Jakarta – Humas BRIN. Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), apabila dilihat dari namanya, ada riset arkeologi, bahasa sastra, khazanah keagamaan dan peradaban, dan lain-lain. OR ini terdiri dari berbagai entitas riset besar, seperti Arkenas, Khazanah, dan Badan Bahasa. Semuanya berkumpul dalam satu OR, yang dibagi ke dalam tujuh Pusat Riset (PR). Penjelasan tersebut disampaikan oleh Plt. Kepala OR Arbastra BRIN Herry Yogaswara, pada Bincang Khazanah #1 tentang Relasi Agama dan Peradaban, di Jakarta, Kamis, (28/04).

“Kalau kita ingin melihat benang merah dari tiga entitas besar ini, kita sedang membicarakan sebuah landscape, yang disebut tangible and intangible culture. Para peneliti BRIN di bidang arkeologi banyak berbicara budaya tangible. Peneliti di bidang Khazanah Keagamaan dan Peradaban, PR Bahasa dan Sastra, akan berbicara tentang intangible culture,” lanjutnya.

Peneliti OR Arbastra BRIN Abd. Kadir Massoweang memaparkan hasil penelitiannya. “Apabila berbicara tentang tema Relasi Agama dan Peradaban, saya sedikit menyinggung tentang pengertian agama dan peradaban,” ujarnya membuka diskusi. “Dalam agama ada tiga istilah yang sering digunakan para pakar, yaitu agama, religi, dan din. Pengertian dari 3 istilah tersebut sangat beragam,” tambahnya.

Pertama, keyakinan akan adanya suatu kekuatan supranatural yang mengatur, dan menciptakan alam, atau keimanan (akidah). Kedua, tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan supranatural tersebut, sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya (ritual, ibadah). Ketiga, sistem nilai yang mengatur hubungan manusia lainnya, atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinan tersebut.

Selanjutnya, Kadir mengatakan, Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 (UU PNPS) tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menyebutkan 6 agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, pemeluk Islam 87,21%, Kristen 6,96%, Katolik 7,91%, Hindu 1,69%, Buddha 0,72%, Konghucu 0,05%, dan lainnya 0,50%.

“Pengertian peradaban di kalangan akademisi, sering digunakan sebagai istilah lain dari kebudayaan. Peradaban secara umum, adalah bagian dari kebudayaan. Para ahli membedakan antara kebudayaan, (cultur) dengan peradaban (civilization). Peradaban merupakan aspek khusus, dari kebudayaan yang lebih maju. Masyarakat yang maju dalam kebudayaan tertentu, memiliki peradaban yang tinggi,” ungkapnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, masyarakat Indonesia terutama di Kawasan Timur Indonesia, memiliki 2 modal sosial, yaitu keberagaman, dan keberagamaan. Modal sosial keberagaman dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kebersamaan, dan menjadi warisan budaya sebagai kearifan lokal.

“Modal sosial keberagamaan, adalah bentuk pengalaman nilai-nilai agama yang eksis dalam kehidupan masyarakat. Hal itu disebabkan, semua agama pada dasarnya mengajarkan sikap moderat. menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, dan perdamaian,” tambah Kadir.

Agama berbeda dengan kebudayaan. Agama merupakan segala sesuatu yang didapat, atau bersumber dari Tuhan. Kebudayaan, adalah segala sesuatu yang diciptakan, atau produk manusia. Meskipun berbeda, agama dan kebudayaan, sangat berkaitan dan memiliki relasi yang kuat. “Agama senantiasa sejalan dengan budaya. Agama menyebarkan ajarannya melalui budaya, dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya,” pungkasnya. (ns/ ed: drs)