Jakarta – Humas BRIN. Perdagangan adalah proses tukar menukar barang dan jasa, dari satu pihak ke pihak lain. Bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, dalam memenuhi kebutuhan bersama. Umumnya, barang yang diperdagangkan dapat berupa produk hasil bumi, tambang, maupun teknologi.

Hal tersebut disampaikan oleh Erlin Novita Idje Djami, Peneliti PR Arkeologi, Prasejarah dan Sejarah-Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, Sastra, dan Agama-Badan Riset dan Inovasi Nasional (OR Arbastra-BRIN). Pada Forum Kebhinekaan PR Arkeologi, Prasejarah dan Sejarah, mengusung tema: Barter Pasar dan Perdagangan Jarak Jauh, di Jakarta, Rabu (27/04).

“Dalam membahas perdagangan masa prasejarah di Papua, saya akan menggunakan istilah pertukaran (exchange) daripada perdagangan (trade). Pertukaran di sini pada konteks kehadiran penutur Austronesia, yang telah banyak meninggalkan jejak artefak, pada situs arkeologi di wilayah Papua,” tambah Erlin.

Pertukaran pada masyarakat Papua, jelas Erlin, umumnya terjadi antara kelompok suku yang telah memiliki perjanjian, misalnya pertukaran antara suku Kamoro dari pesisir selatan, dengan orang Kapauku atau suku Mee di pedalamaan. Suku Kamoro membawa hasil laut, seperti: ikan, garam, dan kerang, untuk ditukarkan dengan hasil kebun, noken, dan tembakau dari suku Mee.

“Pertukaran ini dilakukan di tempat yang sudah disepakati bersama, dalam bahasa Kamoro disebut Aikwa. Pada pertemuan tersebut, tidak ada tegur sapa antara penjual dan pembeli, namun dengan isyarat untuk menyepakati transaksi”, tuturnya.

Lebih lanjut Erli memaparkan, berdasarkan data historis, pertukaran di Papua sudah ada sejak tahun 724 M hingga Abad ke 19, dengan kedatangan orang-orang Eropa. Duta raja Sri Indrawarman dari Sriwijaya, membawa burung Cendrawasih sebagai komoditas Papua, untuk dipersembahkan kepada Kaisar Tiongkok.

“Pada masa jaya Sriwijaya, Papua disebut Janggi. Sejak saat itu, pertukaran di wilayah Papua menjadi lebih semarak, dengan kehadiran keramik-keramik Cina, manik-manik kaca indopasifik, kain Timor, dan lain-lain,” bebernya.

Pada sesi berikutnya, Titi Surti Nastiti Peneliti PR Arkeologi, Prasejarah dan Sejarah BRIN, mempresentasikan hasil penelitiannya, tentang Pasar: Kegiatan Ekonomi dan Sosial Masyarakat Jawa Kuna. Menurutnya, kegiatan ekonomi merupakan salah satu adaptasi manusia, terhadap lingkungan. Sejak masa prasejarah, manusia telah menyelenggarakan kegiatan, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

“Timbulnya pasar, tidak lepas dari kebutuhan ekonomi masyarakat setempat. Kelebihan produksi setelah kebutuhan sendiri terpenuhi, memerlukan tempat pengaliran untuk dijual. Pemenuhan kebutuhan akan barang-barang, memerlukan tempat yang praktis untuk mendapatkannya. Baik untuk menukar, atau membeli. Adanya kebutuhan inilah, mendorong munculnya tempat yang disebut pasar,” tambahnya.

Menurut Titi, dalam prasasti masa Jawa Kuna, sistem pemukiman menggunakan pola perkembangan pedesaan. Bermula dari satu desa induk, dikelilingi oleh empat atau delapan anak desa, yang terletak pada empat atau delapan penjuru mata angin. Penerapan konsep ini, bertujuan untuk mengatur rotasi hari-hari pasar.

“Ada juga pola dengan mengatur rotasi hari-hari pasar pada desa-desa tertentu, misalnya pada hari Kaliwuan, pasar diadakan di desa induk. Hari Wagai, pasar diadakan di desa sebelah utara, dan sebagainya. Pasar Kaliwuan dianggap sebagai pusat, dan tentunya mempunyai pendapatan yang lebih besar,” kata Titi, pada akhir presentasinya. (ns)