Jakarta – Humas BRIN. Banyak hal-hal besar yang sering muncul tapi kita mengabaikan dan tidak melihat secara lebih mendalam. Bagaimana memahami minoritas dari isu-isu besar yang terjadi di Papua dan isu-isu minoritas yang terjadi di pulau Jawa? Hal itu disampaikan Lilis Mulyani, Kepala Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) dalam Forum Diskusi Budaya Seri 41 yang dilaksanakan secara daring, Senin (18/07). Diskusi ini mengangkat tema “Memahami Minoritas: Pembelajaran dari Papua dan Perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat”.
Diskusi budaya ini menghadirkan narasumber yaitu Riwanto Tirtosudarmo selaku Peneliti Sosial Independen dan Imelda Selaku Peneliti BRIN. Rangkaian acara dipandu Moderator Terry Indrabudi.
Riwanto mengatakan, perspektif dari Ben Anderson mengungkapkan Indonesia sebagai proyek bersama, sebuah tempat yang menghargai setiap hak-hak warga negara Indonesia. Namun hal itu menjadi masalah saat ada bahasan mayoritas dan minoritas. Membicarakan tentang minoritas cukup terkejut karena yang dianggap menyebabkan kekacauan di tengah masyarakat itu adalah pemerintah sendiri. “Keberpihakan itu sangat diperlukan tapi memang tidak semua aparat tercerahkan. kebijakan Bahasa sendiri yang menyebabkan persoalan. Sebab, budaya tidak bisa dbatasi oleh wilayah administrasi,” ujarnya.
Contoh kasus Perpera yang menjadi polemik Ali Mustofa yang melakukan aksi intelegen di Papua. Di mana ketika orde baru memasukkan modal asing dan kemudian freeport masuk ke Papua. Mayoritas teman-teman dari Papua memprotes sistem pendidikan kita. Bahasa lokal menjadi bagian dari bahasa pendidikan. Riwanto menjelaskan, masuknya kebijakan bahasa dalam pendidikan sangat sporadis. Ia mengibaratkan, kebijakan itu seperti copy paste. Padahal ini perlu alasan rasionalisasi yang jelas untuk memasukan bahasa ke dalam pendidikan atau tidak dalam konteks masyarakat di wilayah yang kurang cukup homogen seperti komunitas gamkonora.
Sementara Imelda mengatakan, kelompok suku asli papua terdiri dari 255 suku. Dengan kondisi ini maka logika berpikir begitu menyeruak dan yang sangat menarik dikaji dari sisi risetnya. Ada pengembangan kesadaran politik apa hingga saat OPM dan gerakannya ingin memisahkan dari Indonesia? Papua ini sejak zaman Belanda mempunyai wilayah riset yang telah dikembangkan. Begitu merdeka maka tinggal melanjutkan saja. Tujuan risetnya untuk mengetahui masyarakat Papua dari dalam. Maka perlu mendidik para antropolog untuk mempelajari Papua. Para periset berusaha memproduksi pengetahuan. Menurut pendapatnya, para periset akan mengamati apa yang jadi masalah sosial politik di Papua, tentang suatu anggapan bahwa Papua harus menjadi negara sendiri. Bahasa tidak cukup dipahami. Kebanyakan peneliti berasumsi bahwa bahasa memang sebuah parsial komunitas mayoritas. “Namun minoritas belumlah cukup banyak diteliti. Sedangkan prespektif masyarakat juga diperlukan terutama relasi kuasa dengan pemerintah,” ujar Imelda. (ANS/ed:And)