Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Kerukunan dan Beragama (PR AKKB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali mengadakan Ta’lim Reboan pada Rabu (20/7). Pada seri ke-9 ini tema yang diangkat “Perempuan dan anak dalam lingkaran ekstremisme dan terorisme di Indonesia”.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber yaitu Jamhari Makruf dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta pembicara dari BRIN, Mulyana dan Zakiya. Acara dibuka dengan sambutan Kepala PR AKKB, Aji Sofanudin.

Menurut Zakiya, terorisme di Indonesia sudah terjadi dari tahun ke tahun, sejak 1997 sampai 2022. Salah satu ledakan terbesar yakni kejadian 90 aksi pengemboman.

Beberapa kejadian terorisme di Indonesia yang diekspos secara Internasional antara lain peristiwa bom Bali tahun 2002 (220 meninggal dan ratusan terluka), bom di Hotel JW Marriott tahun 2003, pada tahun yang sama di terminal F Bandara Soekarno Hatta (10 orang terluka), bom di Kedutaan Australia dan bom Bali kembali pada tahun 2014 (23 orang meninggal dunia, 196 terluka), selanjutnya tahun 2019 pengeboman di hotel JW Marriott & Ritz-Carlton, pengemboman di kantor polisi di Cirebon dan di gereja di Solo pada 2011, pengeboman di kantor polisi Poso di tahun 2013, pengeboman di Sarinah Thamrin Jakarta, Polres Surakarta, serta gereja katolik Medan dan gereja di Samarinda tahun 2016, pengeboman di Kampung Melayu Jakarta tahun 2017, pada tahun 2018 pengebom oleh seorang perempuan di 3 gereja di Surabaya dan rusunawa Sidoarjo, serta di kantor polisi Riau dan kerusuhan di Mako Brimob, tahun 2020 terjadi penyerangan Polsek Selatan, tahun 2021 bom bunuh diri di gereja katedral Makassar yang melibatkan perempuan, di hari yang sama terjadi penembakan di Mabes Polri yang dilakukan perempuan. Para pelaku terorisme ini berafiliasi Jamaah Islamiah, Jamaah Ansharut Daulah, dan mereka mendukung ISIS.

Sejak kapan perempuan terlibat bom bunuh diri? Mengapa mereka menggunakan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri? Perempuan pelaku terorisme ada 39 perempuan yang ditangkap dan dipenjara. Sebagian sudah bebas sebagian masih di dalam penjara. Mereka termasuk dalam organisasi BII dan masuk ke media sosial telegram. Isinya tentang ajaran radikalisme, serta doktrin jihat fardu ain. Mereka tanpa perlu izin ke suami atau orang tua. Dianggapnya, para suami sudah sibuk dengan istri mereka dan sibuk dengan istri baru mereka. Mereka memandang, jihat adalah amalan tertinggi dalam Islam. Menurut Zakiya, perempuan dipandang lebih berhasil dibanding pelaku laki-laki dan perempuan sebagai duta yg diekspos oleh media.

Mulyana menjelaskan, yang menjadi titik permasalahan adalah apakah mereka memperoleh layanan penanganan trauma yang memadai? Baginya, anak-anak mereka mengalami sedikit trauma ketika orang tua mereka ditangkap langsung di depan mereka. Ketika penangkapan terjadi, dampaknya menimbulkan rasa takut di tengah lingkungan sosialnya. Anak-anak sekitar tidak mau lagi bermain dengan anak – anak pelaku teriris ini. Bahkan mereka punya yel-yel “anak teroris ayo kita tangkap mari kita iris-iris”.

Apakah mereka mendapat layanan pendidikan yang menjamin tumbuh kembangnya? Sebagai warga negara yang baik yang dapat terhindar dari pengaruh ektrimisme kekerasan, apakah pemerintah memiliki kebijakan khusus dalam penyediaan layanan pendidikan atau konseling bagi mereka? Beberapa dari mereka tidak punya pengetahuan. Mereka mau menyekolahkan anak namun tidak tahu Kementerian Agama mempunyai sekolah atau Madrasah.

Mulyana memandang, untuk memenuhi kebutuhan tersebut Kemenag dan Kemendikbud bisa menunjuk atau berkerja sama dengan lembaga pendidikan yang memiliki kompentensi dan tersertifikasi dalam menyediakan layanan pendidikan anak-anak napiter dan mantan kasus terorisme.

Jamhari mengatakan, keluarga teroris lebih tertarik mengembangkan sekolah – sekolah informal. Sebab, cara itu menjadi ajang regenerasi terosisme, karena tidak ada yang mengawasi. Munculnya pemimpin yang berkharisma dan dari segi ilmu sosial, perjuangan yang memakai kekerasan akan lebih sukses dibanding dengan cara-cara yang persuasif. Terorisme ini adalah virus, bisa menular ke keluarga dan lingkungan sekitar. Seakan hal itu bermutasi pada varian, contohnya kepada kelompok yang Islamiah.

Bagaimana perempuan sebagai aktor dan anak-anak dilibatkan dalam pengeboman? Perempuan dan anak-anak adalah sebagai korban. Karena, latar belakangnya yaitu menanggung anak yang relatif banyak serta sosial stigma yang sangat buruk. Mereka sebagai agen yang menjadikan perempuan dan anak sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Langkah itu dianggap sebagai taktik perjuangan. Prinsipnya, perempuan dan anak bagian dari aktornya sendiri. (ANS/ed:And)