Jakarta – Humas BRIN. Bahasa memiliki peran penting dalam budaya manusia, karena ia dapat menunjukkan pola hubungan, dan karakter suatu komunitas. Diekspresikan dalam berbagai bentuk, termasuk bahasa isyarat, adalah bahasa komunikasi tuli. Kemudian fungsi bahasa, sebagai alat ekspresi diri, alat komunikasi, alat integrasi dan adaptasi sosial, serta alat kontrol sosial.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Bahasa, Sastra dan Komunitas, melaksanakan webinar tentang Hak-Hak Kebahasaan Penyandang Disabilitas. Webinar ini merupakan salah satu program dari Kelompok Riset, terbagi dalam beberapa peminatan, tergabung dalam Kelompok Riset Bahasa, Sastra dan Komunitas. Memiliki program terkait riset berskala internasional, dan global. Isu kebahasaan dan kesastraan di masyarakat, salah satu nya tentang komunitas disabilitas.
Tema webinar sebagai implementasi UU no. 8 tahun 2016, berkaitan erat dengan pemenuhan hak kebahasaan penyandang disabilitas, pada bidang layanan publik. Keadilan dan perlindungan hukum, Pendidikan, keagamaan, kebudayaan, serta pariwisata. “Dengan kehadiran UU tersebut dapat memberikan harapan bagi perlindungan hak-hak hukum penyandang disabilitas,” kata Ade Mulyanah, Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra dan Komunitas BRIN, saat membuka webinar, di Jakarta (25/04).
Secara kepemerintahan, Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, dan mempunyai kedudukan hukum yang sama. Mereka bagian yang tidak terpisahkan, sebagai warga negara. “Semoga webinar ini memberikan ide-ide segar untuk riset, memberikan kontribusi, dan kebermanfaatan untuk masyarakat Indonesia,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, peneliti BRIN Tri Nuke Pudjiastuti, dan menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST UNESCO menyampaikan, mandat yang diberikan kepada komite untuk ikut serta berperan aktif, mengarusutamakan isu penyandang disabilitas. Tentunya dari perspektif riset, karena riset menjadi bagian yang termarjinalkan, belum mendapatkan perhatian.
“Tugas kami, mengusulkan riset masuk menjadi program nasional. Kami merasa bahwa kekuatan bersama, sinergi dan kolaborasi, adalah kekuatan besar untuk terjadinya sebuah perubahan,” ungkap wanita yang akrab dipanggil Nuke.
Dalam waktu dekat, tgl. 29 Juni 2022, MOST UNESCO akan menyelenggarakan konferensi nasional disabilitas. Akan hadir 11 lembaga anggota, berperan aktif untuk membahas detail dari riset-riset ke depan, dan akan menjadi roadmap nasional tahun 2023-2029.
Namun demikian, ungkap Nuke, MOST UNESCO juga menyadari perlu ada pemahaman, dan akses baik bagi para periset, terkait dengan pendanaan riset. Akan menjadi bagian dari pra konferensi, dengan harapan akan memberi pengaruh besar bagi semuanya.
Tahun 2011, Indonesia mempunyai komitmen global, dengan ikut meratifikasi tentang konvensi hak-hak penyandang disabilitas, dan tahun 2018 baru muncul UU nya. Komitmen global ini mencerminkan, bahwa ada upaya pemajuan hak asasi manusia, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. “Dari perspektif riset, harus diberikan pada pendekatan interseksionalitas. Penyandang disabilitas mempunyai hak, dan akses yang sama dalam sektor pembangunan,” katanya.
Target prioritas pada Sustainable Develompment Goals (SDGs), adalah 9 target awal sebagai bagian yang harus dipenuhi. Harus berspektif disabilitas tentang kesehatan, edukasi, gender, pekerjaan, inovasi, hak-hak sipil, partnership, dll. Pada bulan September 2015, Sidang Umum mengadopsi agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan, mencakup 17 goals di SDGs.
“Membangun prinsip Tidak Meninggalkan Siapapun, sebagai agenda baru. Menekankan pada pendekatan holistik, dalam mencapai keberlanjutan untuk semua,” pungkas Nuke. Terdapat berbagai jenis penyandang disabilitas yaitu: fisik, intelektual, mental, sensorik, dan ganda/multi. Tahun 2019, jenis penyandang disabilitas di Indonesia, 9,7% jenis disabilitas tertinggi, antara lain: penglihatan (sensorik), berjalan (fisik), dan berkonsentrasi (mental). Selain itu, terdapat individu yang memiliki 2, atau lebih disabilitas. (ns)