Jakarta – Humas BRIN. Kembali mengenal sosok pemenang Achmad Bakrie (PAB) XVIII, kita awali dengan pagelaran seremoni Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) XVIII bertemakan “Generasi Bangun Negeri” di Jakarta, Minggu (14/8). Tim Peneliti Arkeologi Nasional meraih penghargaan dalam kategori Sains untuk temuan aneka lukisan figuratif tertua di dunia di gua purba Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Salah satunya, Adhi Agus Oktaviana yang merupakan Peneliti Pusat Riset Arkeomteri (PRA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Bersama dengan Budianto Hakim dan kawan – kawan cagar budaya, ia hadir menerima pengharagaan tersebut.

Mengenal sosok Adhi, hoby berpetualangnya yang mendorong hatinya untuk menekuni dunia arkeologi yang penuh petualangan di alam bebas kegiatannya. Hobi tersebut sudah terlihat sejak kecil atau dibangku SD di mana ia sudah aktif di kepramukaan. Adhi  lahir dari keluarga guru SD di wilayah kaki Gunung Karang, Pandeglang, 2 Oktober 1984.  Adhi aktif di pecinta alam saat di SMP hingga kuliah di Arkeologi FIB UI.

Bercerita tentang pengalaman di bidang kepakarannya arkeologi, Adhi mulai tertarik pada penelitian gambar cadas setelah mengikuti seminar seni cadas di Museum Nasional pada tahun 2005. Seminar itu berisi pemaparan Pindi Setiawan tentang riset gambar cadas di Sangkulirang Mangkalihat, Kalimantan Timur, dan Ibu Karina Arifin mengenai gambar cadas di Papua.

Adhi memilih bidang arkeologi, karena Indonesia kaya akan kawasan karst yang mengandung keanekaragaman hayati juga tinggalan budaya. Selain itu sedikit peneliti yang khusus menekuni bidang gambar cadas. Dengan hobi yang senang berpetualang di alam bebas sejak kecil, Adhi bisa mendatangi situs-situs gambar cadas yang ada di pedalaman hutan-hutan Indonesia.

Seni cadas atau gambar cadas, keduanya padanan dari rock art (bahasa inggris). Ada juga istilah yang menyebut lukisan gua atau lukisan karang (tergantung konteks medianya di gua atau di tebing karang). Gambar cadas merupakan hasil karya manusia prasejarah yang digambarkan pada media dinding dan langit-langit gua atau cerukan, tebing pantai, atau pada bongkahan batuan. Gambar cadas bisa dibagi tipe figuratif dan non-figuratif. Gambar figuratif seperti figur manusia, hewan, atau tumbuhan sedangkan non-figuratif seperti gambar geometris atau simbol.

Ia lantas membeberkan tentang usia lukisan gua di Indonesia sampai saat ini yang tertua di Leang Tedongnge, Sulawesi Selatan yaitu pada motif figuratif babi kutil 45.500 tahun yang lalu sedangkan di Gua Saleh, Kalimantan Timur berusia 40.000 tahun yang lalu pada motif banteng. 

Berbicara mengenai latar belakang Pendidikan, Adhi lulus sarjana arkeologi di FIB UI tahun 2009 dengan riset tentang penggambaran motif perahu pada gambar cadas di Indonesia. Sejak 2010, Adhi menjadi peneliti arkeologi prasejarah di Pusat Penelitian Arkenas, Kemendikbud (saat ini Pusat Riset Arkeometri, BRIN) dengan spesialisasi gambar cadas prasejarah di Indonesia. Tahun 2011 ia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan seni cadas di Perancis, dan tahun 2016 mengunjungi situs Gua Niah dan Liang Kain Hitam di Malaysia yang disponsori oleh Muséum national d’histoire naturelle (MNHN) atas dukungan dari Prof. Truman Simanjuntak dan Prof. Francois Semah. Ia memperoleh Kandidat PhD sejak tahun 2019 di Griffith University, Australia. Adhi juga mengerjakan riset gambar cadas untuk mengetahui jalur migrasi manusia prasejarah di Indonesia dari Sunda, Wallacea, hingga ke Sahul.

Adhi mengaku senang dan berterima kasih atas penerimaan penghargaan PAB tahun ini. Apresiasi ini, tentu menjadi pengakuan terhadap riset yang telah dilakukannya, dan penghargaan ini menambah daftar penghargaan yang diterimannya. Pengakuan secara internasional sudah pernah diterimanya, yaitu dua kali menjadi salah satu dari 10 terobosan ilmiah dunia versi majalah Science tahun 2014 dan 2020. Adhi juga mendapatkan penghargaan 20 penemuan terbaik pada kurun 2010-2019 oleh majalah National Geographic. Selain itu, Adhi mendapatkan penghargaan dari Griffith University untuk 2021 Outstanding Research Excellence.

Adhi Agus Oktaviana terlibat di banyak penelitian arkeologi, selain mengikuti riset dari Pusat Penelitian Arkenas (saat itu) di Gua Harimau, Lembata, dan Raja Ampat. Ia juga terlibat dalam riset di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Beragam kerja sama arkeologi telah ia ikuti antara lain dengan MNHN Perancis (Prof Francois Semah), CNRS Perancis (Dr. Francois-Xavier Ricaut), ANU Australia (Prof. Sue O’Connor), Tokai University Jepang (Dr. Rintaro Ono), Washington University USA (Prof. Peter Lape), dan Griffith University Australia (Prof Adam Brumm dan Prof. Maxime Aubert). Publikasi hasil risetnya mengenai arkeologi dan gambar cadas telah diterbitkan pada jurnal internasional dan nasional antara lain Nature, Nature Scientific Report, Nature Human Behaviour, Nature Ecology & Evolution, Science Advance, PNAS, Plos ONE, Antiquity, Rock Art Research, Amerta, dan Kapata Arkeologi.

Adhi, beberapa kali aktif sebagai narasumber untuk memaparkan hasil risetnya pada forum ilmiah arkeologi internasional, seperti IPPA 2014 di Siem Reap, Kamboja; SPAFA Conference 2016 di Bangkok; IPPA 2018 Hue, Vietnam dan PIA yang diselenggarakan IAAI. Ia juga menjadi salah satu narasumber dalam SEAMEO SPAFA’s Rock Art Southeast Asia and the World online course Mei-Juni 2022. Adhi, beberapa publikasinya muncul di buku bunga rampai Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia, 2016,  terbitan Kemendikbud.

Adhi berpendapat bahwa sinergi dan kolaborasi riset antar peneliti dan institusi di Indonesia dengan mitra luar negeri, amat berperan dalam menghasilkan publikasi riset yang berkualitas di jurnal ilmiah internasional. Pengalaman menjelajahi kawasan karst dari Sumatra, Kalimantan, Maluku, hingga Papua Barat, untuk meneliti gambar cadas, telah memberikan pemahaman tentang leluhur yang telah punya kemampuan adiluhung mengekspresikan pengetahuannya sejak 50 ribu tahun yang lalu.

Adhi berharap, ke depannya, semakin banyak arkeolog atau peneliti muda yang tertarik mengenai riset gambar cadas. Hal itu untuk upaya mengetahui kronologi umur lukisan gua yang saat ini baru pada motif figur hewan, figur manusia, dan cap tangan. Di mana masih banyak motif-motif lain yang belum kita ketahui dimulai sejak kapan digambarkan seperti motif fauna laut dan motif geometris. “Dengan kita mengetahui umur-umur lukisan tersebut, maka kita akan mengetahui konteks waktu dan bagaimana sebaran motif itu digambarkan di kawasan karst Indonesia. Apakah hal itu sesuai dengan pola jalur migrasi manusia dari Sunda ke Sahul atau berpola acak,” ungkapnya.

Adhi mengutarakan, “menjadi peneliti gambar cadas merupakan anugrah yang terbaik dari Allah SWT. Kita bisa memahami bagaimana moyang kita yang hidup ribuan tahun yang lalu berbagi pengetahuan, sharing knowledge yang tercipta sebelum adanya budaya menulis”. Karena gambar cadas itu mempreservasi tidak hanya apa saja bentuk yang digambarkan, juga pengetahuan dan teknologi yang bertahan puluhan ribu tahun yang lalu.

Menjadi peneliti gambar cadas dituntut untuk dapat cermat dalam mengobservasi pigment pada media gambar cadas. Itu untuk membedakan antara jejak pigmen gambar cadas atau bukan. Selain itu, perlu juga untuk memiliki kemampuan beradaptasi di lapangan, bagaimana bersosialisasi dengan penduduk lokal yang memiliki tinggalan budaya gambar cadas tersebut dan juga menghormati dan mematuhi adat dan budaya setempat. Untuk itu, menurutnya, perlu juga konsistensi dalam berkegiatan di lapangan. Lelah di perjalanan menuju situs gambar cadas harus dibarengi dengan kedetailan dan semangat dalam perekaman gambar cadasnya. “Jangan sampai ada yang terlewatkan!” pesannya. Tentu yang tidak kalah penting, perlu juga berkolaborasi dengan peneliti atau mahasiswa yang bergelut di bidang yang sama. Hal itu untuk meningkatkan dan berbagi pengetahuan yang tentu saja sangat penting untuk kemajuan riset di Indonesia. (Suhe/ed: And)