Jakarta – Humas BRIN. Berdasarkan catatan sejarah, pemberontakan di Aceh dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), 4 Desember 1976 dipelopori Hasan Tiro. Hal ini sebagai kristalisasi dari pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1953-1962, oleh Tengku Daud Beureuh.

Penyebabnya, akibat dari pembubaran Provinsi Aceh, dan menggabungkannya dengan provinsi Utara, 23 Januari 1951. Hal tersebut disampaikan oleh Peneliti Medri Osno, dengan judul Kearifan Lokal dalam MoU Helsinki Solusi Damai Penyelesaian Konflik di Aceh, pada Sharing Session Pusat Riset Kewilayahan (PRW) BRIN, di Jakarta, Kamis (12/05).

Timbulnya kekecewaan orang Aceh karena tidak diberlakukannya syariat Islam, dan tidak dapat menjalankan adat istiadat Aceh. Sebelumnya, Presiden Soekarno sudah berjanji kepada orang Aceh, untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, sesuai dengan kultur mereka. “Konsep nilai filosofis kearifan lokal, membentuk prototipe watak orang Aceh. Berpegang teguh pada adat dan reusam, berlandaskan hukum Islam,” jelas Medri.

Lebih jauh Medri memaparkan, ada beberapa faktor penyebab lahirnya GAM, yaitu belum diterapkannya secara serius kearifan lokal sebagai hak istimewa Aceh. “Lemahnya ekonomi dan pendidikan rakyat Aceh, dikeruknya sumber daya alam Aceh. Kemudian, pembagian hasil sumber daya alam, yang tidak proporsional antara pusat dan daerah”, lanjutnya.

“Untuk meredam pemberontakan GAM, pada masa Orde Baru (1989-1995), dilakukan pendekatan militer, yang kita kenal dengan Daerah Operasi Militer (DOM). Orde Baru bubar, dilanjutkan dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui pendekatan secara kemanusiaan, yaitu jeda kemanusiaan I dan II,” ungkapnya.

Selanjutnya Medi memaparkan, pasca lengsernya Gus Dur, digantikan oleh Presiden Megawati, kebijakanpun berubah, Melalui Kepres Nomor 28 Tahun 2003, dilakukan pendekatan militer, dengan operasi terpadu. “Saat pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, berganti kebijakan melalui jalur politik, dengan penandatanganan MoU Helsinki. MoU ini merupakan inisiatif dari sebuah LSM, dipimpin oleh mantan presiden Finlandia,” kata Medri.

Tidak lebih dari 1 tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki, Pemerintah Indonesia menyetujui pembentukan partai politik di Aceh. “Dengan berlakunya MoU Helsinki ini, berdasarkan kearifan lokal, maka berlakulah partai politik lokal di Aceh. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007, disahkan tanggal 16 Maret 2007. Saat ini ada 17 partai lokal Aceh, yang akan ikut bertanding pada pemilu 2024 mendatang,” pungkasnya. (ftl/ed: ns)