Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PREPS) BRIN menyelenggarakan webinar untuk membuka wawasan masyarakat mengenai pajak karbon. Acara ini diselenggarakan secara daring pada Kamis (30/6). Ratusan peserta dari berbagai kalangan mengikuti acara ini. Acara dibuka oleh Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN, Mego Pinandito.
Mego menyampaikan komitmen pajak karbon ini berdasar mandat Paris Agreement, yakni mengurangi emisi gas rumah kaca. Menjadi fokus dalam pajak karbon ini adalah bagaimana pencapaian target nilai ekonomi dari karbon itu bisa dilakukan. Pajak karbon ini dapat didefinisikan pungutan negara, baik pusat atau daerah terhadap usaha kegiatan yang memiliki potensi emisi karbon sehingga menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. “Pemahaman seluruh pemangku kepentingan terkait yaitu bisa memahami apa itu pajak karbon, sehingga penetapan dan perhitungannya, hingga dampaknya kepada masyarakat (harga),” tandas Mego. Perspektif dari berbagai pemangku kepentingan/multi stakeholders ini yang dilihat pada webinar kali ini.
Kepala Pusat Riset Ekonomi, Agus Eko Nugroho mengatakan bahwa pajak karbon menjadi agenda penting Indonesia dalam membangun perekonomian yang ramah lingkungan. “Tentu butuh persiapan yang konkrit serta beberapa peralihan,” imbuhnya. Agus mengharapkan perspektif baru apa itu pajak karbon yang lebih baik lagi membawa pola kebijakan ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
Deden Djaenudin sebagai moderator menjelaskan bahwa kelompok riset ekonomi hijau adalah hal yang baru, meskipun isunya sudah lama. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk menerapkan pajak karbon, agar tercapai target emisi gas rumah kaca. Hal ini salah satu instrumen pada tahun 2060 tercipta pembangunan Net Zero Emission (NZE). Pungutan atas karbon terdapat pada Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden (Prepres) No. 98 Tahun 2021.
Hadi Setiawan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan mengenai Implementasi Pajak Karbon di Indonesia. “Seperti yang kita ketahui, bumi rentan terhadap perubahan iklim. Untuk itu, Indonesia sangat komit terhadap perubahan iklim. Komitmen kita terhadap adaptasi terhadap ketahanan ekonomi, sosial, dan lingkungan,” ujarnya. Hadi juga menjelaskan mengenai mekanisme transisi energi, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara.
Terkait pajak, Hadi menjelaskan dasar hukumnya harus undang-undang. Dijelaskannya bahwa pajak karbon belum ada, sehingga dibuat di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 13 yang menerapkan prinsip pencemar yang membayar, mendukung penurunan emisi, mendorong inovasi dan investasi. Mekanisme lainnya sesuai perkembangan iptek yang ditetapkan oleh Menteri. Tujuan Pajak Karbon adalah mengubah perilaku pelaku ekonomi, mendukung penurunan emisi, mendorong inovasi, dan investasi.
Selanjutnya, Anandini Prabadiantari dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan mengenai kesiapan penerapan pajak karbon pada pembangkitan tenaga listrik. PLTU Batubara penyumbang emisi tertinggi. Uji coba pasar karbon pada pembangkit listrik yang akan diterapkan adalah dengan konsep cap and trade dan offset.
Komang Parmita, Executive Vice President (EVP) pada Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN Persero) menyampaikan persiapan operasionalisasi nilai ekonomi karbon pada kegiatan pembangkit listrik. Dalam ringkasan eksekutifnya, PLN telah menyusun peta jalan untuk menurunkan emisi dan mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) di 2030 dan NZE di 2060. Pada 2021 sampai Mei 2022, PLN telah menurunkan emisi sebesar lebih dari 4 juta ton karbon dioksida. PLN telah uji coba perdagangan karbon secara sukarela (voluntary) pada 2021. PLN juga melakukan persiapan operasionalisasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Indonesia akan menjadi negara pertama di ASEAN yang mengimplementasikan perdagangan karbon secara mandatori. PLN sudah maju dalam perdagangan karbon sejak Protokol Kyoto (sekarang menjadi Paris Agreement).
Paul Butarbutar selaku Direktur Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menjelaskan mengenai opsi pemerintah untuk mencapai target NDC. “Semua upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah, harus tercatat Sistem Registrasi Nasional (SRN),” ujarnya. Paul juga menjabarkan implementasi pajak karbon di berbagai negara, sebagai contoh pajak karbon di beberapa negara digunakan untuk mensubsidi biaya transmisi. Pada paparannya, Paul membuka wawasan pajak karbon di berbagai negara serta skenario yang bisa diterapkan di Indonesia.
Maxensius Tri Sambodo yang merupakan peneliti BRIN menyampaikan efektivitas pemberlakuan pajak karbon. Didahului latar belakangnya yaitu penundaan kedua implementasi pajak karbon, serta penyiapan ekosistem yang meliputi sumber daya, kapabilitas, dan tata kelola. Riset berguna memberi masukan kepada pemerintah agar ekosistem pajak karbon ini berjalan sebagaimana mestinya. Max juga menjelaskan bahwa pajak karbon dahulu sudah pernah ada berupa pajak bahan bakar kendaraan bermotor, merupakan embrio dari pajak karbon itu sendiri. Hal tersebut berdasarkan UU 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dipaparkan juga mengenai tarif pajak atas Penggunaan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB). Isu-isu riset yang harus dilakukan adalah mengenai kebijakan harga karbon, price and green investment, implementasi serangkaian instrumen, evaluasi dampak, dan peraturan daerah pada pemerintah daerah mengenai pajak pendapatan daerah. Isu tersebut merupakan tantangan bagi peneliti sosial di BRIN.
Kepala Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler, Umi Karomah Yaumiddin menutup webinar ini dengan penjelasan bahwa tema kali ini membuka wawasan dan sinergi untuk memberikan kontribusi baik bagi negeri ini. Terlebih terkait ekonomi lingkungan dan pajak karbon. Umi juga mengatakan bahwa rangkaian acara ini akan diresumekan, agar bisa menjadi ringkasan kebijakan (policy brief) yang utuh sehingga komprehensif dari sisi ekonomi industri dan kebijakan. Acara ini dipandu Dr. Romeyn Perdana Putra.(SGD/ed: AND)