah pusat selaku pemegang kewenangan bencana nasional menangani sendiri beban pandemik COVID-19 ini. Pemerintah pusat seyogianya merangkul daerah untuk berkolaborasi dan berbagi beban yang berat ini di bawah kepemimpinan presiden, misalnya menerima masukan dari pemda yang mengetahui lapangan, mendorong pemda merealokasi APBD, membujuk pemda untuk bersedia tunda bayar Dana Bagi Hasil (DBH), dan menggeser jadwal Pilkada 2020. Sementara itu, pemda tidak boleh tinggal diam, lalai atau abai, sekalipun tidak mempunyai wewenang dalam mengatasi COVID-19. Dalam hal ini, pemda harus kooperatif, memberikan saran, dan masukan kepada pemerintah pusat, dan juga mensosialisasikan dan mengedukasi masyarakatnya untuk mematuhi garis kebijakan.

Menutup kegiatan webinar ini ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Pertama, masalah relasi pusat dan daerah bersifat multidimensional terkait dengan masalah mindset, regulasi, keberadaan lembaga koordinasi, hingga masalah pengawasan, norma, dan etika. Masalah koordinasi, komunikasi dan sinergi di awal pandemi ini diakui masih kurang. Meski demikian, terkait masalah mindset, pemerintah harus merespons cepat pandemi yang pada akhirnya berpengaruh terhadap seluruh proses penanganan. Pemerintah semakin hari semakin concern dan menyadari bahwa koordinasi penting. Salah satunya dicerminkan dengan keberadaan gugus tugas. Pemda sendiri telah melakukan penafsiran beberapa kebijakan dan sedapat mungkin melakukan respons cepat demi kepentingan bersama tanpa bermaksud melakukan pelanggaran aturan.

Kedua, terkait dengan pengawasan oleh DPR, disarankan untuk tidak boleh longgar. Namun demikian, perlu juga dilakukan diskresi kebijakan agar tercipta akselerasi respons yang taktis oleh pemda terkait pandemi ini. Untuk itu, diharapkan ke depannya pola hubungan pusat dan daerah semakin taktis dan harmonis. Ketiga, urusan Pemerintahan Umum merupakan salah satu kunci bagi penguatan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk itu, tindak lanjutnya dapat dituangkan dalam Perpres terkait dengan Manajemen Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terkait COVID-19 sebagai bencana nasional. Keempat, dalam penanganan COVID-19, hubungan pusat dan daerah tetap harus dalam norma dan etika. Baik pemerintah pusat maupun daerah harus memahami benar kewenangan yang dimilikinya, di sisi lain, keduanya harus saling mengapresiasi dengan membagi beban dan semangat terus sinergi serta kerja sama demi kepentingan bangsa.

Menutup acara webinar, panitia memberikan pooling kepada peserta terkait dengan pertanyaan “Bagaimana Relasi Pusat Daerah dalam Mengatasi COVID-19 sejauh ini? Terdapat 13% yang menyatakan sangat baik; 54% cukup baik; 30% buruk; dan 3% sangat buruk. (Nyimas Latifah Letty Aziz, R. Siti Zuhro, dan Yusuf Maulana)

 Relasi Pusat Daerah 1

Relasi Pusat Daerah 2

Relasi Pusat Daerah 3a