Jakarta – Humas BRIN. Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) hadir kembali tahun ini setelah sempat absen dua tahun karena pandemi covid-19. PAB XVIII tahun 2022 ini hadir dengan lima kategori penghargaan yaitu Sastra, Pemikiran Sosial, Sains, Kedokteran, dan Ilmuwan Internasional Berjasa Untuk Indonesia. Salah satu sosok peraih penghargaan itu adalah Budianto Hakim, Peneliti Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia tampil menerima penghargaan untuk kategori Sains bersama timnya atas rentetan temuan aneka lukisan figuratif tertua di dunia di gua purba Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Budianto Hakim adalah salah satu putra Sidrap Sulawesi Selatan yang terlahir dari seorang guru. Sejak di bangku SD ia sudah diperkenalkan berbagai macam buku, termasuk buku sajarah dan budaya. Setamat SMA, 1984, ia memutuskan studi di Universitas Hasanuddin dengan memilih Jurusan Arkeologi, yang dianggapnya memadukan pengetahuan, kisah nyata dan petualangan. Budianto memilih peminatan bidang arkeologi karena merasa ketertarikan kuat di bidang tersebut. Ia tergerak menekuni bidang arkeologi sejak mahasiswa saat keterlibatannya dalam penelitian arkeologi. Penelitian pertamanya pada 1986 adalah tentang desertasi David Bulbeck dari Australian National University yang berjudul “South Sulawesi Archaeology History and Prehistory“. Ia menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 1990, dan di tahun 1992 diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kemendikbud, Jakarta.
Budianto Hakim kembali bertemu David Bulbeck dalam penelitian “The Origin of Complex Society in South Sulawesi“ (OXIS Project) kerja sama Australian National University dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1998-1999. Melalui rekomendasi Bulbeck, ia berkenalan dengan Adam Brumm dan Maxim Aubert dari Griffith University. Perkenalan ini jadi tonggak perjalanan karier Hakim selanjutnya.
Ia terlibat aktif dalam sederet penemuan spektakuler di Sulawesi, misalnya temuan lukisan cap tangan purba berumur 40.000 di situs Gua Timpuseng, Maros, Sulawesi Selatan. Lukisan cap tangan itu dianggap lukisan cap tangan tertua di dunia dan dinobatkan sebagai salah satu dari 10 penemuan ilmiah paling spektakuler di tahun 2014 menurut jurnal Science, dan dilansir dalam Daily Mail tahun 2015. Penemuan ini dianggap telah mengubah pemahaman masyarakat dunia tentang teori seni purba dan migrasi manusia. Hasil penelitian ini telah diterbitkan dalam Nature, 514 tahun 2014 “Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia”.
Di edisi akhir tahun 2020, jurnal bergengsi Science mengumumkan, tim arkeolog yang meneliti sejumlah gua di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur, dan menemukan seni figuratif tertua di dunia pada gua-gua tersebut, mendapatkan kehormatan untuk dicantumkan dalam Science magazine’s top-10 scientific breakthroughs of the year. Enam tahun sebelumnya, Science sudah memasukkan penemuan lukisan figuratif dari era Pleistocene di gua purba Indonesia itu ke dalam The top 10 scientific achievements of 2014.
Budianto mengutarakan bahwa seni purba/ seni figuratif yang digambarkan dari pengalaman manusia di masa lalu itu terkait benda alam atau figur yang memiliki andil besar dalam keberlangsungan kehidupannya, baik terkait kebutuhan rohani maupun spiritual. Figur yang dimaksud adalah manusia, binatang, tumbuhan ataupun benda lainnya yang ada di lingkungan mereka.
Penghargaan Achmad Bakrie, yang digelar tahun ini sudah memasuki tahun ke-20 dan ini menjadi tradisi tahunan yang terus dilanjutkan. Penyelenggaraan ini didasari oleh kecintaan Achmad Bakrie, terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Kegiatan tersebut untuk menghargai dan memberikan tempat serta apresiasi kepada orang-orang yang telah berkontribusi dan berjasa bagi Indonesia di bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan.
Menanggapi penghargaan tersebut, Budianto mengaku senang, bangga, dan berterima kasih atas penerimaan penghargaan ini. Apresiasi ini, tentu saja akan memberi rangsangan atau memberi pijakan yang kuat bagi para periset/peneliti untuk lebih giat dalam melakukan riset-riset yang handal dan unggul di masa yang akan datang.
Berbicara tentang arkeolog di Indonesia, ia berpendapat, untuk peneliti arkeologi memang sudah ada, namun bidangnya terkait metode penentuan umur dan perekaman serta pemaknaan lukisan purba. Saat itu penelitian tersebut belum dilakukan secara baik atau belum ditunjang oleh peralatan penelitian yang canggih. Fokus penelitiannya berbeda, penelitian sebelumnya hanya memetakan lokasi penemuan lukisan purba di Indonesia (distribusi lukisan), warna lukisan, dan pemaknaannya. Sementara penelitian sekarang lebih fokus untuk menentukan usia pembuatan, metode perekaman yang detail dan pemaknaan secara detail dari lukisaan purba tersebut. Kemudian dicari korelasinya dengan migrasi manusia modern awal di Indonesia yang diperkuat dengan metode ekskavasi dan metode laboratorium yang maju. Selain itu, penelitian sekarang ini lebih bersifat kolaboratif (berbagai disiplin ilmu, misalnya geologi, biologi, kimia, kedokteran, antropologi dan bidang lainnya). Budianto mengungkapkan seni figuratif yang ditemukan di Indonesia adalah storytelling dan lompatan kognitif yang terlengkap dan tertua di dunia. Sehingga patut untuk dilestarikan sebagai bukti dari identitas kebangsaan kita di masa kini dan akan datang. Ia berharap agar generasi muda mau belajar ilmu arkeologi, khususnya yang berkaitan dengan seni figuratif purba sebagai literasi atau bentuk komunikasi visual yang memberi manfaat dalam rekonstruksi ulang atau memperkuat jati diri bangsa. Namun demikian, masih banyak misteri dari lukisaan purba di Nusantara ini yang belum terkuak (baik sebaran, makna, teknik buat, bahan pewarna, campuran warna, dan sebagainya). “Sehingga masih terbuka lebar kesempatan para peneliti muda untuk berbuat lebih banyak dari apa yang kami sudah lakukan ini,” pungkasnya. (Suhe/ed: And)