Jakarta – Humas BRIN. Salah satu pertanyaan yang biasanya muncul di benak para paleontologist, yaitu seperti apa lingkungan yang dihuni oleh manusia purba, pada jutaan tahun yang lalu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus merekonstruksi lingkungannya dengan melihat jenis hewan dan tumbuhan yang ditemukan.

Demikian paparan yang disampaikan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Mika Rizki Puspaningrum, pada Lecture Series Episode #1, Rabu (18/05) secara daring. Webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Arkeometri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengangkat tema Jejak Isotop Stabil pada Sisa Vertebrata sebagai Petunjuk Pola Hidup Manusia Purba dan Lingkungannya.

Penemu fosil gigi dan rahang pertama manusia purba ini menjelaskan, ada banyak pendekatan yang sudah dilakukan. Salah satunya dengan melihat jenis hewan, dan tumbuhan yang biasanya ditemukan, bersama dengan temuan manusia purba. “Dari jenis hewan dan tumbuhan, fosil-fosilnya direkonstruksi, bagaimana asosiasi lingkungan masa lalunya. Dengan adanya teman-teman manusia purba itu, yaitu hewan dan tumbuhan di sekitarnya, kita bisa mendapatkan gambaran secara umum tentang lingkungan manusia purba,” jelas Mika.

Namun, hal tersebut belum bisa menjawab, apabila kita ingin mempejari secara kontekstual yang lebih detail. Misalnya jenis makanan yang dimakan, termasuk kondisi air, iklim, dan peran manusia purba di lingkungannya. “Apabila kita ingin mempelajari secara kontekstual, yang lebih detail tentang jenis makanan, kondisi air, iklim, dan peran manusia purba, kita belum bisa menjawab hanya dengan merekonstruksi lingkungan, berdasarkan asosiasi fauna dan floranya saja,” ungkap Mika.

Dia menyebutkan, dibutuhkan pendekatan-pendekatan lain, salah satunya dengan pendekatan secara kimiawi. “Kita akan membahas mengenai metode isotop stabil. Metode ini cukup baru, sekitar tahun 1960-an, mulai digunakan,” lanjutnya.

Karena isotop stabil ini mempelajari tentang apapun, yang masuk ke tubuh kita. Secara kimiawi akan diserap, dan tersimpan dalam jaringan-jaringan tubuh. Baik halus sampai yang keras, seperti gigi dan tulang. Kandungan kimia yang ada di dalam gigi dan tulang dalam fosil ini, akan menggambarkan apa yang pernah dimakan.

Isotop stabil, lanjut Mika, merupakan beragam unsur dengan jumlah massa atom berbeda, namun tidak bersifat radioaktif. Beberapa unsur ringan secara alamiah terserap oleh makhluk hidup dan menyisakan isotop stabil yang berguna dalam rekonstruksi kehidupan manusia sekaligus kondisi lingkungannya di masa lalu.

“Isotop stabil ringan, yaitu hidrogen (H), carbon (C), nitrogen (N) dan oksigen (O), yang paling sering digunakan untuk rekonstruksi paleoenvironment. Selain harganya murah, isotop tersebut tersedia di Indonesia,” jelasnya lagi.

Mika mengungkapkan, komposisi isotop stabil pada hidrogen jarang dipakai, karena rasio deuteriumnya sangat bervariasi dengan kondisi cuaca. Biasanya digunakan untuk migrasi fauna antar garis lintang atau elevasi ketinggian.

“Pada komposisi isotop stabil karbon, berkaitan dengan fotosintesis. Rasio karbon yang tersimpan pada tumbuhan, ketika dimakan oleh hewan akan diserap dalam jaringan tubuhnya dan mengalami pengayaan,” imbuhnya. Dijelaskan Mika, rasioisotop nitrogen digunakan untuk menentukan tingkatan tropik fauna atau manusia dalam suatu ekosistem. Cocok digunakan untuk rekaman temuan yang menggambarkan satu ekosistem utuh, misalnya gua. “Sedangkan untuk komposisi isotop stabil pada oksigen, sebagai indikator paleoklimat di lingkungan terestrial. Air sangat terpengaruh oleh penguapan dan hujan,” kata Mika. (NS)