Jakarta – Humas BRIN. Ragam kepercayaan di Indonesia selalu menarik untuk diteliti dan dibahas. Oleh karena itu Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), melalui riset – risetnya, ingin mengenalkannya kepada publik. Salah satunya, Rabu (07/9), diselenggarakan webinar seri ke-13 yang bertajuk ‘Mengenal Ragam Kepercayaan Nusantara’.
Kepala PRAK, Aji Sofanudin mengatakan, pusat riset mempunyai kewajiban moral menyelesaikan ensiklopedi keragaman kepercayaan Nusantara agar lebih valid dan bagus. “Mudah-mudahan prosesnya bisa cepat dengan hasil lebih bagus lagi melalui validasi kepada pihak-pihak berkompeten, ditulis sesuai dengan apa yang dialami oleh sedulur-sedulur MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia), dan dibaca juga enak,” ungkap Aji.
Pembicara pertama, Eko Prasetyo dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia menyampaikan materi tentang Pangudi Rahayuning Budi (Prabu). Prabu, yang bermakna berusaha untuk mempelajari budi yang baik dan budi yang rahayu.
Eko berujar, pada dasarnya ajaran Prabu berisikan wejangan, tuntunan, petunjuk, dan tata laku dari para sesepuh yang disampaikan kepada para anggota. Ajaran Prabu merupakan hasil pengembangan pola sikap dan laku yang diyakini kebenaran dan kefaedahannya, setelah mendapatkan tempaan-tempaan kehidupan dalam pengembaraannya.
“Ajaran Prabu berisikan sikap dan laku terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manusia, sesama hidup, alam semesta, dan hidup itu sendiri. Ajaran Prabu bukan ajaran suatu agama, tidak mempertentangkan ajaran agama, dan tidak bertentangan dengan hakikat ajaran agama yang ada,” ujarnya.
Selain itu, ajaran Prabu menganut konsep pitutur luhur yang meliputi tiga konsep utama. Konsep pertama, urip iku turun temurun yang bermakna hidup itu berkelanjutan. Kedua, urip iku ora ijen, artinya hidup itu tidak sendirian. Ketiga, urip iku bakal sak wanci-wancine tinimbalan, maknanya hidup ini akan kembali ke pemilik hidup yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Pembicara berikutnya, Gigih Risaksono dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia menjelaskan materi terkait Purwane Dumadi Kautaman Kasampurnan (PDKK). Menurutnya, PDKK adalah organisasi penghayat yang menalurikan ajaran leluhur tentang hubungan manusia dengan Sang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan semesta alam. Organisasi ini berpusat di Dusun Sembon, Desa Ngajum, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Pola dasar ajaran PDKK terbagi menjadi empat yakni konsepsi tentang ketuhanan, manusia, alam semesta dan kesempurnaan. Konsepsi ketuhanan dijelaskan bahwa Tuhan itu memiliki sifat sangat agung, mulia, adil, dan sebagainya. Namun, di balik keagungan itu bisa juga berkebalikan yaitu sangat lembut, halus, tapi wujud adanya.
Menurut Gigih, ketika hening saat samadi, kita bisa mewujudkan bahwa Tuhan berwujud atau ada. Di situ terungkap sebuah rasa bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan terwujud dalam seuatu keheningan. Tuhan Yang Maha Lembut bisa menembus pori-pori meskipun itu dinding atau kaca. Sifat Tuhan disebut Maha Adil, Maha Agung, Maha Alus, dan Maha segala-galanya,” imbuhnya.
Sementara untuk konsepsi manusia diartikan bahwa manusia yang lahir ke dunia diawali bopo Adam dan ibu Hawa, demikian sebutannya. Bopo artinya wiji (biji) bopo Adam adalah wiji yang pertama kali tercipta atau diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Maka Tuhan juga menciptakan pendamping untuk mendampinginya yaitu ibu Hawa yang dari gen kedua ini turun temurun naluri aliran Purwane Dumadi Kautaman Kasampurnan.
Sedangkan konsepsi tentang alam semesta diartikan bahwa alam diciptakan untuk dirawat dan difungsikan untuk kehidupan. Hubungan manusia dan alam adalah hubungan mutualisme, manusia merawat alam dan hasil alam untuk kebutuhan manusia dan makhluk-makhluk lainnya.
Masih dalam kesempatan sama, Setyo Boedi Oetomo dari PRAK menjelaskan tentang kepercayaan lokal masyarakat Tengger. Setidaknya, kata Setyo, untuk masyarakat Tengger memiliki tujuh ajaran utama. Pertama, ajaran berbakti antara lain berbakti kepada tuhan, orang tua, pemerintah dan guru, sekolah/romo dukun (guru adat). Kedua, ajaran kawruh budho yang berisikan sederhana/ apa adanya, bijaksana, patuh pada orang tua, pemimpin, hukum, dan ada, lalu menepati janji, dan waspada/ hati-hati. Ketiga, menjauhi malima yakni maling (mencuri), main (bermain judi), madat (candu), madon (bermain wanita), dan minum (minum-minuman keras). Keempat, memperjuangkan walimo yakni waras (sehat), wareg (makanan), wastra (pakaian), wasis (terampil) dan wisma (rumah). Kelima, pancasetya yakni setya budaya (menaati adat), setya wacana (perkataan sesuai perbuatan), setya semaya (menepati janji), setya laksana (menepati tugas), dan setya mitra (setia kawan). Keenam, welas asih pepitu (tujuh belas kasih). Welas asih kepada Hyang Agung, ibu pertiwi, orang tua, jiwa raga, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Ketujuh adalah konsekuensi adanya walat atau karma bagi yang melanggar nilai-nilai sosial. “Ajaran walat ini mengikat nilai-nilai kepecayaan Tengger. Walat ini menjadi pengendali sosial yang sangat efektif di Tengger,” pungkasnya. (FTL/ed: And)