Jakarta – Humas BRIN. Peningkatan kesejahteraan adalah merupakan hak setiap warga negara Indonesia tak terkecuali para penyandang disabilitas. Mereka berhak hidup secara mandiri dengan alat bantu digunakan untuk mobilitas pribadi dan memudahkan akses.
“Oleh karena itu, pemberian alat bantu bagi penyandang disabilitas adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara,” kata Tri Nuke Pudjiastuti, Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program MOST-UNESCO. Keterangan tersebut disampaikannya saat membuka webinar Prakonferensi II MOST-UNESCO yang membahas “Pengembangan Riset Teknologi Alat Bantu bagi Disabilitas”, Jumat (17/6).
Hal itu ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Perlindungan dan jaminan hak asasi tidak hanya perlu bagi warga negara yang normal tetapi juga bagi penyandang disabilitas.
Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), lanjut Nuke, mengindikasikan bahwa disabilitas bukan merupakan suatu hambatan bagi orang yang memiliki kelainan fisik untuk melakukan berbagai aktivitas seperti layaknya orang normal. Mereka berhak melakukan aktivitas secara penuh dan efektif dalam upaya berpartisipasi dalam pembangunan. “Hanya saja mereka memiliki cara yang berbeda dalam melakukan aktivitasnya,” jelas Nuke.
Sayangnya, masih banyak dari teman-teman penyandang disabilitas mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang setara dengan masyarakat lainnya. Dalam kenyataan, banyak penyandang disabilitas mengalami kesulitan mendapatkan pemenuhan haknya. Misalnya dalam hal pendidikan, pekerjaan, falisitas publik, seperti transportasi, tempat ibadah, tempat hiburan, serta dan persamaan kedudukan di muka hukum. “Karena alat bantu yang dipakainya atau alat bantu publik tidak memenuhi kebutuhannya,” jelas Nuke lagi.
Meskipun demikian, kita juga perlu mengapresiasi apa yang telah dilakukan dan dikoordinasikan oleh Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan alat bantu untuk penyandang disabilitas. Namun, masih terjadi gap yang cukup tinggi antara kebutuhan dengan penyediaan alat bantu yang disebabkan oleh keterbatasan biaya dalam pengadaan; dan provider/ penyedia alat bantu sangat terbatas jumlahnya dan belum tersebar merata di seluruh Indonesia.
“Untuk itu, diperlukan terobosan pengembangan teknologi alat bantu yang dibuat di dalam negeri dengan didukung kebijakan yang inklusif dalam pengadaannya, mengingat riset teknologi tidak bisa mencapai hilirisasi, ketika pasarnya tertentu dan tinggi biayanya,” ungkap Nuke.
Kepala Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial, Kemensos, Eva Rahmi Kasim menegaskan bahwa Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang sifatnya permanen. Karena adanya keterbatasan tersebut, mengakibatkan penyandang disabilitas mengalami hambatan dan kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Hambatan dalam mobilitas, melihat, berkomunikasi, dan berbagai hambatan lainnya.
“Hambatan-hambatan ini bisa diatasi kalau kita membantu dengan penyediaan alat bantu,” sambung Eva. Maka pada kesempatan ini, ia ingin membahasnya dengan paparan yang berjudul Pemenuhan Alat Bantu bagi Penyandang Disabilitas.
Eva menjelaskan bahwa menurut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial tahun 2020, diperkirakan populasi penyandang disabilitas Indonesia mencapai 22,97 juta jiwa. Penyandang disabilitas yang terbanyak karena mengalami gangguan melihat, kemudian gangguan mendengar, dan gangguan dalam hal mobilitas. “Ini semua memerlukan adanya alat bantu. Bagaimana alat bantu dibutuhkan oleh orang yang mengalami gangguan fungsional,” ungkapnya.
Menurutnya, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2016, ada dua hal yang disebutkan dalam hal alat bantu. Pertama, alat bantu untuk penyediaan yang berfungsi membantu kemandirian penyandang disabilitas dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kedua, yang disebut dengan alat bantu kesehatan, yakni bagaimana mengoptimalkan fungsi anggota tubuh atau gangguan fungsi penyandang disabilitas bisa ditekan seminimal mungkin.
Jadi sebenarnya ada dua hal yang bisa dijadikan satu kesatuan. Satu sisi fungsi alat bantu untuk menekan adanya gangguan fungsi yang memburuk. Di sisi lain, bagaimana membantu orang yang mengalami gangguan itu dapat melakukan aktivitas dengan lebih leluasa dan mandiri dengan menggunakan alat bantu. “Persoalannya adalah ternyata ketersediaan alat bantu masih sangat terbatas,” imbuhnya. Prakonferensi kali ini juga dihadiri para pembicara, yaitu Harimat Hendrawan selaku Plt. Kepala Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis – BRIN, Bambang Prasetyo sebagai Ketua Gerakan Tunarungu Indonesia, dan R. Hendrian Selaku Plt. Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi – BRIN. (arial/ed: and)