Jakarta – Humas BRIN. Esensi keberhasilan sebuah kurikulum bukan pada ganti menteri ganti kurikulum, namun pada bekerjanya kurikulum di nurani, pikiran, dan raga guru. Hal ini ditandai dengan terjadinya dan dirasakannya praktek terbaik pembelajaran dan penilaian yang efektif dan bermakna.

Demikian, dikatakan Koordinator Program Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Deni Hadiana, dalam webinar Tadarus Pendidikan, Senin (25/04). Tadarus Pendidikan ini merupakan seri pertama webinar, yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Pendidikan BRIN, dengan mengangkat tema Kurikulum Merdeka, Esensi, Hakiki, dan Implentasi.

Lebih lanjut ditegaskannya, guru dengan pertolongan pihak relevan mentransformasi dari pelaksana kurikulum, menjadi pengembang sekaligus pelaksana kurikulum. “Ganti murid ganti kurikulum, bukan ganti menteri ganti kurikulum,” tegas Deni.

Sejatinya semua kurikulum dibangun, berdasarkan tujuan pendidikan nasional yang sama. Sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Nasional. Bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik, menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Baik Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, maupun Kurikulum Merdeka, esensinya memiliki tujuan yang sama, sesuai tujuan pendidikan. Kurikulum Merdeka, merupakan keberlanjutan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hanya yang membedakan, Kurikulum Merdeka itu lebih jelas, profil siswa yang ingin dibangun, disebut Profil Pelajar Pancasila,” kata Deni.

Dalam sistem pendidikan, hubungan antara kurikulum, pembelajaran, dan penilaian sangat kuat. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan, dikembangkan dengan prinsip diversifikasi.  Sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Sementara hakikat dari pembelajaran, adalah ikhtiar menggerakkan hati (heart), tangan (hand), dan kepala (head), dari murid menjadi semakin baik.

Posisi penilaian, jelas Deni, seperti peta yang terus memproduksi informasi. Baik sebelum pembelajaran, saat pembelajaran, maupun ketika anak sampai pada beberapa terminal destinasi pembelajaran.

Hal senada, juga disampaikan Plt. Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kemendikbudristek Zulfikri Anas, yang membenarkan ganti anak ganti kurikulum. Anak yang kita temui hari ini, lanjutnya lagi, bukan anak yang kita temui dua menit yang lalu. Karena, sudah terjadi perubahan cara berpikir.

“Artinya apa yang akan terjadi jika anak merubah cara berpikirnya, sementara kita masih setia dengan materi kurikulum yang lama. Akhirnya mereka terbelenggu langkahnya, hanya karena kesetiaan kita pada kurikulum yang kita buat,” imbuh Zulfikri.

Menurutnya, pendidikan itu pada intinya untuk memerdekan manusia, dari segala bentuk kebodohan, dan semua perilaku buruk manusia. Bagaimana kita bisa memerdekakan manusia, jika dalam proses pelaksanaannya guru terbelenggu, murid juga terbelenggu. Oleh sebab itu, saatnya kita merubah kultur pembelajaran.

“Fokusnya bukan kepada perubahan kurikulum, tetapi bagaimana merubah budaya belajar. Dulu konsisten dengan materi, sekarang kita alihkan kepada kemampuan anak,” tutur Zulfikri. Tidak ada manusia yang tidak mempunyai kompetensi, karena Tuhan tidak mengenal produk gagal. Semua mempunyai keistimewaan. Fungsi kita adalah membantu anak, untuk mengenali pontensi dirinya, agar berkembang sesuai dengan kodratnya. (arial/ed: ns)