Selain sektor kesehatan, pandemi Covid 19 berdampak terhadap sektor ekonomi khususnya keberlangsungan pekerjaan dan pendapatan. Data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 mencatat sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan terkena Pemutusan Hubungan Kerja. Hal ini terjadi karena sejumlah perusahaan mengalami penurunan produksi bahkan berhenti berproduksi.

“Ini semua akan berdampak secara masif terhadap permasalahan ekonomi Indonesia, selain itu juga pada persoalan yang terkait dengan kemiskinan,”, ungkap Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoensia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti pada Kamis (20/5) di Jakarta.

Nuke menjelaskan, beradaptasi dengan Covid-19, bukan berarti mengabaikan salah satunya, baik protokol kesehatan atau ekonomi. “Keduanya penting agar menjadikan kekuatan Indonesia agar tetap terjaga,” jelasnya.

Untuk mengetahui dampak pandemi Covid 19 terhadap tenaga kerja, LIPI bersama Badan Litbang Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melakukan survei online.

Survei dilakukan selama periode 24 April sampai 2 Mei 2020 terhadap penduduk usia 15 tahun keatas, dengan jumlah responden yang terjaring sebanyak 2.160 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. “Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi riset yang dipresentasikan secara terbuka sebagai, pertanggung jawaban terhadap publik, karena publik yang menjadi bagian penting dalam mengisi kuisioner ini, ” kata Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara.

Hasil survei
Dari sisi pekerja, terjadinya gelombang PHK tenaga kerja dan penurunan pendapatan sebagai akibat terganggunya kegiatan usaha pada sebagian besar sektor. Sebanyak 15,6% pekerja mengalami PHK dan 40% pekerja mengalami penurunan pendapatan, diantaranya sebanyak 7% pendapatan buruh turun sampai 50%. “Kondisi ini berpengaruh pada kelangsungan hidup pekerja serta keluarganya,” jelas Ngadi dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.

Dirinya menjelaskan, dari sisi pengusaha, pandemi Covid 19 menyebabkan terhentinya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha. “Hasil survei mencatat 39,4 persen usaha terhenti, dan 57,1 persen usaha mengalami penurunan produksi. Hanya 3,5 persen yang tidak terdampak,” jelas Ngadi.

Kemampuan bertahan oleh di kalangan dunia usaha juga mengalami keterbatasan. Sebanyak 41% pengusaha hanya dapat bertahan kurang dari tiga bulan. Artinya pada bulan Agustus usaha mereka akan terhenti. Sebanyak 24% pengusaha mampu bertahan selama 3-6 bulan, 11% mampu bertahan selama 6-12 bulan ke depan, dan 24% mampu bertahan lebih dari 12 bulan.

Sementara dampak Covid 19 pada usaha mandiri membuat usaha menjadi terhenti dan sebagian mengalami penurunan produksi. Sebanyak 40% usaha mandiri terhenti kegiatan usahanya, dan 52% mengalami penurunan kegiatan produksi. “Hal ini berdampak  35 persen usaha mandiri tanpa pendapatan dan 28 persen pendapatan menurun hingga 50 persen,” paparnya.

Dampak Covid 19 juga berdampak pada pekerja bebas sektor pertanian dan non-pertanian atau pekerja “serabutan” yang bekerja jika ada permintaan bekerja. Hasil survei menunjukkan sebanyak 55% pekerja bebas pertanian dan non-pertanian tidak ada pekerjaan, dan 38% order berkurang. Dilihat dari pendapatan, sebanyak 58% pekerja bebas tidak memiliki pendapatan selama masa pandemi Covid 19 dan 28% pendapatan berkurang  sampai 30%.

Ngadi mengungkapkan, dari hasil survei tersebut dapat diprediksi 10 juta pengusaha mandiri akan berhenti bekerja dan 10 juta lainnya pendapatan menurun lebih dari 40 persen. “Sebanyak 15 juta pekerja bebas atau pekerja keluarga akan menganggur,” ungkapnya. 

Dalam dua hingga tiga bulan ke depan, pengangguran bertambah 25 juta orang, terdiri dari 10 juta pekerja mandiri dan 15 juta  pekerja bebas. “Angka kemiskinan akibat adanya penurunan upah dan tanpa pendapatan diperkirakan akan mencapai 17,5 juta rumah tangga dengan asumsi Garis Kemiskinan adalah 440 ribu per kapita per bulan,” ujarnya.

Rekomendasi
Untuk sisi pekerja, tim surve merekomendasikan berbagai kebijakan dari pemerintah seperti Bantuan Sosial dan Kartu Pra Kerja harus dipastikan agar sampai kepada pengangguran dan orang yang mengalami penurunan pendapatan. Selain itu keselamatan jiwa tetap harus diutamakan hingga pandemi ini dapat berakhir meski roda ekonomi di beberapa sektor dapat dihidupkan kembali. “Dalam jangka penjang WFH masih bisa terus diberlakukan terutama sebelum pandemi Covid-19 berakhir,” ujar Ngadi.

Sementara untuk pelaku usaha, Nawawi dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menjelaskan perlu penguatan terhadap kinerja pengawasan aturan ketenagakerjaan di tingkat daerah untuk menjamin efektifitas pemberian insentif keuangan yang diberikan pemerintah kepada perusahaan. “Selain itu perlu stimulus ekonomi melalui optimalisasi peran BUMN sebagai back-up role,” terangnya.

Dirinya juga menekankan pentingnya pengarusutamaan dialog sosial sebagai solusi menjembatani antara pemenuhan hak yang melekat pada pekerja khususnya di daerah kawasan industri. “Jika dipilih opsi relaksasi PSBB, harus dilakukan secara bertahap dan selektif, dengan pengutamaan protokol kesehahan,” tutupnya. (swa/ed: fz)

Sumber : Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI

Sivitas Terkait : Dr. Tri Nuke Pudjiastuti M.A.