Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Kewilayahan (PRW) mengajak masyarakat mengeksplorasi bentuk-bentuk material dari teknologi film dan media seperti kamera, internet, dan telepon seluler dalam kehidupan sosial kalangan muslim tradisional di Indonesia. Kegiatan ini dikemas dalam Diskusi bertopik “Diinginkan Tapi Berbahaya: Kehidupan Sosial Teknologi Film dan Media di Kalangan Muslim”, Kamis (2/06).

Menurut kalangan muslim tertentu, teknologi berupa gambar tersebut bisa membahayakan keimanan. Lalu seperti apa tingkat bahaya yang dimaksud? Pembahasan itu diulas oleh Peneliti PRW, Ahmad Nuril Huda.

Dalam diskusi, Ahmad mengungkapkan, teknologi merupakan hal yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Kemajuan teknologi modern yang begitu pesat telah memacu munculnya produk-produk teknologi canggih seperti radio, televisi, internet, alat-alat komunikasi dan barang-barang mewah lainnya, serta menawarkan aneka jenis hiburan bagi tiap orang tua, kaum muda, atau anak-anak.

Internet dan telepon seluler, selain menjadi penghubung komunikasi global, juga bermanfaat sebagai media informasi dan hiburan, termasuk sarana pendukung kegiatan pendidikan.

“Namun tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa yang diakibatkan, justru di atas pundak manusia lah terletak semua tanggung jawab,” jelasnya.

Lantas Ahmad mengulas tentang keterlibatan umat islam dalam penggunaan tersebut dalam kehidupan sosial. Ia memberi contoh kalangan muslim tradisional di pondok pesantren Kidang, Jawa Barat.

Pesantren Kidang Jawa Barat yang berdiri sejak pertengahan 1850 merupakan pondok pesantren tradisional yang terus beradaptasi dan menuju arah modern melalui perubahan  kurikulum pendidikan. Perubahan kurikulum ini mengubah perilaku santri di pondok pesantren tersebut. Di mana, santri yang datang dengan segmentasi kalangan menengah, namun tetap mempertahankan aksen tradisional dalam mempererat hubungan dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Pondok pesantren ini mengadakan kegiatan ekstrakulikuler dengan pengembangan pembuatan film. Sisi lain kegiatan ini, adanya norma aturan yang tidak memperbolehkan laki – laki dan perempuan bergabung atau bercampur, namun dengan kegiatan tersebut akhirnya bisa bergabung. Hal tersebut kemudian dijawab oleh ustaz bahwa di dalam penggunaan media teknologi sebagai temuan baru, memperbolehkan imajinasi pendekatan untuk menciptakan praktik-praktik sosial dalam menyampaikan dakwah. Dikatakan, bahwa pendekatan pembaruan masyarakat memiliki waktu yang berbeda-beda untuk berintroduksi.

Islam sangat mendukung kemajuan umatnya untuk melakukan penelitian dan bereksperimen dalam bidang apapun termasuk dalam bidang teknologi. Saat ini masih ditemukan pengamanan dalam pengunaan telepon seluler oleh masyarakat demi alasan keagamaan ketika menggunakan teknologi. Yang menarik dari pesantren tadi, di kehidupan sehari-hari ada hal-hal yang dibatasi dalam penggunaan teknologi, namun dibebaskan belajar bersama seperti pembuatan film. Dengan kondisi globalisasi saat ini, secara cool dan trendi, santri belajar membaur baik laki mapun perempuan.

Ahmad kemudian menjelaskan, ada hubungan khas antara perkembangan teknologi sebagai objek dan manusia sebagai subjek. Pada saatnya, secara bersamaan bisa menjadi objek maupun subjek. Kekuatan cara berpikir di kalangan muslim didasarkan pada Al-Quran. Hal itu dapat dijadikan sebagai inspirasi ilmu dan pengembangan wawasan berpikir, sehingga mampu menciptakan sesuatu yang baru dalam kehidupan. Untuk menemukan hal tersebut, dibutuhkan kemampuan untuk menggali secara lebih mendalam agar potensi alamiah yang diberikan Tuhan dapat memberikan kemaslahatan sepenuhnya bagi keselarasan alam dan manusia. Kebebasan penggunaan teknologi di pondok pesantren Kidang ini menjadi contoh bahwa kekuatan penggunaan teknologi adalah komunikasi, sebagai dasar untuk mengontrol sesuai dengan regulasi dari otoritas. (sur/ed: and)