Jakarta – Humas BRIN. Peradaban Hindu – Buddha di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan – kerajaan di Indonesia pada abad ke 4-16 Masehi. Pada aspek permukiman dan arsitektur rumah – rumah penduduk pada masa itu, secara umum bahwa dalam perkembangan arsitektur perumahan di masa Hindu – Buddha adanya klasifikasi hierarki rumah hunian dengan dasar kedudukan sosial.

Kelas yang tertinggi adalah istana raja di ibukota kerajaan, kelas kedua adalah rumah-rumah orang terkemuka yang diberi hak-hak istimewa. Mereka di antaranya berkenaan dengan ciri-ciri penanda tertentu bagi rumahnya. Sedangkan kelas terendah adalah rumah penduduk pada umumnya.

Setiap permukiman itu memiliki pola yang linear atau memanjang. Hal itu adalah permukiman yang mengikuti aliran sungai, berada di tepi pantai, dan di pedalaman. Ada juga permukiman penduduk desa, kota, kalangan keagamaan, dan sebagainya yang memiliki pola tersendiri.

Permukiman pada masa itu diperkirakan lebih dikembangkan atas dasar pencapaian masa prasejarah. Prosesnya sambil senantiasa mengacu pada sifat-sifat alam yang khas untuk tiap tempat, serta menyerap sebagian pengaruh-pengaruh dari luar.

Untuk menambah khazanah tentang permukiman tersebut Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra (OR Arbastra) menyelenggarakan Webinar Forum Kebhinnekaan seri #6, Kamis (21/07). Tema yang diusung adalah Permukiman Kuno Masa Hindu Buddha di Nusantara. Webinar tersebut menghadirkan narasumber para peneliti BRIN, Sugeng Riyanto, Yusmaini Eriawati, dan RR Triwurjani dipandu moderator Harriyadi.

Dalam Sambutannya, Kepala OR Arkeologi Bahasa dan Sastra (Arbastra), Herry Jogaswara memberikan apresiasi kepada Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah, dan Sejarah yang terus konsisten dalam melaksanakan webinar. “Ini adalah kegiatan yang penting untuk memberikan informasi yang terjadi di lapangan. Apalagi tema kali ini menjadi jalan untuk mencari jejak masa lalu. Ini menunjukkan, riset sangat penting dalam perlindungan situs-situs masa lalu,” ujarnya.

Herry menyampaikan bahwa BRIN merupakan ekosisten riset yang merupakan gabungan dari lima entitas lembaga riset dan gabungan dari pusat riset K/L. Para periset ini melakukan kolaborasi riset dan inovasi dengan stakeholder baik di dalam dan luar negeri. Apalagi, konsep penelitian saat ini harus berkolaborasi dengan pihak lain agar dapat hasil riset yang langsung dipergunakan oleh pengguna.

Herry juga berharap kepada kelompok riset untuk melihat skema pendanaan lainnya sehingga proses ekplorasi bisa berlangsung lama dengan dukungan dana multi years untuk menghasilkan penelitian. Ia juga mengungkapkan, skema riset yang berada di BRIN sangat fair dan kompetitif.

Dalam sesi paparan, Sugeng Riyanto menyampaikan tema Liyangan kuno permukiman sahabat Gunung. Ia menceritakan, situs Liyangan terletak di lereng Gunung Sindoro di Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Situs Liyangan dulunya pemukiman penduduk namun terpendam akibat banjir lahar dari Gunung Sindoro yang erupsi pada abad ke-11 masehi.

Penelitian situs Liyangan mulai dilakukan tahun 2009. Situs Liyangan merupakan permukiman dari masa Mataram Kuno sekitar abad ke 9-10 Masehi. Situs ini memiliki area hunian, peribadatan dengan latar keagamaan Hindu, serta pertanian. Area hunian ditandai dengan ditemukannya sisa rumah kayu, peralatan rumah tangga dari keramik, tembikar, logam, dan batu.

Masyarakat Liyangan kuno pada awalnya membangun hunian, bertani, dan mengadakan pemujaan secara sederhana. Seiring berjalannya waktu warga liyangan melakukan hubungan dengan masyarakat di wilayah lain. Hal tersebut mendorong berkembangnya pengetahuan teknologi dan cara – cara pemujaan tetapi juga bertani, berdagang, dan kegiatan lainnya. Prasara dan sarana juga berkembang seiring dengan banyaknya aktivitas sebagai contoh bangunan untuk pemujaaan, petirtaan, dan batur yang dibangun dengan bahan campuran antara lain batu, kayu, bambu, dan ijuk.

Paparan selanjutnya oleh Yusmaini Eriawati yang membahas terkait situs Grogol-Trowulan permukiman yang sirna. Ia menyampaikan bahwa Trowulan adalah sebuah kawasan situs arkeologi di pulau Jawa bagian timur. Berdasarkan karakteristik tinggalan budayanya, Trowulan dapat dikategorikan sebagai bekas kota yang pernah eksis di era Majapahit.

Situs arkeologi yang ada di Trowulan antara lain bangunan pintu gerbang wringin lawang dan bajang ratu, kolam besar bernama segaran, candi brahu, candi gentong, candi tikus, makam putri Cempa, dan makam Troloyo.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pusat penelitian Arkelogi nasional sejak 1976 hingga 2019, ada sekitar 150 tinggalan arkeologi dalam bentuk monumental yang ada di kawasan situs trowulan. Situs ini baik dalam keadaan utuh maupun sisa – sisa struktur tembok, lantai, pondasi rumah, dan sebagainya.

Situs grogol pertama kali ditemukan tahun 2016 dan mulai diteliti tahun 2017. Lokasi situs grogol terletak di selatan dusun Kepiting dan dusun Temon, kecamatan Trowulan serta sebelah barat dusun grogol, yaitu desa Dukuh Ngarjo, kecamatan Jatirejo, kabupaten Mojokerjo, Jawa Timur.

Permukiman situs grogol dibangun dalam tiga periode yang berbeda. Pertama, hunian periode pertama menggunakan batu kerakal dan boulder sebagai material utama (abad 10-12 M). Kedua, periode pemukiman sekitar abad 13-14M. Permukiman situs gorogol direnovasi dengan mendirikan bangunan di atasnya (di era Majapahit). Pada periode ketiga bangunan bata didirikan di atas lapisan tanah berwarna coklat gelap yang ternyata berada 160 cm di atas hunian periode kedua (di era majapahit akhir).

Letak geografis grogol yang dekat dengan sumber daya alam dan jauh dari bencana alam serta aksesibilitas yang tinggi, membuat hunian ini dimukimi sangat lama selama 600 tahun. Situasi hunian sangat ramai, padat, dan luas, serta menjadi hunian elit yang terletak di selatan kota Majapahit.

Kondisi situs Grogol saat ini permukaan tanahnya telah diratakan kembali oleh pemilik tanah. Mereka menimbun kembali lubang – lubang sisa pembuat bata dan dijadikan ladang tebu kembali.

Selanjutnya, paparan RR Triwurjani membahas peradaban Besi Danau Matano Sulawesi Selatan masa paleometalik hingga sejarah. Bahwa pada masa lalu wilayah Matano terkenal dengan hasil bumi berupa besi dan nikel yang memiliki kualitas tinggi. Masyarakat Matano banyak yang berprofesi sebagai pandai besi. Buktinya, banyak data arkelogi yang ditemukan berupa palu, landasan pukul, tombak, parang, topi perang, piring, dan ceret.

Peradaban danau Matano dapat dipastikan sebagai salah satu situs awal masa logam, khususnya besi dan nikel di Indonesia. Hingga tahun 2019 menunjukkan bahwa kawasan danau Matano merupakan industri pengolah besi dan nikel. Setidaknya sejak abad 8 dan terus berlanjut hingga abad ke 10 M.

Peradaban suatu masyarakat mempunyai ciri khas yang menjadi penanda suatu budaya, di mana terjadi interaksi saling mempengaruhi antara lingkungan dan fenomena budaya. Peradaban Matano dianggap sebagai peradaban logam/ besi yang hilang. Hasil kajian arkeologi tentang Danau Matano, menunjukkan masyarakatnya telah melakukan aktivitas pengolahan besi. Prosesnya dari penambangan dan peleburan, mulai dari menempa, membentuk, hingga menjadi produk akhir untuk didagangkan. Diduga Kawasan Danau Matano merupakan sebuah industri besi kuno yang berlangsung dari awal masehi. (Sur/Ed:And)