Jakarta – Humas BRIN. Pusat Riset Hukum (PRH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menyelenggarakan kegiatan diskusi yang membahas tentang riset hukum pada aspek regulasi. Kegiatan ini dikemas dalam Guest Lecture Series 2, Senin (22/08). Untuk seri ke-2 ini memaparkan tema Carbon Tax In Indonesia: Inguire Now, Regulate Later.

Kepala PRH, Laely Nurhidayah mengungkapkan tentang kebijakan pemerintah yang masih belum konsisten atau masih mendua. Hal ini terlihat dari adanya regulasi untuk pajak karbon akan tetapi penggunaan anggarannya belum tentu serius dipakai untuk pengurangan emisi. Pajak karbon ini menjadi prospek peluang untuk melakukan riset sebagai salah satu isu yang bisa dikolaborasikan antara PRH dan Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PREPS).

Peneliti PREPS – BRIN, Maxensius Tri Sambodo, dalam paparannya menyebutkan, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon merupakan salah satu jenis pajak baru yang akan diberlakukan di Indonesia. Ia mengimbuhkan, payung hukum dalam menerapkan pajak karbon di antaranya Undang-undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nation Framework Convention on Climate Change, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (mulai 1 April 2022 dan ditunda menjadi 1 Juli 2022), Peraturan Pemerintah nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrument Ekonomi Lingkungan Hidup, dan Peraturan Presiden nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.

Maxensius mengutarakan, pemerintah tidak menyebutkan secara pasti kapan pajak karbon akan diberlakukan. Banyak infrastruktur yang perlu dipersiapkan untuk menerapkan pajak karbon, mulai perhitungan karbon, siapa yang mencatat karbon, hingga proses verifikasi. “Penerapan pajak karbon bukan semata soal penerimaan negara namun lebih besar dari itu, yakni penurunan emisi,”ungkapnya.

Lebih lanjut Maxensius menyampaikan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang menyiapkan regulasi dan infrastruktur perdagangan karbon atau bursa karbon. Antara lain jenis instrumen, mekanisme pencatatan, bentuk hukum perdagangan karbon, pihak penjual dan pembeli, perantara, dan persyaratan bagi para pihak.

Maxensius berpendapat, mengurangi polusi yang “mereda” membebankan biaya pada pencemar. Tingkat polusi yang efisien adalah titik di mana biaya marjinal yang terkait dengan pengurangan polusi. Hal ini sama persis dengan biaya marjinal untuk mengurangi polusi (beberapa tingkat emisi tetap per unit waktu). Tetapi tingkat polusi yang efisien hampir tidak pernah dapat dicapai, karena tidak adanya informasi untuk mengetahui biaya marginal pengurangan atau biaya eksternal marginal dari semua sumber polusi. Tujuan yang dapat dicapai adalah untuk memastikan bahwa metode pengendalian polusi adalah biaya yang efektif dengan jumlah pengurangan atau pengurangan polusi yang terjadi setidaknya dengan biaya.

Dosen Universitas Airlangga, Cenuk Sayekti menjelaskan, krisis iklim akan berdampak. Contohnya, Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi, kenaikan suhu, krisis ekonomi lahan, krisis ekosistem laut, krisis pangan, krisis energi, dan ancaman konflik atau keamanan internaional.

Lebih lanjut, Cenuk menjelaskan, listrik dan transportasi menjadi kontributor emisi terbesar yaitu 48% dan 23%. Data tersebut menurut Dewan Energi Nasional. Listrik di Indonesia dihasilkan sekitar 60% dari batubara, 20% dari gas, dan 6% dari minyak. Sejumlah 58% pasokan listrik Indonesia dihasilkan oleh batu bara pada tahun 2017 (IEA). Untuk itu diharapkan Indonesia harus membatasi emisi dari sektor listrik dan transportasi. Hal itu jika ingin mencapai target NDC 2050 untuk menjaga kenaikan suhu global pada angka 1,5°C (The Climate Action Tracker).

Dikatakan Cenuk, di Indonesia, penggunaan emisi CO2 fosil pada tahun 2016 sebesar 530.035.650 ton. Emisi CO2 per kapita di Indonesia setara dengan 2,03 ton per orang (berdasarkan jumlah penduduk 261.556,381 pada tahun 2016). Sedangkan emisi CO2 meningkat sebesar 1,6% antara tahun 2018 dan 2019. Cenuk menambahkan, target penurunan emisi (MTon CO2e) pada tahun 2030 sebesar 29% dan di tahun 2050 sebesar 41%.

Mengatasi perubahan iklim melalui pajak karbon adalah instrument yang efektif untuk memenuhi komitmen mitigasi emisi domestik. “Pajak karbon menghasilkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pengurangan subsidi bahan bakar. Lebih cepat dalam mengurangi emisi CO2 sebagai akibat dari substitusi dari batubara ke renewable energy seperti biofuel,” ujarnya. Sebagai contoh kebijakan di negara Kanada berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 4% dengan mekanisme cap and tax.

Lebih lanjut ia menegaskan, “konsep dasar pajak karbon bahwa pencemar membayar (polluters-pay-principle), tujuannya untuk perubahan perilaku dan inovasi”. Catatan dalam kebijakan pajak karbon antara lain tarif pajak rendah tidak mendorong perubahan perilaku. Sedangkan tarif pajak terlalu tinggi akan mengurangi daya saing. Regulasi baru tetap mengatur tentang kewajiban perusahaan tambang batu bara untuk memasok 25% produksinya ke pembangkit listrik milik negara. Hal tersebut menghadirkan inkonsistensi pemerintah Indonesia untuk zero emission di 2060, deforestasi untuk lahan sawit, dan penetapan tarif karbon pada masyarakat yang terdampak. (suhe/ed:and)