Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengukuhkan empat professor riset baru. Keempat peneliti yang dikukuhkan tersebut adalah Nuril Hidayati dari Pusat Penelitian Biologi, M. Alie Humaedi dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Ana Hadiana dari Pusat Penelitian Informatika dan, Andika Widya Pramono dari Pusat Penelitian Metalurgi dan Material. Orasi Pengukuhan Profesor Riset disampaikan pada Kamis (14/5) di Jakarta. Secara berurutan ketiganya merupakanProfesor Riset ke 139, 140, 141 dan 142 di LIPI.

Kepala LIPI, Laksana Tri Handoko, mengucapkan selamat dan terimakasih kepada putra-putra terbaik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang telah tekun bekerja mengabdikan dirinya dalam dunia penelitian selama puluhan tahun sepanjang karirnya. Handoko menyebut professor riset mendapatkan tanggung jawab yang jauh lebih besar kepada komunitas riset maupun masyarakat.

Menurut Handoko, professor riset berperan penting dalam meningkatkan daya saing bangsa dalam hal ekonomi, dimana penguasaan IPTEK menjadi salah sat factor penting. “Untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang kuat, mandiri, dan berdaya saing, harus ditunjang dengan penguasaan IPTEK dan kemampuan inovasi yang tinggi.,” ujar Handoko.

Orasi Ilmiah
Penelitian Nuril Hidayati dalam orasi pengukuhan Profesor Riset bidang Botani berjudul “Tanaman Akumulator Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) untuk Fitoremediasi” telah menemukan jenis jenis tanaman akumulator merkuri, timbal, dan kadmium serta konsep fitoremediasi menggunakan tanaman hiperakumulator secara holistik hingga metode untuk meningkatkan kemampuan fitoekstraksi secara terintegrasi. “Teknik fitoremediasi berbasis tanaman hiperakumulator dapat diaplikasikan secara terpadu sesuai dengan lingkungan yang diremediasi untuk memperbesar peluang keberhasilan. Inovasi ini dapat memberikan dampak yang besar terhadap pengelolaan pencemaran lingkungan, ” terang Nuril.

Dalam orasi berjudul “Menggugah Empati, Menarik Simpati: Kekuatan Etnografi Post-Kritis dalam Mendorong Kebijakan Berbasiskan Kebudayaan Lokal”, M. Alie Humaedi menjelaskan orasi ini berada pada dua tataran, yaitu  etnografi post-kritis sebagai tawaran pendekatan baru dan upaya membangun jembatan emas untuk menengahi paradoks kebijakan dan kebudayaan.

Menurut Alie, etnografi post-kiritis berupaya mengangkat perspektif emik berbasiskan kebudayaan lokal di tengah tujuan dan pemahaman etik. “Untuk mengatasi paradoks internal dan eksternal kebudayaan diri atau saat berhadapan dengan kebudayaan luar, pendekatan etnografi post-kritis menekankan pentingnya empati dan simpati dalam proses penelitian dan pendampingan,” ujarnya.

Dalam orasi berjudul “Implementasi Rekayasa Kansei dalam Pengembangan Antarmuka Sistem Informasi E-Learning”, Ana Hadiana mengungkap pentingnya analisis faktor emosional pengguna dalam pengembangan perangkat lunak e-Learning agar mampu mendatangkan manfaat yang signifikan. “Perancangan antarmuka berbasis faktor emosional pengguna dengan menggunakan Rekayasa Kansei berpijak pada paradigma What You See Is What You Desired,” ungkapnya.

Ana menjelaskan, rekayasa Kansei terbukti telah berhasil mengevaluasi dan menentukan sistem informasi e-Learning yang tepat serta mengidentifikasi faktor emosional pengguna yang dapat berpengaruh kuat terhadap elemen desain dalam tampilan antarmuka perangkat lunak sistem informasi e-Learning. “Penerapan rekayasa Kansei perlu dilakukan, khususnya untuk faktor antarmuka sebagai bagian terpenting yang berperan dalam menghubungkan pengguna dengan sistem internal sistem informasi e-Learning,” ujar Ana.

Sementara Andika Widya Pramono melalui orasi “Pengembangan Material Superkonduktor dan Biokompatibel untuk Meningkatkan Kemandirian Alat Kesehatan MRI dan Implan Tulang di Indonesia” menyatakan riset dan pengembangan material untuk aplikasi Magnetic Resonance Imaging dan implan tulang perlu dilakukan di Indonesia. “Hal ini untuk meningkatkan penguasaan teknologi manufak­tur pada kedua alat kesehatan tersebut mengingat alat MRI di Indonesia sepenuhnya masih impor,” terang Andika. Saat ini, mahalnya alat MRI menjadikan rumah sakit membebankan tarif tinggi bagi pasien yang didiagnosa menggunakan alat tersebut.

Andika menjelaskan, pengembangan material superkonduktor untuk mendukung kemandirian produksi alat MRI dalam negeri merupakan peluang besar yang dapat dimanfaatkan. “Identifikasi perubahan dan pembentukan fasa pada material superkonduktor dari penelitian LIPI dapat menjadi landasan saintifik dalam mengembangkan kawat superkonduktor MRI dengan kestabilan termal yang lebih baik dibandingkan yang sudah ada di pasaran,” tutupnya.(sur)