Jakarta – Humas BRIN. “Kehadiran lembaga riset independen adalah aset bagi nasional. Peneliti-peneliti bergerak tidak hanya pada diseminasi dari sebuah pengetahuan kepada pemangku kebijakan, tetapi menghasilkan pengetahuan,” tutur Peneliti Pusat Riset Ekonomi-BRIN, Trina Fizzanty. Hal itu disampaikannya dalam webinar Seminar Iklim Riset dan Produksi Pengetahuan Indonesia, pada Rabu (23/03) lalu.

Trina mengutarakan bahwa peneliti BRIN memiliki cukup banyak data dan potensi atau peluang dalam kerja sama ke depan. Menurutnya, hasil dari peneliti bisa lebih memperdalam dan memberikan bukti yang lebih solid kepada para pemangku kebijakan. “Peneliti sifatnya melengkapi kompetensi yang ada di knowlegde produsen. Kami secara bersama lebih banyak fokus kepada menghasilkan pengetahuan dan menjawab isu-isu strategis nasional,” ucapnya.

Lebih lanjut Trina menjelaskan, bahwa proses yang dibangun melalui Rumah Program (RP) di Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (IPSH) menghasilkan pengetahuan yang mendalam dan solid. Hal itu menurutnya, membuat pengambil kebijakan cukup percaya diri dengan apa yang dihasilkan periset. 

Desain Rumah Program IPSH

“Dalam desain yang dibangun RP IPSH ada dua, antara lain RP keindonesiaan dan RP Dinamika Kontemporer. “Desain ini bersifat terbuka. Artinya pendanaan yang ada tidak hanya diakses untuk pelaku iptek yang ada di BRIN, tetapi bisa juga untuk Perguruan Tinggi dan lembaga riset yang independent, tentunya tetap dalam kerangka kolaborasi,” ungkapnya.

Trina menegaskan, BRIN mendorong peraturan pemerintah terkait sumber daya Iptek seperti akses pendanaan dan infrastruktur yang ada di lembaga-lembaga riset terbuka. “Tidak hanya bagi pelaku riset atau pelaku iptek pemerintah, tetapi dapat diakses juga oleh pelaku riset lainnya seperti LRI dan swasta,” jelasnya.

Pemerintah juga mengatur tentang mobilitas sumber daya manusia. Hal ini, menurutnya, tidak hanya mobiltas antara lembaga riset yang ada di pemerintah, tetapi juga pemerintah, swasta, bahkan dengan LRI. “Ada hal lain yang masih perlu kita perkuat,” tegasnya.

Trina mengatakan, Independensi dan produksi pengetahuan sebenarnya sudah menyatu. “Rumah Program mendesain dua struktur di dalamnya yaitu: Pertama, menjaga apa yang kita hasilkan itu betul-betul sesuai dengan metode yang valid atau bisa menjawab berbagai pertanyaan penelitian. Kedua, memanfaatkan betul-betul para pakar di dalam berbagai disiplin keilmuan untuk bisa membantu mereview ide-ide risetnya,” rincinya. 

Idenpendensi adalah kunci untuk bisa menghasilkan sebuah pengetahuan yang kredibel, untuk bisa memberikan pengetahuan atau bukti yang juga kredibel bagi pemangku kebijakan. “Jadi apa yang kita lakukan melalui kolaborasi seharusnya bisa ke arah membangun independensi tersebut. Tetapi yang lebih penting lagi adalah kita juga menguatkan kapabiltas bagi pelaku iptek. Ini juga menjadi pekerjaan rumah kita bersama, sehingga independensi dan kapabiltas itu adalah dua hal yang harus saling kita perkuat,” paparnya.

Adakalanya, tutur Trina, masyarakat atau lembaga non riset mengkhawatirkan terkait metode yang digunakan dalam penelitian. Menurutnya, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena penelitian yang dibangun melalui proses manajemen kualitas sebuah produksi knowlegde. “Rumah Program, sudah bagian dari proses bisnis. Jadi para peneliti yang akan melakukan riset itu harus melalui proses kliren etik lebih dulu,” ungkapnya. Dirinya juga menyampaikan, memastikan etik itu dijaga sebagai sebuah profesi. “Majelis etik itu ada di organisasi profesi. Maka, para peneliti dapat bergabung di dalamnya,” pungkas Trina. (suhe/ed: drs)