Jakarta-Humas BRIN. Pusat Riset Masyarakat dan Budaya PMB yang merupakan unit di bawah Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora – Badan Riset dan Inovasi Nasional (OR IPSH – BRIN) mengadakan webinar pada Senin (4/07). Forum Diskusi Budaya Seri 40 ini membahas tema “Badujs en Moslims: Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiang, Banten Selatan”. Forum Diskusi Budaya kali ini membahas soal baduy dan muslim, sebuah komunitas adat tradisional yang ada di Indonesia yang selalu menjadi pusat kekaguman.

Komunitas masyarakat Baduy diceritakan selalu mempertahankan kemurnian budayanya. Sebagai contoh Baduy dalam dan luar yang tidak boleh menggunakan perangkat elektronik dan listrik. Saat malam hari, rumah mereka hanya berlampukan sinar bulan dan bintang. Perlindungan terhadap tanah adat, hutan adat, pola, cara atau penghidupan yang sifatnya asli dipertahankan secara turun temurun. Bentuk pemurnian budaya yang diterapkan oleh masyarakat adat Baduy dipraktikkan sebagai bahan riset dan tempat melakukan penelitian. “Mereka berhasil mempertahankan cara penghidupan di tengah gempuran budaya global dan nasional yang sangat kuat. Lalu sejauh mana komunitas adat seperti Baduy bertahan?” ujar Lilis Mulyani, Kepala PMB, dalam sambutan pembukanya.

Diskusi ini menghadirkan narasumber, Sahdi Sutisna selaku Divisi Kaderisasi dan Media Outreach JKPP dan Ade Jaya Suryani selaku Dosen UIN Banten. Acara dipandu Letsu Vella Sundari, Peneliti PMB-BRIN.

Sahdi Sutisna dalam paparannya mengisahkan situasi pengalamannya sebagai pendamping dan pernah menetap di Baduy. Menurutnya, masyarakat Baduy mempunyai kedekatan erat dan tidak menganggap muslim sebagai musuh. Masyarakat baduy tidak melarang warganya untuk memeluk Islam, akan tetapi jika hal tersebut terjadi maka yang bersangkutan tidak boleh tinggal di Baduy lagi. Hal ini yang menjadi prinsip Masyarakat Baduy di mana di sana dikenal dengan agama lokal yang terkenal yaitu Sunda Wiwitan.

Dalam pengelolaan sumber daya alam, warga baduy mengganggap bahwa wilayah mereka sebagai inti jagad yang harus dipelihara dan dijaga dari segala macam gangguan yang dapat membuat ketidakseimbangan alam. Warga Baduy memandang alam sebagai ‘satangkarak ning langit, satungkab ning lemah’, sehingga harus dipelihara sebaik mungkin sesuai pesan leluhur mereka. Mata pencaharian warga baduy adalah berladang atau ngahuma (bercocok tanam padi di laham kering). Hal ini sejalan dengan kepercayaan warga Baduy terhadap padi sebagai lambang Nyi Pohaci atau Sang Hyang Sri. Warga Baduy memiliki ritual menanam padi. Menurut adat baduy, ada beberapa larangan dalam sistem pertanian yang harus ditaati warga Baduy yaitu larangan memakai cangkul dalam mengolah tanah. Ada juga larangan menggunakan bahan kimia untuk memberantas hama dan dilarang pergi ke ladang pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu. Masyarakat Baduy dalam tidak mengenal adanya persengketaan dan jarang mengalami konflik internal. Relasi sosial antar masyarakat Baduy dibangun berdasarkan perkawinan, kekeluargaan, dan lingkungan.

Sementara Ade Jaya Suryani mengungkapkan, ada hubungan erat antara islam dengan Baduy yaitu pada periode berikutnya setelah ekstrasi orang- orang di kesultanan Banten. Menurutnya, kesultanan Banten mengirimkan orang yang disebut Ki Ahum yang akhirnya menjadi petugas agama. Saat itu dikenal sebagai Amil selaku orang Baduy yang membaca syahadat sebelum menikah. Namun agama Islam Baduy hanya sebatas itu saja. Mereka tidak melaksanakan empat pilar islam lainnya seperti solat, puasa, zakat, dan juga haji.

Orang Baduy mengklaim dirinya sebagai pertapa dan modernitas adalah tabu. Akan tetapi, “dengan meletakkan sumber-sumber tentang Baduy dari awal sampai sekarang, kita melihat menjadi pertapa tidaklah mudah. Tantangannya sangat berat!” ujar Ade. Namun menurutnya, orang Baduy melanggar adat mereka sendiri. Pelanggaran itu akan semakin meningkat sampai sekarang.

Kini masyarakat Baduy mulai membuka objek wisata, ditandai dengan didirikannya patung di tengah-tengah terminal. Hal itu menandakan bahwa patung tersebut sebagai objek wisata. Jika mereka bertahan dengan identitas Sunda Wiwitan-nya, mereka berada pada posisi dilematisnya pada saat pengaruh dari luar masuk. Konon mereka sulit mengingat luas tanah dengan jumlah penduduk yang tidak seimbang yang akan terus menjadi masalah. Fakta juga terungkap, banyak informan menyampaikan tokoh-tokoh Baduy punya alat komunikasi berupa telepon seluler. “Jadi pilihannya apakah orang Baduy mau beradaptasi dengan perkembangan zaman mengingat luas tanah mereka terbatas? Mengingat juga prinsip adatnya yang melarang mereka mengembangkan tanah? (ANS/ed: AND)