Jakarta Humas BRIN. Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menyelenggarakan kegiatan diskusi yang membahas tentang hukum kekayaan intelektual dan teknologi informasi yang dikemas dalam Legal Research Discussion (LDR) Series 2, Jumat (27/05). Untuk seri ke-2 ini memaparkan tema konsep cyber notary di Indonesia di dalam menghadapi peluang dan tantangan.

Kepala Pusat Riset Hukum, Laely Nurhidayah mengatakan, peluang dan tantangan tersebut dari segi pengaruhnya pada perumusan norma dan kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam hal menjamin kepastian hukum dan kemudahan berusaha di Indonesia. Hal tersebut disampaikannya dalam paparan “Pemberdayaan Fungsi dan Peran Notaris dalam Penggunaan Teknologi Informatika untuk Kepastian Hukum dan Kemudahan Berusaha di Indonesia”.

LDR merupakan salah satu misi Pusat Riset Hukum dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum. Upaya ini untuk mendorong dan memberikan perspektif dalam mengedepankan aspek sosial dan etik melalui kajian multidisiplin, normatif, maupun pendekatan sosial terhadap hukum. Hal tersebut untuk pengembangan ilmu hukum dan membangun sistem hukum nasional.

Peneliti Pusat Riset Hukum, Henri Donald L. Toruan, dalam paparannya menyebutkan, lembaga notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan masuknya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Dikatakannya, Jan Pieterzoon sebagai Gubernur Jenderal di Jakarta, menganggap perlu mengangkat seorang notaris untuk keperluan para penduduk dan pedagang yang akhirnya disebut Notarium Publicum. Pada tahun 1860, peraturan mengenai notaris di Indonesia disesuaikan dengan undang-undang yang berlaku di Belanda dengan Staatblad No. 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris (PJN) pada tanggal 26 januari 1860. Baru pada tahun 2004 PJN diganti dengan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Henri mengutarakan, bahwa akta yang dibuat Notaris digolongkan dalam dua macam akta, yaitu akta partai (partij acten) dan akta pejabat (relaas acten). Akta partai adalah suatu akta di mana Notaris hanya memasukkan keterangan atau kehendak para penghadap di dalam akta yang dibuatnya. Notaris tidak bertanggung jawab bila di kemudian hari apa yang diterangkan penghadap ternyata tidak benar. Sedangkan akta pejabat adalah suatu akta yang dibuat Notaris yang biasanya berisi tentang berita acara mengenai suatu kejadian.

Lebih lanjut Henri menyampaikan, kewenangan Notaris ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta. “Semua itu sepanjang pembuatan akta tersebut tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang,” jelasnya.

Dosen Universitas Indonesia, Abdul Salam menjelaskan, menyongsong Industriy 4.0 dan Society 5.0, demi kepercayaan terhadap nilai ekonomi diperlukan kepercayaan hukum. Kepercayaan yang dimaksud adalah Cyber Notary selaku pihak ketiga yang dipercaya serta layanan yang dapat mengeliminasi kemungkinan penipuan dan pemalsuan dalam suatu transaksi elektronik.

Dikatakan Abdul, faktanya sekarang notaris telah melakukan komunikasi secara elektronik. “Cyber Notary bukanlah Disrupsi terhadap Notaris Konvensional melainkan meningkatkan fungsi dan perannya dalam era digital. Sebab, Cyber Notary merupakan bagian penting dari Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional,” terangnya.

Pada kesempatan yang sama, Dosen Universitas Indonesia, Brian Amy Prasetyo, menegaskan bahwa akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. “Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak dengan cara membacakannya,” jelasnya. Sehingga hal itu menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.

Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya. “Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuhi, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan,” tegas Brian.

Autentikasi setidaknya dapat mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi informasi/data itu bohong atau palsu. Itu jika pihak penghadap notaris telah berbohong, sehingga mendapat keterangan palsu yang dimasukan ke dalam akta notaris. Dengan aplikasi E-Notary tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Tetapi dengan adanya rekaman audio video pada proses pembuatan akta, maka pembuktian kebenaran material terhadap isi akta menjadi lebih mudah. 

Lebih lanjut, Brian menjelaskan, jika penghadap menyuruh notaris memasukkan keterangan yang diketahui oleh notaris sebagai keterangan palsu ke dalam akta notaris, aplikasi E-Notary dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini. “Karena ketika notaris dan para penghadap sama-sama direkam secara audio video dalam proses pembuatan akta, maka kepatuhan terhadap hukum diprediksi akan tinggi,” pungkasnya. (suhe/ed: and)