Jakarta – Humas BRIN. “Jalur rempah adalah jalur sutra yang melewati maritim, merupakan jalur perdagangan dan wadah pertukaran segala peradaban budaya dan agama,” kata Dr. Alan Chong dari Universitas Teknologi Nanyang Singapura. Alan merupakan pembicara kunci pada hari ke-2 kegiatan International Forum on Spice Route (IFSR) 2022, Rabu (21/9). Kegiatan kolaborasi antara Negeri Rempah Foundation dan Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (ORIPSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini diselenggakaran secara hibrid berlangsung dari 20 – 23 September 2022.
Lebih lanjut Alan Chong mengatakan jalur maritim benua Asia dari Asia Timur Laut melalui Asia Tenggara ke Timur Tengah adalah jalur konveyor multi arah ide-ide budaya. Ia menjelaskan sejarah di masa lalu saat zaman kerajaan apapun, memberikan sesuatu berupa hadiah adalah hal tak terpisahkan dari diplomasi. Di masa pelayaran yang masih bergantung dengan arah angin, tanpa kepastian kapan akan sampai tujuan setiap kapal penjelajah harus bersiap untuk selalu berlabuh dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. “Hal ini juga memberikan pertukaran hadiah atau bingkisan dari penjelajah kepada penguasa setempat yang menjadi awal pertukaran budaya,” katanya.
Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia menerangkan bahwa sebuah kebudayaan memiliki suatu standar masing-masing. Namun, kebudayaan akan selalu mengalami proses kreativitas, tetapi apakah akan tetap memiliki nilai otentik? Sebagai contoh sebuah warisan budaya seperti kuil, pura, dan candi. Keotentikannya merupakan tempat melakukan peribadatan dan ritual agama kemudian dapat menjadi lokasi destinasi wisata yang populer dan memberikan nilai ekonomi. “Nilai kreativitas di sini dibungkus dalam komoditas. Kreativitas langsung dikaitkan dengan motif ekonomi. Sehingga yang namanya tradisi dan bagian dari otentik nyaris bukan menjadi perhatian penting lagi sepanjang hal itu bisa dijual, ini merupakan persoalan yang penting sekali,” terangnya.
Dalam sesi Youth Panel: “Intercultural Connection and Understanding”, Mohammad Resyad Ghifari Mulyadi dari Laskar Rempah memaparkan pendapatnya tentang jalur rempah. Ia berpandapangan, jalur rempah sebagai sebuah hubungan pertukaran budaya dan pemikiran antara wilayah Barat dan timur yang terbentuk karena jalur perdagangan rempah.
Lebih lanjut ia menyebutkan 3 bahasa universal dalam memahami hubungan antar budaya. Pertama adalah musik dan berjoget, di mana kekuatan musik dapat menyampaikan sebuah pesan yang dapat dimengerti tanpa diucapkan. “Musik dapat memecah tembok pembatas dan kesan malu untuk memulai percakapan. Sepanjang jalur rempah juga menjadi tempat tumbuhnya cikal bakal aliran musik keroncong yang berasal dari Portugis,” sebutnya.
Bahasa universal kedua adalah makanan. Ia memberikan contoh di manapun kita berada ketika seorang tamu disuguhkan makanan kita akan mengerti apa maksudnya. Kuliner juga tak luput dari dampak pertukaran budaya dan menghasilkan berbagai produk kuliner khas di setiap daerah. Salah satunya terdapat jejak budaya kuliner Portugis di Ternate yaitu puding.
Bahasa universal ketiga adalah rasa sakit. “Tidak ada rasa sakit yang relatif. Semua pasti akan merasakan sakit ketika disakiti,” ucapnya. Rasa sakit ini juga yang menyatukan semua di Nusantara sebagai satu identitas negara Indonesia yang pernah mengalami penjajahan di masa lalu.
Senada dengan Mohammad Resyad, Muhammad Akbar Putra dari Bina Antarbudaya Foundation mendeskripsikan jalur rempah menjadi media refleksi kita bersama. Saat bangsa-bangsa bertemu untuk berdagang namun berakhir dengan kekayaan budaya dan keanekaragaman. Menurutya jalur rempah telah membentuk peradaban di Nusantara dengan berbagai pertukaran budaya.
Sebagai seorang yang memiliki pengalaman menjalani pertukaran pelajar internasional, ia menjelaskan hubungan antar budaya ini dapat membuat kita mengerti dan menerima perbedaan tidak hanya dari budaya semata. Namun hal itu juga perbedaan warna kulit, suku, ras, dan agama. Sejak masa lalu bangsa-bangsa Eropa rela menjelajah hingga ke Nusantara untuk mendapatkan sumber daya alam. “Maka dari itu jalur rempah adalah suatu identitas budaya yang harus dimiliki dan dapat dimanfaatkan oleh kita semua,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan hubungan antar budaya ini akan memberikan nilai-nilai tambah yang positif seperti kemampuan menjembatani pemahaman melalui komunikasi dan interaksi. Hal ini juga menumbuhkan toleransi dan rasa hormat terhadap orang lain, kepedulian, dan rasa syukur. Selain itu juga memberikan fokus dan kesadaran yang lebih baik pada hubungan timbal balik dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Terakhir adalah memberikan dampak kontribusi dan representasi Indonesia yang lebih besar di tingkat global.
Memasuki Sharing Session: “Promoting Intercultural Understanding through the Arts”, Jabatin Bangun yang merupakan Ethnomusicologist menjelaskan dampak pertukaran budaya pada jalur rempah mempengaruhi seni musik di nusantara. Keanekaragaman musik tradisional Indonesia merupakan kekayaan yang luar biasa dan berkembang secara historis di jalur rempah. Hal tersebut akibat pertukaran budaya seperti keroncong, gambang kromong, dan tanjidor.
Ia juga menjelaskan dalam hubungan kontak kebudayaan ini, Indonesia atau nusantara tidak hanya dipengaruhi oleh budaya luar. Tetapi budaya nusantara juga telah memberikan kontribusinya dalam mempengaruhi budaya luar. Namun banyak tradisi yang belum terpetakan dengan maksimal khususnya pada keberagaman musik di nusantara. Hal ini merupakan kekayaan yang terpendam bangsa dan dapat menjadi inspirasi, kontribusi pada industri musik dunia, dan menjadi harga diri bangsa. “Hal yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana menghadapi perjumpaan budaya ini menjadi produktif dan perlu ada semangat untuk setara dalam industri musik dunia ke depannya,” jelasnya.
Restu Imansari Kusumaningrum yang merupakan Producer dari Bumi Purnati memperlihatkan pertunjukan sebuah kesenian. Ia menunjukkan, baik tari dan karya panggung adalah salah satu yang tumbuh akibat hubungan antar budaya pada jalur rempah. Menurutnya, seni pertunjukan yang dilestarikan dan dikelola dengan baik dapat menjadi investasi jangka panjang tidak hanya dari materiil tetapi juga ilmu pengetahuan yang dapat diwariskan secara turun-temurun. Ini menjadi budaya bangsa yang berkelanjutan sebagai suatu perkembangan bangsa. Menurutnya, perjalanan jalur rempah tidak hanya tentang perdagangan dan budaya, tetapi ada orang, alam, dan lingkungan di dalamnya yang tidak hanya untuk dibicarakan tetapi untuk dilakukan.
Bram Kushardjanto yang juga seorang Producer dari Gelar Nusantara juga memiliki pendapat yang sama. Identitas jalur rempah dapat memberikan nilai positif tidak hanya bagi bangsa Indonesia tetapi juga dalam kaitannya dengan kolaborasi antar negara. Narasi jalur rempah dimulai dari tahun 2015 sebagai wadah memunculkan nasionalisme yang berkebhinekaan. Ia mengucapkan jalur rempah yang terbentang di Asia Tenggara, India, hingga Benua Afrika dapat dimaknai dalam merayakan kebhinekaan untuk perdamaian, pertemanan, pertukaran budaya, dan dialog dalam seni pertunjukan.
Ia menuturkan, kolaborasi kesenian yang dilakukan bersama oleh tiap negara di jalur rempah akan mengukuhkan dengan kuat keberadaan jalur rempah di dunia melalui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Kolaborasi ini akan menguntungkan seluruh pihak dalam identitas kebudayaan, hingga ekonomi dari perdagangan dan turisme yang berkelanjutan. (RBA/ed: And).