Jakarta – Humas BRIN. Penyandang disabilitas sangat membutuhkan kehadiran negara dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang dapat mendukungnya berperan aktif dan terpenuhi hak-haknya. Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, saat menjadi Pembicara Kunci dalam kegiatan Konferensi Nasional MOST – UNESCO Indonesia, Rabu (29/06).
Muhadjir menyampaikan, pembangunan manusia dan kebudayaan merupakan suatu proses menyeluruh berupa siklus kehidupan manusia, mulai dari masa prenatal hingga lanjut usia. Namun dalam prosesnya, terdapat anggota masyarakat baik perorangan, keluarga, maupun komunitas yang memiliki keterbatasan dalam melaksanakan fungsi sosialnya dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka ini kelompok penyandang disabilitas.
Maka itu, dalam pembangunan diperlukan intervensi negara untuk memastikan penyandang disabilitas menjadi kelompok yang tidak ditinggalkan. Sebab penyandang disabilitas mengalami berbagai risiko sosial ekonomi. Risiko tersebut di antaranya lapangan kerja yang belum inklusi, pengeluaran tambahan bagi keluarga yang beranggotakan penyandang disabilitas dan perbedaan pendapatan terhadap non disabilitas. Hal ini menyebabkan mereka lebih rentan untuk jatuh ke dalam kondisi kemiskinan ekstrem.
Lebih jauh, Muhadjir menyampaikan, perlu adanya perubahan paradigma dalam memperlakukan penyandang disabilitas. Kemenko PMK terus berupaya melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian atas kebijakan terkait penyandang disabilitas. Kebijakan ini untuk merumuskan tiga isu strategis, yaitu pendataan disabilitas, perluasan perlindungan sosial, dan pemberdayaan sosial.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), L.T. Handoko dalam sambutannya mengatakan, membangun dan menguatkan ekosistem riset di Indonesia merupakan amanat yang diemban BRIN. Menurutnya, ekosistem riset dan inovasi nasional membutuhkan badan yang berperan khusus untuk mendukung kolaborasi antar pihak dan multipihak (pentahelix), agar dapat menghasilkan nilai tambah dari penelitian yang dikembangkan. Hal itu juga untuk tujuan komersialisasi dan produksi maupun penyusunan kebijakan guna penguatan kesejahteraan bangsa.
“BRIN secara khusus memberikan komitmen pada isu disabilitas melalui mandat pembentukan Komite Nasional Indonesia untuk Program Management of Social Transformation (MOST) – UNESCO,” ujarnya. Komite tersebut diharapkan mampu mengawal dan menyusun roadmap yang jelas untuk riset-riset disabilitas, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari riset dan inovasi untuk indonesia maju. Fungsinya juga mampu memberikan masukan kebijakan berdasarkan hasil-hasil riset yang ada.
Konferensi ini merupakan rangkaian puncak dari tiga tahap prakonferensi yang diselenggarakan sebelumnya. Tajuk dari kegiatan Konferensi kali ini membahas tema “Penguatan Ekosistem Riset untuk Kebijakan Inklusif Guna Peningkatan Pemenuhan Hak dan Peran Penyandang Disabilitas dalam Pembangunan”.
Melalui Komite yang dibentuk BRIN ini, Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Program Management of Social Transformation (MOST), Tri Nuke Pudjiastuti menjelaskan, MOST-UNESCO untuk Indonesia mendapat mandat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. “Komite ini berperan aktif menjadi bagian dari anak bangsa untuk mengawal pencapaian 17 tujuan SDGs yang berperspektif disabilitas,” ucapnya.
Sementara Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, selaku Kepala Sekretariat Nasional SDGs, Vivi Yulaswati berpendapat, saat ini isu mengenai perubahan iklim, ekonomi hijau, dan ketahanan energi semakin masif dibicarakan. Hal ini lantaran isu sosial seperti aksesibilitas terhadap kesehatan dan pendidikan, khususnya pemenuhan hak penyandang disabilitas belum tuntas dipenuhi atau diselesaikan.
Vivi berharap, komitmen nasional untuk melakukan riset yang semakin lengkap tentunya menjadi landasan kuat bagi penyusunan kebijakan berbasis bukti dan menjadi langkah awal untuk mengatasi disparitas hasil pembangunan. Hal itu untuk mengatasi berbagai problematika penyandang disabilitas.
Sementara, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO/KNIU, Itje Chodidjah, menegaskan setidaknya ada enam penyebab minimnya kontribusi penyandang disabilitas dalam pembangunan. Hal itu di antaranya kendala sistemis, kurangnya anggaran, penegakan hukum yang lemah, minimnya kesadaran umum, data yang tumpang tindih, dan stigma masyarakat umum.
Konferensi ini diharapkan bisa menjadi media untuk menggali potensi seorang penyandang disabilitas. Penting adanya peningkatan literasi dan inklusivitas dalam dunia usaha dan dunia industri. Apabila lapangan pekerjaan bagi penyandang disabilitas tidak dibuka, potensi Produk Domestik Bruto (PDB) pemerintah tidak akan maksimal. Selain itu, kontribusi seluruh elemen masyarakat termasuk penyandang disabilitas pasti akan memberi dampak ekonomi yang signifikan dalam proses pembangunan. (suhe/ed: and)