Jakarta – Humas BRIN. Mitigasi bencana sangat penting dilakukan untuk keselamatan. Apalagi, dari data World Bank tergambar, Indonesia menempati peringkat ke-12 dari 35 negara yang paling rawan bencana. Bahkan diperkirakan lebih dari 40% penduduk Indonesia terancam bencana. Alasan ini sebagai salah satu yang melatarbelakangi Pusat Riset Kependukukan, Organisasi Rsiet Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan kegiatan webinar nasional memperingati hari mangrove sedunia pada Selasa (26/07).

Webinar diselenggarakan untuk menambah khasanah tentang penguatan pengurangan risiko bencana. Tema yang dibahas yaitu “Nature-Besed Solutions: Solusi Berkelanjutan untuk Penguatan Pengurangan Risiko Bencana sebagai refleksi dan tindak lanjut GPDRR untuk mewujudkan From Risk to Sustainable Resillience.

Kita ketahui bersama, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan lempeng Eurasia, Benua Indo-Australia, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Selain itu, Indonesia terletak di zona Ring of Fire di mana terdapat banyak sekali gunung api aktif. Aspek geografis ini menyebabkan Indonesia rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Selain bencana geologi, bencana lain yang mengintai Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan.

Pertemuan Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) Tahun 2022 yang berlangsung di Bali beberapa waktu lalu telah menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk ketangguhan berkelanjutan. Peningkatan kerja sama internasional serta kolaborasi diharapkan berjalan berdasarkan prinsip penguatan budaya sadar bencana dan edukasi untuk pengurangan risiko.

Webinar ini menghadirkan narasumber BRIN yaitu Andi Eka Sakya dari Pusat Riset Geologi dan Kebencanaan BRIN dan Gusti Ayu Ketut Surtiari dari Pusat Riset Kependudukan. Dihadirkan pula pembicara dari luar, seperti Annisa Triyanti Copernicus dari Institute of Sustainable Development, Utrecht University, Belanda dan Agus Bei dari Mangrove Center Graha Indah Balikpapan, Kalimantan Timur. Acara dipandu moderator Syarifah Aini Dalimunte.

Dalam sambutannya, Kepala Pusar Riset Kependudukan, Nawawi, menyampaikan bahwa webinar tersebut merupakan kontribusi dan eksistensi berbagai disiplin ilmu dalam koneksitas dan berbagi wawasan bagi peneliti.

Dijelaskannya, model penelitian BRIN merupakan kolaborasi dengan berbagai pihak dengan skema pendanaan. Kolaborasi penelitian mangrove merupakan interdisiplin ilmu dengan skema pendanaan yang berfokus pada lingkungan. Harapannya, dengan webinar ini ada tindak lanjut dan menjadi fokal point dalam penelitian mangrove. “Saat ini masih ada penebangan hutan mangrove di berbagai daerah. Dengan webinar ini, bisa memberikan pengertian pentingnya melestarikan hutan mangrove,”ujar Nawawi.

Paparan tentang komitmen Indonesia dalam Bali agenda For resilience disampaiakan oleh Andi Eka Sakya. Ia menyampaikan gambaran Indonesia sebagai negara rawan bencana. Negara kita mempunyai akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang bisa menjadi pelajaran penting bagi dunia. Caranya melalui strategi adaptasi mulai dari kehidupan, kualitas kehidupan, serta sejarah dan budaya, yang dilakukan melalui tahapan absortive coping capacities, adaptative capacities, dan trasformative capacities.

Andi mengungkapkan, dalam pengurangan risiko bencana dilakukan beberapa langkah. Langkah itu yaitu keterlibatan dan berbasis kearifan lokal yang melekat, kerja sama aktif secara inklusif berbasis data dan teknologi, memberikan peran semua dan tidak meninggalkan satu pihak pun, bekerja sama secara global yang dikontekstualisasikan secara lokal, serta tata kelola keuangan yang lebih fleksibel namun tetap akuntabel.

Kemudian Andi menjelaskan, dalam pertemuan GPDRR, pemerintah Indonesia menawarkan kepada dunia konsep resiliensi berkelanjutan sebagai solusi untuk menjawab tantangan risiko sistemik menghadapi semua bentuk bencana. Hal ini termasuk menghadapi pandemi dan sekaligus mendukung implementasi pembangunan berkelanjutan. Konsep resiliensi berkelanjutan yaitu, pertama penguatan budaya dan kelembagaan siaga bencana yang antisipatif, responsif, dan adaptif, kedua berinvestasi dalam sains, teknologi, dan inovasi, ketiga pembangunan infrastruktur yang tangguh untuk bencana dan perubahan iklim, lalu ke empat, mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan global di tingkat nasional sampai lokal.

Sementara Anisa Triyanti menyampaikan tema “mangrove ecosysstems in Indonesia and governance challenges to building resilience”. Ia menginformasikan bahwa peran mangrove untuk lingkungan sebagai perlindungan bencana sangat diperlukan. Keberadaan mangrove dapat mengurangi kerusakan lingkungan dan korban bencana. Mangrove bisa meningkatkan produktivitas perikanan, pariwisata, perekonomian, dan kehidupan sosial.

Tantangan hutan mangrove bisa beralih fungsi di masa depan. Sebagai contoh di Demak, Jawa Tengah, terjadi kenaikan air laut, abrasi sehingga banjir rob terdegradasi budi daya. Untuk itu dibutuhkan formulasi mitigasi bencana dengan menyumbangkan/ memfasilitasi kepentingan. Caranya dengan memberikan pengetahuan sekarang dan yang akan datang dengan tata kelola berbasis pengetahuan lokal.

Selanjutnya paparan oleh Gusti Ayu Ketut Surtiari membahas terkait mangrove dan ketahanan masyarakat pesisir menghadapi bencana potensi pemanfaatan teknologi. Ia menyampaikan bahwa kesiapsiagaan bencana mulai dari sistem peringatan dini, simulasi bencana, dan peningkatan kapasitas masyarakat rentan bencana. Mangrove dan ketahanan masyarakat memiliki manfaat ekonomi, lingkungan, dan mengurangi risiko bencana. Kawasan mangrove menjadi strategi mitigasi untuk mengurangi bencana, seperti tsunami dan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir seperti abarasi. Keberadaan mangrove belum banyak dipahami sebagai pendekatan mitigasi bencana sehingga perlu dikembangkan melalui pendidikan.

Paparan terakhir disampaikan Agus Bei yang menyampaikan berbagai aksi nyata yang telah dilakukan selama 21 tahun. Ia mengaku, penanaman mangrove tidaklah mudah. “Kadang tidak ia bisa tumbuh secara optimal. Untuk itu, kita perlu belajar cara menamamnya,” ujarnya. (Sur/ed:And)