Jakarta – Humas BRIN. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan beribadat menurut agama dan keyakinannya. Artinya, Indonesia melindungi semua agama, dan melayani segenap pemeluk, sebagai bagian dari warga negara yang wajib dipenuhi hak-haknya. Hal tersebut dipaparkan oleh Arnis Rachmadhani, Peneliti dari Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), pada Webinar Taklim Reboan Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, di Jakarta, Rabu (27/04).

Mengusung tema Mengenal Agama Baha’i di Indonesia, Arnis menyampaikan, penjelasan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965, menyebutkan 6 agama yang dipeluk oleh warga Indonesia, antara lain: Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Berdasarkan penjelasan tersebut, bukan berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Selain ke 6 agama resmi, agama atau kepercayaan lain tetap memperoleh jaminan penuh, selama tidak melanggar hukum.

“Agama Baha’i, merupakan salah satu agama yang tumbuh dan berkembang di dunia. Kata Baha’i berasal dari Bahasa Arab, Baha’iyyah. Baha’ berarti kemuliaan dan i berarti pengikut. Agama Baha’i lahir di Persia sekarang Iran, pada tanggal 23 Mei 1844 oleh Mirza Husein Ali Muhammad,” lanjutnya.

Mirza Husein Ali Muhammad, mengaku sebagai Nabi pada tanggal 21 April 1863, setelah mengaku dimasuki ruh oleh Tuhan. Garis penerus yang dikenal sebagai Perjanjian Baha’ullah, yaitu Abdul Baha’ putera dari Mirza Husein Ali Muhammad. Dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Shoghi Effendi, dan penerus terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia, sesuai perintah dari Baha’ullah.

Lebih lanjut Anis mengatakan, perkembangan ajaran agama Baha’i pada awal abad ke-21, pengikutnya mencapai sekitar 6 juta orang, tersebar di 200 negara di seluruh dunia. Agama Baha’i dibawa ke Indonesia oleh Jamal Effendi dan Mustafa Rumi, sebagai pedagang. Mereka melakukan perjalanan kelliling India, Burma, Singapura, dan Indonesia.

Tahun 1878 mereka tiba di Batavia, kemudian berkunjung ke Surabaya dan Bali. Dari Bali mereka menuju Kota Makassar, dan sejak saat itu agama Baha’i tersebar di beberapa daerah di Indonesia. “Baha’i tidak memiliki pemimpin agama, dibentuklah Majelis Rohani di tiap daerah. Masyarakat yang berumur di bawah 21 tahun, tidak memperoleh hak untuk memilih dan dipilih sebagai pengurus Majelis Rohani,” tutur Arnis.

Menurut Rina Tjua, dari Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, orang-orang Baha’i adalah para pengikut Baha’ullah, tersebar di 191 negara, dan 46 negara teritorial. Bertujuan membawa misi ilahiah untuk persatuan umat manusia. Baha’ullah sebagai pendidik Ilahi bagi umat manusia, dan sabda-sabda sucinya telah diterjemahkan ke dalam 802 bahasa. “Rumah ibadah Baha’i yaitu Mashriqul-Adhkar atau tempat terbit pujian kepada Tuhan. Tempat ini digunakan untuk berdoa, meditasi dan melantunkan ayat-ayat suci Baha’i dan agama-agama lain,” tuturnya. (sit/ns)