Jakarta – Humas BRIN. Bicara mengenai perlindungan dan hak-hak minoritas khususnya Penganut Kepercayaan di Indonesia sudah terdapat berbagai instrumen hukum yang menjadi landasan dan sarana perlindungannya. Namun seperti apakah implementasinya? Hal tersebut diungkapkan Dr. Laely Nurhidayah, Kepala Pusat Riset Hukum (PR Hukum) yang merupakan salah satu pusat riset di bawah Organisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam sambutannya pada kegiatan diskusi daring Legal Research Discussion Series 3, Kamis (30/06).

Kegiatan ini dihadiri para narasumber dari Peneliti PR Hukum BRIN, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tumah YME & Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (DIT. KMA Kemendikbudristek), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta partisipan dari praktisi hukum dan masyarakat umum.

Lebih lanjut Laely mengungkapkan tujuan kegiatan ini untuk mendiskusikan hak-hak minoritas terutama bagi kaum Penganut Kepercayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian terhadap Undang-Undang Administrasi Kependudukan merupakan suatu bentuk regulasi yang dimunculkan untuk memberikan pengakuan dan perlindungan dalam kebebasan memilih dan memeluk agama yang diyakini.

Terdapat berbagai faktor penyebab Putusan MK yang tidak dapat diimplementasi dengan sempurna. Hal itu mulai dari persoalan regulasi turunan sebagai peraturan teknis, tidak dilakukannya sosialisasi, sistem aplikasi perekaman Kartu Tanda Penduduk-elektronik (KTP-el), sampai pada persoalan budaya dan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan suatu bentuk langkah konkret dan nyata yang dilakukan untuk mengakomodir persoalan pencantuman “penghayat kepercayaan” pada KTP-el bagi penganut kepercayaan tersebut. “Kita ingin melihat gap penelitian tentang perlindungan hak minoritas yang bisa dikembangkan lebih lanjut, apakah dari faktor-faktor seperti regulasi turunannya, sosialisasi, atau faktor sosial budaya,” ujar Laely.

Zaihan Harmaen Anggayudha, Peneliti PR Hukum BRIN menjelaskan bahwa sebagai himpunan yang menaungi para Penghayat Kepercayaan dalam menjalankan keyakinannya, Organisasi Penghayat Kepercayaan itu sudah ada sejak sebelum kemerdekaan negara Indonesia, bahkan kepercayaan-kepercayaan yang tidak terorganisir yang justru sudah ada sejak sebelum agama-agama besar yang kita kenal saat ini masuk ke Indonesia.

“Dimulai dari era kemerdekaan hingga pasca reformasi, negara telah mengeluarkan dasar-dasar hukum yang menjadi instrumen perlindungan terkait kebebasan memeluk kepercayaan,” jelas Zaihan. Dasar hukum itu di antaranya Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 syst (2) UUD 1945, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU. No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural rights, kemudian Pasal 18 ayat (1) – (3) UU No. 12 Tahun 2015 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.

Namun begitu, ungkap Zaihan, ada juga UU yang menimbulkan diskriminasi dan juga kerugian dalam bentuk tidak terpenuhinya hak-hak konstitusional para Penganut Kepercayaan yaitu pada implementasi UU administrasi kependudukan. Di mana terdapat ketentuan untuk mengisikan tanda strip (-) pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Upaya-upaya hukum yang diambil selanjutnya yaitu yang berujung pada Putusan MK ternyata tidak serta-merta menyelesaikan masalah diskriminasi tersebut, mungkin ada masalah lain yang perlu kita riset dan eksplorasi bersama lebih dalam lagi,” ujarnya.

Sjamsul Hadi, sebagai Direktur DIT. KMA Kemendikbudristek menyampaikan hal senada. Ia menyebutkan sudah ada upaya-upaya percepatan pelayanan jauh dari sebelum adanya putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 itu sendiri. “Di samping aturan-aturan yang sudah disampaikan sebelumnya, kita telah melaksanakan kongres pertama Penghayat Kepercayaan di tahun 1955,” tuturnya.

Sjamsul Hadi juga menjelaskan, sebelum lahirnya putusan MK, terdapat beragam tantangan dari implementasi pelayanan terhadap Penghayat Kepercayaan itu sendiri. Antara lain adanya perundungan, belum semua pemerintah daerah dan sekolah mengizinkan pendidikan Penghayat Kepercayaan. Selain itu belum tersedia tenaga pendidik Penghayat Kepercayaan yang sesuai dengan kualifikasi UU yang ada. Kesulitan dalam pengurusan administrasi kependudukan juga dialami oleh Penghayat Kepercayaan serta dalam hal mengakses pekerjaan.

“Setelah adanya putusan MK tersebut, yang mana targetnya adalah UU administrasi kependudukan, terdapat berbagai pencerahan yang timbul sebagai penyelesaian masalah sebelumnya,” jelasnya. Ia menyebutkan beberapa pencerahan tersebut di antaranya telah terdapat kolom kepercayaan dalam data pendidikan, kemudian kolom kepercayaan juga terdapat pada kolom KTP-el. Hal tersebut juga mengukuhkan konstitusionalitas layanan pendidikan kepercayaan. Selain adanya penyuluh atau program studi kepercayaan dengan kualifikasi tertentu, kini juga terdapat kolom kepercayaan pada administrasi pendaftaran Calon Pegawai Negeri Silpil (CPNS).

“Dari sisi Pemerintah telah banyak upaya-upaya yang dilakukan dalam memberikan pelayanan terhadap Penghayat Kepercayaan itu sendiri. Kami juga membentuk tim advokasi yang melibatkan berbagai koordinasi antara Kementerian dan Lembaga, namun masih minimnya peran partisipatif dari masyarakat Penganut Kepercayaan itu sendiri telah membuat permasalahan baru,” ujanya.

Paparan tersebut diperkuat oleh Muhammad Isnur, Ketua Umum YLBHI. Ia menyajikan data historis mengenai perjalanan kebijakan Indonesia terhadap Penghayat Kepercayaan. “Melihat sejarah kebelakang, pada periode tahun 1953 hingga 1961, kebijakan mengenai Penghayat Kepercayaan ada di bawah Departemen Agama (Depag) melalui Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan dalam Masyarakat (Tim PAKEM),” jabarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan pada periode tersebut, Depag telah mencatat terdapat 360 aliran kepercayaan/ kebatinan di Indonesia. Persiapan menjelang dan pasca Pemilihan Umum 1955 diduga merupakan latar belakang kebutuhan eksistensi Tim PAKEM. Kepercayaan tersebut dianggap menjadi ancaman serius bagi keberadaan agama-agama besar yang telah diakui dan dapat membahayakan masyarakat serta negara. Hal ini diperkuat dengan adanya UU nomor 1 terkait Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, serta adanya beberapa UU Kejaksaan yang menempatkan Kejaksaan sebagai Instansi yang memiliki kebijakan dalam pengawasan aliran kepercayaan pada periode tahun 1961-1975.

Menurut Muhammad Isnur, setelah adanya putusan MK disamping keuntungan yang diterima oleh para Penghayat Kepercayaan, masih terdapat penyataan dari Penghayat Kepercayaan bahwa jaminan mereka terhadap kepercayaannya masih belum cukup. Terutama di tingkat daerah di mana perkembangannya jauh lebih lambat.

Muhammad Isnur meyebutkan berbagai hal-hal positif yang dapat diambil terbitnya putusan MK tersebut adalah adanya perubahan persepsi terhadap Penghayat Kepercayaan dari kalangan tokoh-tokoh agama. Selain itu juga pendidikan terkait kepercayaan juga bisa terlaksana dengan cukup baik walaupun masih ada hal-hal yang perlu ditingkatkan lagi.

“Permasalahan yang menjadi tantangan kita adalah kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terhadap putusan MK, serta infrastruktur administrasi dan sumber daya pelayanan hukum yang masih belum memadai. Selain itu juga belum sinkronnya antara peraturan-peraturan pelayanan yang ada di berbagai daerah,” paparnya. Contohnya seperti di rumah sakit, data di KTP-el sudah memiliki kolom kepercayaan, namun administrasi di rumah sakit belum memilikinya, masih dengan kolom agama, ketidak sinkronan ini mempersulit Penghayat Kepercayaan dalam memperoleh layanan kesehatan.

Di akhir paparannya, Muhammad Isnur membeberkan tentang pendapatnya mengenai pemisahan kolom agama dan kepercayaan pada identitas. Dengan adanya pemisahan kolom agama dan kolom kepercayaan itu sendiri, telah menimbulkan masalah baru. Terutama bagaimana dengan masyarakat yang kolom agama pada data kependudukannya masih kosong, dan bagaimana dengan agama-agama yang masih belum diakui oleh negara. Terlebih lagi bagaimana dengan kepercayaan-kepercayaan yang belun teregistrasi oleh negara. “Hal yang menarik adalah, bagaimana pencatatannya jika terdapat seorang Penghayat Kepercayaan sekaligus sebagai pemeluk agama tertentu. Berbagai hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam riset yang dijalankan oleh BRIN,” ujarnya seraya mengakhiri paparan.

Kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi. Secara bergantian para partisipan mengajukan pertanyaan serta mengungkapkan pernyataannya. Di antaranya adalah R. Otto Wahyudi, seorang praktisi yang gencar melakukan sosialisasi terkait kepercayaan memberikan pendapatnya bahwa secara empiris permasalahan layanan terhadap Penghayat Kepercayaan bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama adalah dari aspek pemerintah itu sendiri dalam hal ini adalah pemerintah daerah, yang mana keberpihakannya pada kebijakan layanan terhadap Penghayat Kepercayaan masih diikuti oleh unsur politis. Kemudian tingkat kesadaran dari masyarakat akan toleransi dan juga terhadap Penghayat Kepercayaan itu sendiri yang harus pro aktif. (and)